Senin, 25 Mei 2009

BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?

”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 – 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi.
Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira. .
Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memiliki persayaratan untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan awal peradaban manusia
.
Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?.

PENDAHULUAN
”Mitos” atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani bernama Plato (427 – 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus. Penduduknya dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.
Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.
Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di padang rumput Afrasia ini.
Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang muluai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).
KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER
Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti sebenarnya adalah Taman.
Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.
Gambar 1. Buku Eden The East
(Oppenheimer, 1999)
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.
Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
BENUA ATLANTIS MENURUT ARYSO SANTOS
Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso Santos. Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Gambar 2. Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005)
Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut.
Santos berpendapat bahwa meletus-nya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).
Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan pendapat penulis.
Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
PANDANGAN GEOLOGI
Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es.
Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).
Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.
Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic arc).
Gambar 3. Rekonstruksi Tektonik Lempeng di Wilayah Asia Tenggara (Hall, 2002). Garis merah adalah batas wilayah yang dikenal sebagai Sundaland
Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang menyakini Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.
Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif, titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.
Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung berapi yang bersamaan.
Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es. Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.
Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan gunung api dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.

Gambar 4. Penyebaran es di belahan bumi utara pada masa Pleistosen (USGS, 2005)
Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000 tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.
Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia.
Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).
Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.
Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland.
Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.
MENANGKAP PELUANG
Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada. Tentu kritik ini adalah hal yang wajar dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa tahun ke belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah.
Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.
Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian terbaru oleh Kimura’s (2007) yaitu menemukan beberapa monument batu dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria.
Gambar 5. Monument Batu yang berhasil ditemukan dibawah perairan Yonaguni, Jepang, (Spiegel Distribution TV, 2000)
PELUANG PENGEMBANGAN ILMU
Adalah fakta bahwa saat ini berkembang pendapat yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.
Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil oleh pihak lain.
Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air. ‘Penemuan’ Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.
Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun demikian, usaha Sarmast untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.

Gambar 6. Peta Atlantis menurut Kircher (1669). Pada peta tersebut, Atlantis terletak di tengah Samudra Atlantik.
Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.
Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah permukaan laut di teluk Persia.
Gambar 7. Taman Eden menurut Zarins (1983)
Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini.
PENUTUP
Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh LIPI melalui gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu temuan penting dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.
Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.
Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia, menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.
Di antara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.
Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang.
Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.



Gambar 8. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen Sunda (Hantoro, 2007).
Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.
Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini.
Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.
Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.
Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan..
Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya, akan berpotensi menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll.

Jumat, 01 Mei 2009

FILSAFAT KUPAT LEPET

Para leluhur Jawa iku, satindak sapecak anggone paring wewarah marang anak putu sarwa pralambang, pasemon, lan mawa simbol. Salah sawijine wateke wong Jawa iku lantip ing panggraita, alus ing suba sita, tata krama, lan solah bawa. Salaku-lakune mesthi digalih kanthi wening ing sajroning pikir dhisik. Ora angger mlaku ‘semau gue’ lan asal tumindak.
Laku pasa lan tapa brata, mungguhing wong Jawa wis dadi sega jangan lan pakulinan. Mesu brata lan laku pasa iku wis dadi peranaganing panguripan tumraping wong Jawa. Nalikane wong Jawa iku duwe pangangkah kang sinedya (cita-cita kang mulya), wong Jawa mesthi nindakake laku. Ana sing nglakoni pasa mutih, pasa ngebleng, lan pasa liyane.
Cundhuk karo lakune wong Jawa iku mau, agama Islam kang duwe ajaran nindakake pasa ing wulan Romadhon, tumrape wong Jawa ora barang kang abot lan angel. Malah cocog lan trep karo pakulinan, adat, lan budaya Jawa.
Ujaring kandha, para wali sanga anggone nyebarake agama Islam ing tanah Jawa kanthi ora ninggalake budaya Jawa. Kanggo ngulang rukun Islam, para wali yasa tembang ”Ilir-ilir”. Ing tembang iku ana gatra sing unine mangkene: Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot ira, .... Saindenging jagad Jawa, sing jenenge blimbing mesthi ana limang lining. Liningan cacah lima ing blimbing iku nggambarake rukun Islam kang cacahe lima. Tembung Kalimat Syahadat, ing jagading pewayangan diwujudake lumantar pusakane Puntadewa kang aran ” Jimat Kalimasada”. Ilat Jawa yen dikongkon muni ”kalimah syahadah” iku kangelan, dadine ”kalimasada”.
Sawise nglakoni pasa sasasi suwene, kanthi rasa seneng lan bungah padha ”ngrayakake hari kemenangan” kang arane bada. Ana sing ngarani bakda utawa lebaran. Ing dina bada iku, saanane wong Jawa malah kepara sa-Indonesia mesthi padha gawe kupat lan lepet.
Apa ta werdine kupat lan lepet tumrape wong Jawa?
Tumrape wong Jawa, kupat lan lepet kang dinikmati ing wektu bada iku mau ora ana liya wujud pralambang lan simbol srawunging manungsa marang Gusti, manungsa marang manungsa liyane. Kupat lan lepet iku anggone gawe ora mung sadrema didang kaya sega kang butuh wektu mung sedhela. Apa maneh saiki ana magig com utawa magig jar. Gawe kupat lan lepet iku dibuntel, ditaleni, digodhog ing kwali utawa dandang kanthi suhu panas kang dhuwur mbutuhake wektu sing suwe banget, saengga kupat lan lepet bisa mateng. Yen nggodhoge mung sedhela utawa ora taneg, kupat lan lepet ora enak rasane lan mesthi kepyar ora lengket. Proses, wujud, lan tegese lepet iku aweh wewarah mangkene:
Sasuwene setaun manungsa nglakoni urip, mesthi tumindak kang becik lan ala. Becik marang Gusti lan manungsa, uga ala marang Gusti lan manungsa. Yen becik mesthi bakal diganjar dening Pangeran. Dene kalakuwane ala, manungsa kudu digodhog ing kawah candradimuka kanggo nglebur dosane marang Gusti sasuwene sesasi nglakoni pasa. Mula kupat lepet iku mau digodhog molak-malik kadi dene kawah candradimuka. Iki mujudake hubungane manungsa karo Pangeran. Hablun minalloh....
Dene wujude kupat lan lepet iku senajan asale saka beras lan saka ketan, sawise digodhog wujude wis ora beras lan ketan maneh. Wis ora ijen-ijen, ora bisa kepyar kaya asale. Beda karo sega utawa ketan dang-dangan ta? Enak ta? Mantep ta? Kok kaya lagune Mbah Surip wae.....Wujud kang kaya ngono iku mau mujudake sawise sesasi pasa manungsa dikongkon ”merenung” marang kaluputane uga marang manungsa sapepadhane supaya tetep lengket anggone paseduluran lan kekancan. Ditaleni kenceng. Iku mujudake kencenging tali silaturohmi. Aja gampang cengkah lan regejegan saengga ”memecah persatuan lan kesatuan”. Kudu ndawakake tali silaturohmi, aja nganti ucul. Mula kupat lan lepet iku lengket, kenyal ora gampang ambyar. Hablun minannas.....
Sing paling wigati mungguhing kupat lan lepet iku ing teges simbule wong Jawa. Yen ngaku dadi wong Jawa kudu duwe watek kaya kupat lepet. Kupat mono kerata basane kula lepat. Dene lepet kerata basane disilep sing rapet. Tembung disilep iku tegese padha karo ditutup utawa dikubur.
Maksude, wong Jawa iku sanajan uripe sarwa samun ing samudana utawa sarwa simbol lan sandi, yen pancen duwe kaluputan kanthi tanggung jawab kudu gelem ngaturake kaluputane lan nyuwun pangapura. Ora tumindak sesongaran, gumedhe, kuminter, kumalungkung, sapa sira sapa ingsun. Ora kena ndelng drajat lan pangkat. Yen pancen luput kudu gelem ngakoni yen luput. Banjur kudu gelem nyuwun pangapura. Samono uga, yen pancen sing salah wis gelem ngakoni salahe llan nyuwun pangapura, sing disuwuni pangapura ya kudu nyepura kaluputane pawongan mau.
Tumrape para pejabat, elinga marang kupat lan lepet. Aja dumeh dadi pejabat terus menang-menangan, tumindak sawenang-wenang marang sapepadha llan rakyate. Panjenengan punika kedah mad sinamadan kaliyan rakyat. Amarga Panjenengan dados pejabat punika amargi dukungan saking rakyat. Sinaosa pejabat, manawi kagungan lepat, sumangga ing dinten ingkang fitri menika sami apura-ingapuranan. Supados situasi ing Rembang menika kondusif. Saged mujudake Rembang Bangkit ingkang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Baldatun Thoyyibatun waa Robbun Ghofur.
Mangan kupat jangane sante, menawi lepat nyuwun pangapunten
Minal ’aidin wal faa izin.

Sabtu, 04 April 2009

W I R I D BEBUKANING WIRID

W I R I D
BEBUKANING WIRID

Bebukaning Wirid kang amratelakake ganepe patraping amejang ngelmu makrifat kasampurnaning ngaurip, ing jaman semana wis katindakake dening para Wali kabeh, urute sawiji-wiji ing ngisor iki.

Ingkang dingin, wiwitan patrap kang dadi kawajiban, iku guru karo bakal murid pada amet banyu wudu, sarta niayat kang karepe mengkene : “Nawaitu raf’al hadasi suharata walakabirata fardlanlillahi ta ala Allahu akbar” (Niyatingsun amet banyu kadas, angilangake kadas cilik lan gede perlu karana Allah).

Nuli pada dandan anganggo sandangan sarwa suci, ora kena anganggo kang mawa emas, utamane manawa karsa anganggo kuluk, banjur ngliga sarira kekonyo gando wida, sarta nganggo sumping kembang oncen-oncen Surengpati ana ing kuping kiwa, karo nganggo kalung kembang oncen-oncen Margasupana, wangun kaya oncen-oncen usus pitik karangkep telu, utawa nganggo gombyok keris kaya pangaten anyar.

Nuli ing pamejangan katata dipasangi tetuwuhan maju papat,sarta kadodokan lampit kang resik, banjur katumpangan klasa pasair kang tigas, ing duwur pisan katumpangan mori putih saules lapis pitu, apese lapis telu, mawa kasebaran kembang campur bawur.

Nuli sesaosan srikawin salaka putih bobot satail, kadokok ing wewadah tunggal karo lengz sundul-langit, sarta menyan bobot saringgit, kasasaban mori putih mawa pangiring sesanggan gedang agung suruh ayu, jambene tanganan, kasasaban mori putih dadi rong wadah sarta kembar mayang sajodo pada sumaji ana ing pamejangan.

Nuli ing antara manawa wis sirep wong utawa wayah tengah wengi, pada tindak menyang enggon pamejangan, kang bakal kawejang linggih madep mangulon , sarta dedupa ratus kaasepake ing kuping kiwa, banjur ing irung, wekasan ing dada, iku wiwit kawejang teka gurune. Dene kang kawejangake, anurut pamejange para Wali wolu ing Tanah Jawa, kakumpulake dadi sawiji. Wijose pada amet wijining ngelmu kekiyasan saka Dalil pangandikaning Allah, kang kasebut ing dalem Hadis pangandikane Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah marang Sayidina Ali kawisikake ing kuping kiwa, pepangkatane dadi wolung wejangan, kapratelakake ing ngisor iki jarwane kabeh :

1. Wisikan Ananing Dzat

Wejangan punika dipun-wastani wisikan ananing Dzat, awit dening pamejangipun kawisikaken ing talinga kiwa, wiyosipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang wiwitan, nukilan saking warahing kitab Hidayat khakaik, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, makaten jarwanipun :
“Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku ingsun, ora ana Pangeran Nanging Ingsun, sajatining Dzat Kang Maha Suci anglimput ing Sipatingsun, anartani ing asmaningsun amratandhani ing afngalingsun”.

2. Wedharan Wahananing Dzat

Wejangan punika dipun wastani Wedharan Wahananing Dzat, awit dene pamejanganipun amarah urut-urutan dumadining Dzat, sipat, wahanipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping kalih, nukilan saking sarahing kitab Dakaikalkaik.

Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine ingsung Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning afngalingsun kang minangka bebukaning IraDzatingsun, kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Adamm akdum azali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh Idlapi, nuli damar aran Kandhil, nuli sesotya aran Darah, nuli dhindhing jalal aran Kijab kang minangka warananing Kalaratingsun”.

3. Gelaran Kahaning Dzat

Wejangan punika dipun wastani gelaran kahaning Dzat, awit dening pamejanganipun ambabar dados kanyataan anasiring Dzat sipat, inggih punika nalika Pangeran Kang Maha Suci karsa amujudaken sipatipun. Gumelar kahananipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping tiga, nukilan saking Kitab bayan Humirat mupakat kaliyan Kitab Bayan Alip, kitab Madinil Asror, kitab Makdinil Maklum, inggih punika bangsaning kitab tasawup sadaya. Sami amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah karaos ing dalem rahsa, makten jarwanipun ;
”Sajatine manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam, asal saking anasir patang prakara : 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. banyu, Iku kang dadi kawujudaning Sipatingsun. Ing kono ingsun panjingi mudah limang prakara : 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku minangka warananing wajahingsun Kang Amaha Suci”.

4. Pambuka Tata Malige Ing Dalem Bait-al-makmur

Wejangan punika dipun wastani, kayektening kahanan Kang Maha Luhur, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-makmur. Awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha suci, anggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat minangka Baitullah wonten ing sarahipun manungsa, punika sajatosipun dados pitedhah kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya langgeng boten kenging ewah saking gingsir saking kahanan jati.

Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan nungkilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kapisan karaosaken ing dalem rahsa, makaten jarwanipun.
”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoneng Parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati”.

5. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-muharram

Wejangan punika dipun wastani kayektening kahanan Kang Maha Agung. Inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-muharram, awit dening pamejanganipun pambuka kodrat iraDzating Pangeran kang Maha suci, enggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitullah wonten ing dhadhaning manungsa.

Kasebut ing dalem daliling dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat kang Maha Mulya lenggah boten kenging ewah ginsir saking kahanan jati.

Kasebut ing dalem daliling ngemi ingkang kaping gangsal, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, ayat ingkang kaping kalih karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-muharram, iku omah enggoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.

6. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-mukaddas

Wejangan punika dipun wastani ; kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-mukaddas, awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha Suci angenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitulah katata wonten ing kontholing manungsa. Punika sajatosipun ugi dados pitedhahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya, lenggah boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati. Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping enem, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil. Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha suci dhateng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kaping tiga, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :
”Sajatine Ingsun nata malige sajroning Bait-al-mukkadas, iku omah enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana antarane pringsilan iku nutfah, iya iku mani sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran angin Ingsun Dzat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajtining sipat Ingsun”.

7. Panetep Santosaning Iman

Wejangan punika dipun wastani panetep santosaning iman, abebuka sahadat jati, awit dening pamejangipun amangsit ingkang dados pikekahing pangandel kita, denira angestokaken dhateng kayektining gesang kita pribadi, manawi sampun tetep minangka tajalining Pangeran Kang Maha Suci sajati. Kasebeut ing dalem ijemak riwayating para wiliyullah, nukilan saking kadis makdus, salebeting bab maklumatul uluhiyah. Wiyosipun anyariyosaken kakekating taukid. Ingkang terus dhateng iktikad, wewiridan saking cipto sasmitanipun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsittaken dhateng sayidina Ali, makaten jarwanipun :
”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun”.

Menggah dunungipun makaten :
a. Ingkang dipun wastani Pangeran meniko Dzating gesang kita pribadi, sebab sajatosipun sagung asya sami kukum napi sadaya, tegesipun asya ; sawiji-wiji, tegesipun napi, boten wonten, mila kasebut boten wonten Pangeran isbatipun inggih namung Dzating gesang kita pribadi. Tegesing isbat ; tetep, dados teteping ingkang anyebut kaliyan ingkang sinebut Pangeran punika boten wonten sanesipun, suraos tunggal tanpa wewangenan amung kaot lair batin kemawon.

b. Ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita, mila dipun basakaken utusan, amargi dados pangeran rahsaning Dzat, kawistara wonten ing netya, kados ingkang kasebut wonten ing dalil salebeting Qur’an makaten jarwanipun :
“Sayekti temen-temen teka ing sira kabeh, utusaning Dzat metu saka ing awakira kang maha mulya, mungguhing utusan iku anembadani barang saciptanira, yen angandel sayekti antuk sih pangapuraning Pangeran”.

Manawi sampun anampeni dalil Qur’an pangandikanipun Pangeran Kang Maha Suci makaten wau, dipun waskitha ing galih. Inggih gesangkita pribadi wahananing nugraha, kahananing kanugrahan. Nugraha punika Dzating Gusti, kanugrahan punika sipating kawula, tunggal tanpa wewangenan dumunung wonten ing badan kita. Sampun uwas sumelang malih, sebab ingkang kasebut ing Kitab Insan Kamil amarah manawi namaning Allah punika inggih namaning Muhammad. Umpami sabet kaliyan warangkanipun. Ing mangke Allah minangka warangka, Muhammad minangka sabet, ing tembe wewangsulan.

Wisiyating guru ingkang amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, kaprayogekaken sami anglampahana boten karsa dhahar ulam lembu. Kabar angsal paedah manjing dados putra muridipun Kanjeng Susuhunan ing Kudus, kaidenan ingkang dados saesthining galihipun.

Wonten riwayating guru manawi amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, ingatasipun amejang dhateng pawestri, wenang kawewahan makaten jarwanipun.
”Ingsu ankeseni, satuhune ora ana Pangeran anging ingsun, lan anekseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusan Ingsun Fatimah iku umat Ingsun”.
8. Sasahidan

Wejangan punika dipun wastani sasahidan, awit dening pamejanganipun kinen asahida dhateng wahananing sanak kita. Inggih punika ananing dumadi ingkang gumelar wonten ing alam dunya, kadosta, bumi, langit, wulan, lintang, latu, angin, toya, sapanunggalipun sadaya. Sami aneksenana yen kita mangke sampun purun angakeni “ Jumeneng Dzating Gusti “ Kang Maha Suci, dados sipating Allah Kang sajati. Kasebut ing dalem kiyas wewarahing para pandhita, anggenipun amencaraken nukilan saking kadis mahdus, salebeting bab Maklumating Huluhiyah. Wosipun anartani ing panetep santosaning iman, dados panuntuning tokid ingkang ambontos dhateng iktikad. Inggih ugi pepiridan saking cipta sasmitaning Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsitaken dhateng Sayidina Ali, makaten jarwanipun ;
”Ingsun anekseni ing Dzatingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku rahsaningsun, iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena gingsir ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana Ora kekurangan ing pangerti, Byar sampurna padang tarawangan, Ora krasa apa-apa Ora ana katon apa-apa, Amung Ingsun kang anglimuti ing alam kabeh kalawan kodratingsun”.

Menggah dunungipun makaten :
Ingkang dipun wastani Pangeran punika Dzating gesang kita pribadi, ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita pribadi. Manawi ingkang kasebut ing dalem dhikir “ La Illaha Ilullah, Muhammad Rasulullah “ tegesipun boten wonten Pangeran anging Allah, Nabi Muhammad punika utusaning Allah punika afngaling Rasul, dumunung ing badan kita. Rasul punika asmaning Muhammad, dumunung ing rahsa kita. Muhammad tuwin sipating cahya, dumunung ing gesang kita. Sajataning gesang kita punika, Dzating Pangeran Kang Maha Suci. Kayektosanipun kasebat ing dalem daliling Al Qur’an, manawi Pangeran Kang Mahasuci punika kawasa amijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inggih gesang kita pribadi punika. Sayekti awit saking pejah, ing wekasan boten kenging pejah. Dipun basakaken ; kayun pidareni. Tegesipun : gesang ing kaanan keakalih, wonten ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir inggih gesang. Sarta boten kasupen ing Dzat kita kang agung, boten ewah gingsir ing sipat kita kang elok, boten kasamaran ing sama kita kang wisesa, boten kekirangan ing afngal kita kang sampurna, dados pepuntoning taukid ingkang ambontos dhateng iktikad. Sampurnaning gesang kita punika boten wonten karaos utawi tanpa katinggal punapa-punapa. Amung waluya sajati lajeng anglimputi ing alam sadaya ; sampun uwas sumelang.

Wasiyating guru ingkang medharaken ngelmi sasahidan, kaprayogekaken sami anglampahana sampun ngantos anyebut Allah, kaisbatna anyebut Pangeran, kadosta : ing bebasan saking karsaning Allah, isbatipun saking karsaning Pangeran. Kabar pakantukipun ingkang sampul kalampahan asring kadhawahan ilham. Dados amewahi teranging pambudi, ananing wasiyating guru ingkang sami kawaleraken sadaya punika manawi kasupen boten dados punapa, sebab sajatosipun ingkang dados awisaning ulah ngelmi kasampurnan punika namung napsu. Manawi saged ambirat hawa napsu, saking aDzat kadunungan manah awas tuwin emut. Manawi tansah awas emut saestu manggih kamulyan ing sangkan paran sasaminipun kados riwayating para ahli ngelmi ingkang kasebut ing ngandhap punika :
a. Taberi suci temen ; Minangka pambirating durgandana ing tembe, tegesipun ; ganda awon.
b. Angengirangi dhahar nginum ; Minangka paluluhaning raga ing tembe.
c. Angawisi sare shawat ; Minangka pangluyutaning jiwa ing tembe.
d. Nyenyuda napsu wuwus ; Minangka panglenyepaning rahsa ing tembe.

Manawi sampun lenyep rahsanipun, kabar dumugining delahan ing tembe lajeng layat dados cahaya gum, ilang tanpa wewayangan ing kaanan kita kang sejati. Punika sarehning kula dereng saged anglampahi piyambak, dados namung anyumanggakaken ing pamanggihing galih kemawon. Bokmanawi kalampahan makaten inggih wallahu alam katarimahipun.

Sawise ganep pamejange, nuli amarah patrape paraboting ngilmu dadi wolung pangkat, kasebut ing ngisor iki :

1. Pamuja.

“Ana pepujaningsun sawiji, Dzate iya Dzatingsung, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, sampurna kalawan kudratingsun”.

2. Tobat utawa Panalangsa.

“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeding jisimingsun gorohe ing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase ing mengko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.

3. Pangruwat.

“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalmia pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe, Mar Marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadang ingsun kang ora katon lang kang ora karawalan, utawa kadangingsun kang metu saka marga ina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurnaa nirmala waluya kahanan jati dening kudratingsun”.

4. Saksi ing Dzat Kita, kaya Sasahidan.

“Ingsun anakseni ing Dzatingsun dewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kudratingsun”.

5. Anucekake Sakehing Anasir.

“Ingsun anucenaken sakaliring anasiringsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa Rochani, nirmala walya ing kahanan jati dening kudratingsun”.

6. Angawinake Badan Karo Nyawa.

“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine Malaekat papat, iya iku Insun kang angawin badaningsun, winalenan dening rahsaningun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening Malaekatingsun papat, Jabarail, iya iku pangucapingsun, Mikail pangambuningsun, Israfil paningalingsun, Idjrail pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.

7. Sangkan Paraning Tanazultarki.

“Ingsun mancad saka ing alam Insan Kamil, tumeka ing alam Ajsam, nuli tumeka ing alam Misal, nuli tumeka ing alam Arwah, nuli tumeka ing alam Wachidiyat, nuli tumeka ing alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang tarawangan saka ing kudratingsun”.

8. Pambirat Asaling Cahya.

“Cahya ireng kadadeyaning napsu, Luwamah sumurup maring cahya kang abang, cahya abang kadadeyaning napsu, Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu, Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya puti kadadeyaning napsu, Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarna kadadeyaning Pramana, sumurup marang Dzating cahyaningsun kang awening mancur mancorong gumilang tanpa wewayangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.

Sawise mangkono, nuli amarah maneh praboting amatrapake panjenenganing Dzat, dadi sangang pangkat, kasebut ing ngisor iki.

1. Angumpulake Kawula Gusti.

“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun, tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”.

2. Maha Sucekake Ing Dzat.

“Ingsun Dzat Kang Amaha Suci Kang Sifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nilmala waluya ing jatiningsun kalawan kudratingsun”.

3. Angrakit Karatoning Dzat.

“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha mulya. Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun, kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.

4. Angracut Jisim.

“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana ing jaman karamating maha mulya, waluya kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asala saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali marang ingsun maneh saka ing kudratingsun”.

5. Anarik Sampurnaning Akrab.

“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe, pada suci mulya sampurnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”.

6. Angukud gumelaring Jagad.

“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya sampurnaa dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”.

7. Ambabar Karaharjaning Turas.

“Turasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”.

8. Amasang Pangasihan.

“Sakahe titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun, saka ing kudratingsun”.

9. Amasang Kamayan.

“Sakeha machlukingsun kabeh, kang ora angendahake maring Sun, pada kaprabawa dening kamayan dening kudratingsun”.

Ing wekasan kang kawejang dijantenana yen panggonaning patrap pratikele sawiji-wiji, kapratelakake ana Babaring Wirid amawa murad maksud kasebut dadi pituduhane dununging ngelmu makrifat kabeh mau iku.

Sawise mangkono, kang amejang maca dunga Istiqfar karo dunga Kabula, sajeroning batin anuwun pangapura marang Kang Amurba Amisesa ing ngurip, supaya aja nganti pleh wewalak anggone amerake rahsaning Dzat iku.

Nuli kang kawejang dijanjeni, Manawa isih urip gurune, ora kena mejang, kang wis kalakon andadekake ora prayoga, dene Manawa kaburu ing perlu, ana akrabe kang lara lara-banget, mangka during ngelmu, iku kena amisik Ananing Dzat bae.

Kajabone saka mangkono, saupama kang kawejang mau during anarima utawa isih kurang padang ing panampane, Manawa arep anggeguru ing liyane maneh ora dadi apa, angger anajaluk idening guru kang amejang ngelmu iku.

Sawise mangkono banjur pada sesalaman, utamane kang kawejang mau yen karsa angabekti marang kang amejang.

Sawise luwar saka pamejangan, ing kono nuli pada angepung mabengan, salamating jiwa raga, mungguh kehing ambengan dadi telung asahan, ing ngisor iki pratikele :
1. Memule angaturi dahar Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, sega wuduk, lembarang pitik, utawa endog, karupuk, lombok, terong.
2. Memule angaturi dahar para Sahabat Rasul karo para Waliyullah, sego golong, pecel pitik, jangan menir, iwak kebo siji kagoreng.
3. Memule angaturi dahar marang leluhur kang pada amedarake rahsaning ngelmu makrifat apa kang dadi dedaharane nalika isih urip, sarta nganggo kinang, kembang konyoh, kabeh iku pada kadonganan onga Rasul, Majmuk Kabula, Tulak-bilahi wekasan Salamet.

Dene pakolehing amejang iku, yeng amarengi sasi tanggale sapisa ing dina Jum’at, pamejange anuju purnama, anggere or sangar ora na’as, sarta ora taliwangke, Manawa sangaraning sasi anuju dina Jum’at, pamejang ing dina Anggara Kasih (seasa Kliwon), ora angetung purnama.

Mungguh pakolehing enggon pamejang iku, bumi sucikang becik arane, sarta ora kauban wangon, utamane yen ana ing gunung, ing ara-ara, ing banyu, angger becik jenege sarta sepen, prayoga kanggo panggonan amejang, kaya ta : ing gunung Agung,ara-ara ing Purwadadi, ing Ngadipala, bangawan ing Ngobol, luwih utama pisan Manawa amejang ana ing Sitinggil, utawa palataran ing Masjid Gede, sapepadane kang sakira pakoleh ing jeneng karo panggonane.

GURU LAN MURID

I. G U R U

Iki pratelane wajibing wong kang pantes dadi guru, ana wolung prakara :
1. Bangsaning Awirya, tegese bangsa luhur, kang isih kadrajatan.
2. Bangsaning Agama, tegese bangsa ulama, kang alim ing kitab.
3. Bangsaning Atapa, tegese bangsa Pandita, kang tansah ulah laku.
4. Bangsaning Sujana, tegese bangsa linuwih, kang dadi wong becik.
5. Bangsaning Aguna, tegese bangsa pinter, kang ulah kabisa.
6. Bangsaning prawira, tegese bangsa prajurit, kang isih kasawur prawirane.
7. Bangsaning Supunya, tegese bangsa sugih, kang isih kabegjan.
8. Bangsaning Susatya, tegese bangsa tani, kang temen.

Dene panganggoning wong dadi guru ana wolung prakara :
1. Paramasastra, tegese limpad ing sastra.
2. Paramakawi, tegese putus ing kawi.
3. Mardibasa, tegese memantes tembung.
4. Mardawalagu, tegese bisa gawe lemesing lelagon.
5. Hawacarita, tegese sugih carita.
6. Mandraguna, tegese sugih kabisan.
7. Nawungkrida, tegese lantip ing panglepasan.
8. Sambegana, tegese engetan.

Uger-ugering wong dadi guru ana wolung prakara :
1. Asih ing murid, dianggep anak putu.
2. Tulaten pamulange, ora mawa wigah-wigih.
3. Lumuh ing pamrid, ora duwe pangarah apa-apa.
4. Tanggap ing sasmita, bisa anampani pasemoning murid.
5. Sepen ing pangrayangan, ora dadi kira-kiraning murid.
6. Ora ambalekake pitakon.
7. Ora angendak kagunan.
8. Ora amburu aleman, angunggul-unggulake kapinteran.

Utamane wong dadi guru ana wolung prakara :
1. Mulus ing sarira, ora ana cacade.
2. Alus ing wicara, ora sok memisuh lan supata.
3. Jatmika ing solah.
4. Antepan bebudene.
5. Paramarta lelabuhane.
6. Patitis nalare.
7. Becik labete.
8. Ora duwe pakareman.

II. M U R I D

Iki pratikele wong kang wajib dadi murid, ana wolung prakara :
1. Tedak turun.
2. Tunggal bangsa.
3. Tunggal agama.
4. Tunggal basa.
5. Sumurup ing sastra.
6. Wis kaliwat tengah tuwuh.
7. Tanpa lelara.
8. Tanpa kuciwa.

Wenanging dadi murid, ana wolung prakara :
1. Nastiti.
2. Nastapa.
3. Kulina.
4. Santosa.
5. Diwasa.
6. Engetan.
7. Santika.
8. Lana.

Mokaling dadi murid, ana wolung prakara :
1. Edan.
2. Ayan.
3. Wuta.
4. Tuli.
5. Bisu.
6. Bocah durung dewasa.
7. Wong tuwa kang wis lali.
8. Wong lara banget kang wis lali.

Panganggoning dadi murid, ana wolung prakara :
1. Angimanake, sirik yen maidowa.
2. Angatonake, sirik yen anapekena.
3. Anastitikake, sirik yen anglirwakna.
4. Anerangake, sirik yen anyuala.
5. Amusawaratake, sirik yen amiyagaha.
6. Anggelarake, sirik yen angumpeta.
7. Anglulusake, sirik yen ambatalena.
8. Anindakakake, sirik yen angenengena.

Jumat, 03 April 2009

SERAT (MANTRA-WEDHA, SUKMA-WEDA, DARMA-WEDA, JAPA-WEDA, JIWA-WEDA)

Mantra-Wedha

(1)
Ono kidung rumekso ing wengi,
Teguh ayu luputo ing loro,
Luputo ing bilai kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ono wani,
miwah panggawe olo,
gunaning wong luput,
geni atemahan tirto,
maling adoh tan keno ing mami,
tuju guno tan sirno.

(2)
Sakebehing loro tan soyo bali,
Kahehing omo tan sami soyo mirudo,
Welas asih pandulune,
Sakehing brojo luput,
Kadi kapuk katibaning wesi,
Sakehing wiso towo,
Sato galak tutut,
Kayu aeng lemah sangar,
Songing landak guwaning lemah miring,
Myang pakiponing merak.

(3)
Pagupakaning warak sakalir,
Nadyan arco myang sagoro asat,
Temahan rahayu kabeh,
Dadya sariro ayu,
Ingideran pro widodari,
Rinekso pro malaikat,
Sakatahing rosul,
Tan dadi sariro tunggal
Ati adam utek ku bagindo eisis,
Pangucapku ya Musa.

(4)
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsa ningwang
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud suwaraku
nJeng Suleman kasekten mami
Nabi Ibrahim nyawa,
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Getih daging Abu Bakar Ngumar singgih,
Balung baginda ngusman

(5)
Sumsumingsun Patimah linuwih,
Siti aminah bayuning angga,
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

(6)
Sawiji wiji mulane dadi,
Apencar mulaning jagad,
Kasamaran dining dzat e,
Kang maca kang ngerungu,
Kang anurat kang ngimpeni,
Dadi ayuning badan,
Kinaryo sesembur,
Yen winacakno ning toya
Kinarya dus rara tuwo gelis laki,
Wong edan nuli waras.

(7)
Lamun ono wong kadendo kaki,
Wong kabanda kabotan utang,
Yogya wacanen den age
Naliko tengah dalu,
Ping sewelas wacanen singgih,
Luwar ingkang kabanda,
Kang kadendo wurung,
Agelis nuli sinauran,
Mring hyang sukma ingkang utang iku singgih,
Kang agering nuli waras.

(8)
Lamun arso tulus nandur pari,
Puasa o sawengi sadino,
Iderono galengane,
Wacanen kidung iku,
Sakabeh e ngama sami bali,
Yen siro lungo perang,
Wateken ing sengkul,
Antuka tigang pulukan,
Musuh siro rep sirep tan ono wani,
Rahayu ing payudyan.

(9)
Sopo sing reke biso nglakoni,
Amutih lawan anawa,
Patang puluh dino bae,
Lan tangi waktu subuh,
Lan den sabar sukuring ati,
Isya Allah katekan,
Tumrap sanak rajatira,
Saking sawabing ilmu pangiket amami,
Duk aneng Kali Jaga.

Suksma–Wedha

(10)
Ana kidung reke angartati,
Sapa eruh reke aran ingwang,
Duk ingsung ono ing ngare,
Miwah duk aneng gunung,
Ki samurta lan Ki samurti,
Ngalih aran ping tiga,
Arta daya tengsung,
Arang ingsung duk jejaka,
Ki artati aran ingsung ngalih,
Sapa weruh aran ingwang.

(11)
Sapa weruh tembang tepus kaki,
Sasat weruh reke arta daya,
Tunggal pancer sauripe,
Sapa weruh ing panuju,
Sasat sugih pagere wesi,
Rinekso wong sajagat,
Kang angidung iku,
Lamun dipun apalane,
Kidung iku den tutug pada sawengi,
Adoh panggawe ala.

(12)
Lawan rineksa marang Hyang Widhi,
Sakarsane tineko dening Hyang,
Rineksa ing jalma kabeh,
Kang amaca kang angerungu,
Kang anurat myang kang nimpeni,
Yen ora bisa maca,
Simpenono iku,
Temah ayu kang sariro,
Yen linakon dinulur sanendyan neki,
Lan rinekso dening Hyang.

(13)
Kang sinedya tinekan Hyang Widhi,
Kang kinarsung dumadakan kena,
Tur sinisiyan pangeran,
Nadyan tan weruh niku,
Lamun nedya muja semedhi,
Sasaji ing sagara,
Dadya ngumbareku,
Dumadi sariro tunggal,
Tunggal jati swara awor ing Artati,
Aran sekar jempina.

(14)
Somahira ingarang penjari,
Milu urip lawan milu pejah,
Tan pisah ing saparane,
Pari purna satuhu,
Anirmala waluya jati,
Keno ing kene kana,
Ing wasesanipun,
Ajejuluk Adhi suksma,
Cahya jumeneng aneng artati,
Anom tan keno tuwa.

(15)
Panunggale kawula lan Gusti,
Nila ening arane duk gesang,
Duk mati nila arane,
Lan suksma ngubaraeku,
Ing asmoro mung raga yekti,
Durung darbe peparab,
Duk rare iku,
Awayang bisa dedolan
Aran Sang Hyang Jati iya sang Artati,
Yeku Sang Arta jaya.

(16)
Dadya wisa mangkya amartani,
Lamun maria atemahan wisa,
Marma Arta daya rane,
Duk lagya aneng gunung,
Ngalih aran Asmara jati,
Wayah tumekeng tuwa,
Emut ibunipun,
Ni panjari lungo ngetan,
Ki Artati nurut gigiring Merapi,
Anulya mring Sundara.

Darma-Wedha

(17)
Ana panditha akarya wangsit,
Minda kombang angecap ing tawang,
Susuhing angin endhi enggone,
Lawan galihing kangkung,
Wekasane langit jaladri,
Isine wuluh wungwang,
Lan gigiring punglu,
Tapaking kuntul anglayang,
Manuk miber uluke ngungkuli langit,
Kusuma njrahing tawang.

(18)
Ngabil banyu apikulan warih,
Ametgeni sarwi adadamar,
Kodok ngemuli elenge,
Miwah kang banyu dikum,
Myang dahana murub kabesmi,
Bumi pinetak ingkang,
Pawana katiyup,
Tanggal pisan kapurnaman,
Yen anenun sateg pisan anigasi,
Kuda ngarap ing pandengan.

(19)
Ana kayu apurwa sawiji,
Wit buwana epang keblat papat,
Agedong mega rumembe,
Apradapa kukuwung,
Kembang lintang salaga langit,
Semi andaru kilat,
Woh surya lan tengsu,
Asiran bun lawan udan,
Apupucuk akasa bungkah pratiwi,
Oyode bayu bajra.

(20)
Wiwitane duk anemu candi,
Gegedongan miwah wewerangkan,
Sihing Hyang kabesmi kabeh,
Tan hana janma kang wruh,
Yen weruha purwane dadi,
Candi sagara wetan
Ingobar karuhun
Kayangane Sang Hyang Tunggal,
Sapa reke kang jumeneng mung Artati,
Katon tengahing tawang.

(21)
Gunung Agung sagara serandil,
Langit ingkang amengku buwana,
Kawruh ana ing artine,
Gunung sagara amung,
Guntur sirna amengku bumi,
Ruk kang langit buwana,
Dadya weruh iku,
Mudya madyaning ngawiyat,
Mangasrama ing gunung Agungsabumi
Candi candi sagara.

(22)
Gunung luhure kagiri giri,
Sagara agung datanpa sanma,
Pan sampun kawruhan reke,
Arta daya puniku,
Datan keno cinangkreng budi,
Anging kang sampun prapta,
Ing kuwasanipun,
Angadeg tengahing jagad,
Wetan kulon lor kidul mandap myang inggil,
Kapurba kawasesa.

(23)
Bumi sagara gunung myang kali,
Sagung inking sesining bawana,
Kasor ing Arta dayane,
Sagara sat kang gunung,
Guntur sirna guwa samya nir,
Sing aweruh Arta daya,
Dadya teguh timbul,
Lan dadi paliyasining prang,
Yen lelungan kang kapapag wedi asih,
Sato galak suminggah.

(24)
Jim peri parayangan pada wedi,
Mendak asih sakehing dubriksa,
Rumeksa siyang dalune,
Sing anempuh lumpuh,
Tan tumama ing awak mami,
Kang nedya tan raharja,
Kabeh pan linebur,
Sakabehing nedya ala,
Larut sirno kang nedya becik basuki,
Kang sineoya waluya.

(25)
Siyang dalu rineksa ing widi
Dinulur saking karseng Hyang Suksma
Kaidep ing janma kabeh,
Aran wikuning wiku
Wikan liring muja semedi
Dadi sasedyanira
Mangunah linuhung,
Peparab Hyang Tega Lana,
Kang kasimpen yen tuwajuh jroning ati
Kalising panca baya.

(26)
Yen kinaryan atunggu wong sakit
Ejim setan datan wani ngambah
Rineksa mala ekate
Nabi wali angepung
Sakeh lara pada sumingkir,
Ingkang sedya pitenah marang awak ingsun,
Rinusak dening Pangeran,
Iblis laknat sato moro sato mati
Tumpes tapis sadaya.

Japa-wedha

(27)
Ana kidung angidung ing wengi,
Bebaratan duk amrem winaca,
Sang Hyang Guru pangandeke,
Lumaku Sang Hyang Ayu,
Alembehane Asmara ening,
Ngadek pangawak teja,
Kang angidung iku,
Yen kinarya angawula,
Myang lulungan Gusti geting dadi asih,
Sato setan sumimpang.

(28)
Sakatahing upas tawa sami,
Lara raga waluya nirmala,
Tulak tanggul kang manggawe,
Duduk samya kawangsul,
Akawuryan saguhing pikir,
Ngadam makdum sadaya,
Datan paja ngrungu,
Pangucap lawan pangrasa,
Myang tumingal kang sedya tumekeng napi,
Pangreksaning malekat.

(29)
Jabarail inkang animbang
Milunira kanteban iman,
Pan dadya kendel atine,
Ngijail puniku,
Kang rumeksa ing ati suci,
Israpil dadi damar,
Madangi jrokalbu,
Mingkail kang asung sandang,
Lawan pangan tinekan ingkang kinapti,
Sabar lawan narimo.

(30)
Ya hudakyeng pamujining wengi,
Bale aras saka ne mulya,
Kirun saka tengen nggone,
Wanakirun kang tunggu,
Saka kiwa gada ne wesi,
Nulak panggawe ala,
Satru lawan mungsuh,
Pangeret tengajul rijal,
Ander ander khulhu balik kang linuwih,
Ambalik lara raga.

(31)
Dudur molo tengayatul kursi,
Lungguh neng atine surat aningam,
Pengleburan lara kabeh,
Usuk usuk ing luhur,
Ingkang aran wesi ngalarik,
Neng nabi mohamad,
Kang wekasan niku,
Antunggu ratri lan siyang,
Kinedepan ing tumuwung pada asih,
Tunduk mendak maring wang.

(32)
Satru mungsuh mundur pada wedi,
Pamidangan ing betal mukadas,
Tulak balik pangreksane,
Pan nabi patang puluh,
Paring wahyu mring awak mami,
Apan nabi wekasan,
Sabda Nabi Dawud,
Apetak bagenda Ambyah,
Kinaweden ebelis laknat lawan ejim,
Tan wani perak.

(33)
Pepayone godong dukut langit,
Tali barat kumendung ing tawang,
Tinunda tan katon mangke,
Arajeg gunung sewu,
Jala sutra ing luhur mami,
Kabeh pada rumeksa,
Angadangi mungsuh,
Nulak panggawe ala,
Lara roga sumingkir kalangkung tebih,
Luput kang wisa guna.

(34)
Gunung sewu dadya pager mami,
Katon murub kang katon tumingal,
Sakeh lara sirna kabeh,
Luput ing tuju teluh,
Tarakyana tenung jalenggi,
Bubar ambyur suminggah,
Sri Sedana lulut,
Punika sih Rahmatulah,
Iya Sang Jati mulya.

(35)
Ingaranan Rara subaning-sih,
Kang tuminggal samya sih sadaya,
Kadep sapari polahe,
Keh lara sirna larut,
Tan tumama ing awak mami,
Kang sangar dadi tawa,
Kang geting dadi lulut,
Saking dawuh sifat rahman,
Iya rahmat rahayu pangereksaneki,
Sarana nganggo metak.

(36)
Yen lumampah kang mulat awingwrin,
Singo barong kang podo rumeksa,
Gajah meta ning wurine,
Macan gembong ing ngayun,
Naga raja ing kanan kering,
Singa mulat njrih tresna,
Marang awak ingsun,
Jim setan lawan manungsa,
Pada kadep teluh lawan antu bumi,
Ajreh lumayu ngitar.

(37)
Yen sinimpen tawa barang kalir,
Upas bruwang racun banjar sirna,
Temah kalis sabarang reh,
Jemparing towok putung,
Pan angleyang tumibeng siti,
Miwah saliring braja,
Tan tumama mring sun,
Cedak cupet dawa tuna,
Miwah sambang setan tenung pada bali,
Kadep wedi maring wang.

(38)
Ana paksi mangku bumi langit,
Manuk iku endah warnanira,
Sagara erob wastane,
Uripe manuk iku,
Animbuhi ing jagad iki,
Warnanipun sakawan,
Sikile wewolu,
Kulite iku sarengat,
Getihipun tarekat ingkang sejati,
Ototipun kakekat.

(39)
Dagingipun makripat sejati,
Cucukipun sejatining sadad,
Eledan tohid wastane,
Ana dene kang manuk,
Pupusuhe supiah nenggih,
Emperune amarah,
Mutmainah jantung,
Luamah waduke ika,
Manuk iku anyawa papat winilis,
Nenggih manuk punika.

(40)
Uninipun jabrail singgih,
Socanipun punika kumala,
Anetra wulan srengenge,
Napas nurani iku,
Garananipun tursino nenggih,
Angaub soring aras,
Karna kalihipun,
Ing gunung Arpat punika,
Uluwiyah ing lohkalam wastaneki,
Ing gunung manik maya.

Jiwa-wedha

(41)
Ana kidung akandang permadi,
Among tuwung ing kawasanira,
Nganak ake saciptane,
Kakang kawah puniku,
Kang rumekso ing awak mami,
Anekakaken sedya,
Ing kawasanipun,
Adi ari ari ika,
Kang mayungi ing laku kawasaneki,
Nekakaken pangarah.

(42)
Punang getih ing raine wengi,
Ngrerewangi Allah kang kawuasa,
Andadekaken karsane,
Puser kawasanipun,
Nguyu uyu sabawa mami,
Nuruti ing paneda,
Kawasanireku,
Jangkep kadang ingsun papat,
Kalimane pancer wus dadi sawiji,
Tunggal sawujud ingwang.

(43)
Yeku kadang ingsung kang umijil,
Saking marga ina sareng samya,
Sadino awor enggone,
Sakawan kadang ingsun,
Ingkang nora umijil saking,
Marga ina punika,
Kumpule lan ingsun,
Dadya makdum sarpin sira,
Wewayangan in dat samya dadya kanti,
Saparan datan pisah.

(44)
Yen angidung poma den mametri,
Memuleya sego golong lima,
Takir pontang wewadahe,
Ulam ulamipun,
Ulam tasik rawa lan kali,
Ping pat iwak bangawan,
Mawa gantal iku,
Rong supit winungkus samya,
Apan dadya sawungkus arta saduwit,
Sawungkuse punika.

(45)
Tumpengana aneng pontangnya sami,
Dadya limang wungkus pontang lima,
Sinung sekar cempaka ne,
Loro sapotangipun,
Kembang boreh dupa ywa lali,
Memetri ujugbira,
Donganira Mahmud,
Poma dipun lakonono,
Saben dino nuju kalahiraneki,
Agung sawabe ika.

(46)
Balik lamun ora den lakoni,
Kadang ira pan pada ngrencana,
Temah kudrasa ciptane,
Sasedyanira wurung,
Lawan luput pangarahneki,
Sakarepe ira wigar,
Gagar datan antuk,
Saking kurang temenira,
Madep laku iku den awas den eleng,
Tamat ingkang kidungan.

ANGETRAPAKE PARABOTING NGELMU KASAMPURNAN

Panengeraning Dina Kiyamat .
Bebukane amratelakake kang dadi Panengeraning dina Kiyamat, tegesing Kiyamat, jumeneng, kasebut ing gisor iki.

1. Panengeran Kang Dingin.

Kang dingin, yen wis asring uninga kang ora katonton, tanda kurang satuan, ing kono panggonane anyaketi tapa brata anyenyuda pakareman, anetepana panggalih : trima, rila,, temen, utama, mungguh utama iku dumunung ana ing sabar darana.

2. Panengeran Kang Kapindo

Kang kapindo, yen wis asring mireng kang kapiyarsa, kaya ta, mireng rerasaning jin setan, sato kewan, tanda kurang setengah taun, ing kono panggonaning kurmat sapanunggalane anglakoni panggaweyan becik, kinantenan angati-ati marang uripe dewe.

3. Panengeran Kang Kaping Telu.

Kang kaping telu, yen wis salin ing paningale, kaya ta, ing sasi Muharram, Shafar, andulu langit katon abang; Mulud, Rabiul Akhir, srengenge katon ireng; Jumadilawal, Jumadilakhir, rembulan katon ireng; Rejeb, Ruwah, banyu katon abang; Pasa Syawal, wewayangane dewe katon loro; Zulkaedah, Besar, geni katon ireng; kabeh iku tanda kurang rong sasi, ing kono panggonaning wasiyat karo riwayat, tegese amemeling karo wewarah, kinantenan taberi asesuci.

4. Panengeran Kang Kaping Pat.

Kang kaping pat, yen dariji panungguling asta dibekuk, kapetelake dalah epek-epeke, dariji manis kaangkat, yen wis kaangkat anjunjung dariji manise mau, tanda kurang patang puluh dina, ing kono panggonaning afiyat, tegese pangapura. Iya iku anenuwun pangapura marang Pangerane, saha banjur angapura marang kang pada kaluputan, utawa aminta pangapura marang kang pada rumasa kalarakake atine.

5. Panengeran Kang Kaping Lima.

Kang kaping lima, yen asta kawawas ing netra loro darijine wis katon kalong, ugel-ugele wis katon pedot, tanda kurang sasasi, ing kono panggonaning amatrapake pikukuhing ngelmu kasampurnan kaya kang kasebut ing ngisor iki :

a. Iman, tegese angandel, kang diandel kudrate, tegesing kudrat : kuwasa.

b. Tauhid, tegese muhung sawiji, tegese pasrah marang iradate, tegesing iradat : karsa.

c. Makrifat, tegese waskita, kang diwaskitani ngelmune iya iku anguningani dununging Dzat, sifat, asma, afngal, tegesing Dzat : kanta, sifat : rupa, asma : aran, afngal : pakreti.

d. Islam, tegese slamet, kang slamet iku chayate, tegesing khayat : urip, dumunung ana ing sifat jalal, jamal, kahar, kamal, tegesing jalal : agung, kang agung iku Dzate, dening anglimputi ing alam kabeh, tegesing jamal : elok, kang elok iku sifate, dening dudu lanang dudu wadon, dudu wandu, sarta ora arah ora enggon, tanpa warna tanpa rupa, tegesing kahar : wisesa, kang wisesa iku asmane, dening ora nama sapa-sapa, tesegesing kamal : sampurna, kang sampurna iku afngale, dening bisa gumelar pada sanalika pakretine, saka kawasa tanpa sangsaya.

Mungguh dununge mangkene, iman dumunung ana ing eneng, tauhid, dumunung ana ing ening, makrifat dumunung ana ing awas, islam dumunung ana ing eling.

6. Panengeran kang Kaping Nem.

Kang kaping nem, yen wis asring katonton warnane dewe, tanda kurang satengah sasi, ing kono panggonaning Pamuja, aneges karsane Kang Kawasa, patrape ing saben apangkat arep sare, Pamujane kasebut ing ngisor iki :

“Ana pujaningsun sawiji, Dzat iya Dzatingsun, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, samprna kalawan kudratingsun”.

Ing nalika iku ciniptaa kang pinuja tunggal, kaya ta Bapa, Biyung, Kaki, Nini, Garwa, Putra, Wayah, sapadane kang dadi pelenging cipta bisaan anunggal ing jaman kalanggengan.

7. Panengeran Kang Kaping Pitu.

Kang kaping pitu, yen wis rumasa larakasandang, tegese ora arep apa-apa, tanda kurang pendak dina, ing kono panggonaning tobat, patrape manawa lagi wungu sare, kasebut ing ngisor iki :

“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeting jisimingsun, gorohing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase, ing mangko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh kalawan kudratingsun”.

8. Panengeran Kang Kaping wolu.

Kang kaping wolu, yen wis karasa gerah uyang saranduning sarira ing jaba jero kabeh, terkadang asring andadekana wetuning sesuker tinja taun, kara tinja kalong, utawa cacing kalung karo cacing tembaga, ing wekasan pucuking parji karasa anyep, andadekake teranging nutfah, iku tanda wis parek ing dina Kiyamat, amung kurang ing saantara dina, ing kono waktuning Dajal laknat katon arep agawe arubiru, marang kahanan kita, iya iku pangonaning katekan rancana saka sadulur papat, kalima pancer dumunung ana ing badan kita dewe, panangkise anapekena rahsaning jati wisesa, tegese angenirake angen-angen, banjur karuwata kaya ing ngisor iki :

“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe. Mar marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadangingsun kang ora katon, lan kang ora karawatan, utawa kadangingsun kang metu saka marga hina lan ora metu saka ing marga hina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurna nirmala waluya ing kahanan jati, dening kudratingsun”.

Nuli asaksiya kalayan Dzat kita dewe, kaya asahid marang wahananing sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ing alam dunya, wis kasebut ing ngarep ana wekasaning wewejangan.

9. Panengeran Kang Kaping Sanga Utawa kang Wekasan.

Kang kaping sanga, yen ketek ana ugel-uegeling asta wis ora ana, andadekake oncate pramananing kanaka, sarta pramananing tingal wis sepen, andadekake rupeking pandulu rengating alis, utawa garebeging talingan wis meneng, andadekake pengeng sanalika, ing wekasan garing-gingen kang sarira banjur kambu gandaning sawa, iku tanda wis muncad ing dina Kiyamat, jumeneng kalayan pribadine, ing kono panggonaning anucekake sakehing anasir, tegesing anasir : bangsa, iya iku bangsaning khak kang dumunung ana ing Dzat, sifat, asma, afngal, kaya ta : anasir badan asal saka ing bumi , geni, angin, banyu, iku kaciptaa suci mulya mulih marang asale, saampurnaa anunggal kalayan anasiring roh, kang sumende ana kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud; Tegese wujud : wahana, iya iku getih, amarga getih iku dadi kanyatahaning roh, Tegese ngelmu : paningal, iya iku paningaling netra balaka, amarga paningal iku dadi pamawasing roh, Tegese nur : cahya, iya iku cahya kang anglimputi ing sarira, amarga cahya iku dadi pratandaning roh, Tegese suhud : saksi, iya iku napas, amarga napas iku dadi saksining roh.

Dene enggone anucekake kasebut ing sajroning cipta mengkene :

“Ingsun anucekake sakalaliring anairingsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa rochani, nirmala waluya ing kahanan jati dening kudratingsun”.

Yen wis mangkono, nuli Nur Muhammad tumimbul, gumilang-gilang ana ing ana ing wadana, tanda bakal binuka kijabing Pangeran, meh katone sakehing cahya, ing kono panggonaning ngawinake badan karo nyawa, kasebut ing sajroning cipta mangkene :

“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine malaekat papat, iya iku Ingsun kang angawin badaningsun, winalenan dening Rahsaningsun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening malaekatingsun papat, Jabrail, iya iku pangucapingsun, Mikali, pangambuningsun, Israfil, paningalingsun, Ijraril, pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.

Nuli anyiptaa sangkan paraning Tanazultarki, kasebut ing ngisor iki :

“Ingsun mancad saka alam Insan Kamil, tumeka maring alam Ajsam, nuli tumeka maring alam Misal, nuli tumeka maring alam Arwah, nuli tumeka maring alam Wachidiyat, nuli tumeka maring alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Achadiyat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang terawangan saka ing kudratingsun”.

Nuli anyiptaa ing pambirat asaling cahya sawiji-wiji kasampurnakake saka kudrat kita, supaya aja nganti kalimputan dening cahya kang andadekake durgamaning sangkan paran, mangkana pambirate ing sajroning cipta :

“Cahya ireng kadadeyaning napsu Luwamah sumurup maring cahya abang, cahya abang kadadeyaning napsu Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya putih kadadeyaning napsu Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarnakadadeyaning pramana sumurup maring Dzating cahyaningsun awening mancur mancarong gumilang tanpa wewanyangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.

Ing nalika iku upama ana karasa apa-apa ing badane, angusapa puser kaping telu (3), upama angrasa liwung kaya mendem, angusapa dada kaping telu (3), upama angrasa arip arep sare, angusapa batuk kaping telu (3), upama angrasa arep lali, angusapa embun-embun kaping telu (3), banjur tata-tata dandan kaya ing ngisor iki ptrape :

1. Wiwit asidakep suku tunggal anutupi babahan nawa sanga, dirijining asta pada antuk ing selaning dariji kaya angapu-rancang, jempol diadu pada jempol, banjur tumumpang ing dada, dibener sesipatane lawan tengahing dada, salonjoring sikil awit jempol sikil katemokake pada jempol sikil dipapak, polok ketemokake pada polok digatuk, dengkul katemokake pada dengkul dirapet, palanangan sapalandungane sinipat karo jempol sikil aja nganti katindihan.

2. Nuli amawas pucuking grana, disipat ing dada tumeka ing puser, ing palanangan, ing jempol sikil, banjur angeningake cipta.

3. Nuli angeremake netra kang alon, angingkemake lambe kang adamis, untu gatuka pada untu kang rata, ilat katekuk manduwur kapadalake ing cetak, banjur pasrah analangsa ing Dzate dewe.

4. Nuli amegeng napas ing sanalika banjur anyipta matrapake panjenenganing Dzat, wiwit angumpulake kawula gusti mangkene :

“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta maha sucekake ing Dzat kita kaya mangkene :

“Ingsun Dzat Kang Maha Suci Kang Asifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nirmala waluya ing jisimingsun kalawan kudratingsu”. Ing kono pamegengeng napas katurunake metu ing grana maneh, kang alon aja nganti kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angrakit karatoning Dzat kita kang amaha mulya kaya mangkene :

“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa andadekake ing karatoningsun kang agung kang maha mulya, Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, jangkep saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsa-karsaningsun kabeh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angracut ing jisim kita kaya mangkene :

“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun maneh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta anarik marang para akrab sapanduwur sapangisor kang wis pada ngajal, kasampurnakake kaya mangkene :

“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe pada suci mulya samprnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angukud gumelaring alam dunya kasampurnakake kabeh kaya mangkene :

“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya samprna dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta ambabar marang tedak turune kang pada kari kaya mangkene :

“Tusasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh, pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang pangasihan marang para tumitah kabeh kaya mangkene :

“Sakehing titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang kamayan marang para mahkluk kang pada angarubiru, utawa ora angendahake marang jisim kita kaya mangkene :

“Sakehing mahklukingsun kabeh, kang ora angendahake maringsun, pada kaprabawa ing kamayan dening kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Dene enggone amatrapake panjenenganing Dzat kabeh mau yen karingkes dadi sawiji ana pratingkahe, wiwit pamegenging napas amung sapisan bae, ing sanalika amatrapake kaya mangkene :

“Sakaliring cahya kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun, iya Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, iya Ingsun Dzat Kang Maha Suci asifat Langgeng, iya Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu agung, kang amurba amisesa kang kawasa angracud jisimingsun, anarik jaganingsun, angukud jagadingsun, amababar turasingsun, amasang pangasihan marang titahingsun, amasang kamayan marang mahklukingsun kabeh sampurna saka ing kudratingsun”. Banjur kaciptaa ing sasurasane, sarta pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.

Mungguh cancude ing sajroning amegeng napas mau uger enget ing cipta bae, patrape kabeh iku iya wis kacakup, sabab yen sajroning jaman karamatullah ing tembe waktuning makam ijabah, tegese panggonan katarima, apa saciptane dadi, amarga sirnaning mudah kari wajah, mudah iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng.

Yen wis mankono, maras kita tumangkep ing ati, andadekake seseke ing napas, ing kono banjur anarika napas saka kiwa mubeng anengen, saka tengen mubeng ngiwa, kakumpulake dadi sawiji ana ing lintang johar akhir, iya iku puser, katarik manduwur bener kang sareh, leren tinata ana ing maligening Bait al Muharram, iya iku dada, banjur anyipta cancuding amatrapake panjenenganing, dienget aja nganti tumpang suh kumpuling napas, tanapas, anpas, nupus, napas iku tetalining jisim, dumunung ana ing ati suweda, tegese woting ati, wahanane dadi angin kang metu saka badan wae, tanapas, iku tetalining ati, dumunung ana ing puser, wahanane dadi angin kang manjing marang badan bae, anpas iku tetalining roh, dumunung ana ing jejantung, wahanane angin kang tetep ana ing jero bae, nupus iku tetalining rahsa, dumunung ana ing puat kang aputih, iya iku ana ing woding jejantung, wahanane dadi angin kang metu angiwa anengen saka badan, pakartine anglimputi sakaliring jasmani rochani.

Yen wus kumpul dadi sawiji, napas, tanapas, anpas, nupus, mau banjur katarik manduwur kang alon, leren tinata ana ing maligening Bait al Makmur iya iku ing sirah, ing kaciptaa licin dadi nukat gaib, tegese saliring jasmani kaciptaa luluh dadi banyu, nuli kaciptaa luyut dadi nyawa, nuli kaciptaa lenyep dadi rahsa, nuli kaciptaa layat dadi cahya gumilang tanpa wewayangan ing kahanan kita kang sajati.

Yen wis mangkono, erah kita parad banjur karasa walikaten salir anggaotaning sarira kabeh andadekake : netra bawur, talingan pengleh, grana mingkup, lidah mangkeret, ing wekasan cahya surem, swara sirna, ora bisa aingali, miyarsa, angganda, amirasa, amung kari cipta bae, amarga wis kinukud tataning sarengat, tarekat, hakekat, makrifat : * Sarengat iku lakuning badan, dununge ing lesan, * Tarekat lakuning ati, dununge ing grana, * Hakekat lakuning nyawa, dununge ing talingan, * Makrifat lakuning rahsa, dununge ing netra, mula sejatining sarengat iku lesan, tarekat : grana, hakekat : talingan, makrifat netra, kaupamakake bawure kaca wirangi, utawa esating banyu zamzam, nuli pamiyarsaning talingan, kaupamakake rentahing godong sajaratilmuntaha, utawa kangsrahing hajar al aswad, nuli panggandaning grana, kaupamakake guguring wukir ikrap, utawa rubuhing ardi tursina, nuli pamirasaning lesan, kaupamakake bubrahing wot siratalmustakim, utawa rusaking ka’batullah, ing kono banjur karasa nikmat saliring anggaotaning sarira kabeh, angluwihi nikmating sanggama ing nalika metokake rahsa, amarga awit binuka kijabing Pangeran, waktuning sirnaning warana banjur katoning jaman karamatullah, tegese jaman kamulyaning Allah, pangrasane ing dalem adam kukumi tekane sakehing cahya kang pada anglimputi ing Dzating karaton, ing nalika iku amung amustiya pepuntoning tekad kang santosa, kaya ngibarating aksara Alif kang ajabar jer apes, unine : A, I, U, tegese : Aku Iki Urip, banjuranyipta brangta ing Dzat, supaya aja kengetan marang kang keri kabeh.

BABARING WIRID

BABARING WIRID
KANG AMAWA MURAD MAKSUD

Iki Babaring Wirid kang amawa murad saha maksude pisa, angiras minangka bebukaning hidayat kang dadi pituduhe dununging ngelmu makrifat kabeh, wiyose asal saka ing Dalil, Hadis, Ijmak lan Kiyas.
Tegese Dalil, anuduhake pangandikane Allah.
Tegese Hadis, anyaritakake wewulanging Rasulullah.
Tegese Ijmak, angumpulake wewejange para Wali.
Tegese Kiyas, amencarake wewarahing para Pandita/Ulama.

Kabeh iku dadi pambukaning kekeran kang amedarake rahsa gaib sajatining ngaurip, supaya waskita ing uripe, lestariya urip ing awal akir, dene apesing kawula manawa tumeka ing janji, amung bisaa, waskita ing sampurnaning sangkan-paran, kamulyaning kahanan jati ana ing jaman kalangengan, aja nganti korup marang panasaran.

Mungguh kang dadi wijining ngelmu makrifat anurut kekiyasan saka, Hadis pangandikane Kanjeng Nabi Muhammad, kang kawejang marang Sayidina Ali, kinen angestokake Ananing Dzat kang kasebut ing Dalil sapisan, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, kawisikake ing talingan kiwa, kaya ing ngisor iki jarwane :

“Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Sajatining Dzat Kang Amaha Suci, anglimputi ing sifatingsun, anartani ing asmaningsun, amratandani ing afngalingsun”.

Mungguh dununge mengkene :

Kang angandika Sajatining Dzat Kang Amaha Suci iku iya urip kita pribadi, sayekti katitipan rahsaning Dzat Kang Agung. Anglimputi ing sifat iku iya rupa kita pribadi, sayekti kawimbuhan warnaning Dzat Kang Elok. Anartani asma iku iya nama kita pribadi, sayekti kaaku pasebutaning Dzat Kang Wisesa. Amartandani afngal iku iya solah bawa kita pribadi, sayekti anelakake pakartining Dzat kang Sampurna. Mula bebasane wahananing Dzat iku anyamadi sifat, sifat iku anartani asma, asma iku amratandani afngal, afngal iku dadi wahananing Dzat.

Dene Dzat, enggone anyamadi sifat iku upama kaya madu kalawan manise, yekti ora kena kapisahena.

Dene sifat, enggone anartani asma iku upama kaya srengenge lawan sorote, yekti ora kena yen kabedakena.

Dene asma, enggone amartandani afngal iku upama kaya paesan (kaca), kang angilo lawan wewayangane, yekti saulah bawaning kang angilo, wewayangan mau melu bae.

Dene afngal, enggone dadi wahananing Dzat iku upama kaya samudra lawan ombake, yekti wahananing ombak anut saka rehing samudra.

Dadi sejatine, kang anama Dzat iku, tajalining Muhammad, sajatine kang anama Muhammad iku, wahananing cahya kang anglimputi ing jasad, dumunung ana ing urip kita, iya iku urip dewe ora ana kang anguripi, mula kawasa aningali, amiyarsa, angganda, angandika, angrasakake saliring rahsa, iku saka kudrad kita kabeh, tegese mengkene, Dzating Pangeran Kang Amaha Suci iku enggone aningal saka angagem netra kita, enggone amiyarsa iya angagem ing talingan kita, enggone angambet iya angagem ing grana kita, enggone angandika iya anggagem ing lesam kita, enggone angrasakake saliring rahsa iya angagem pangrasa kita, aja mawa uwas sumelang ing galih, sabab wahananing wahya dyatmika iku wis kasarira, tegese, lair batining Allah wis dumunung ana ing urip kita pribadi, manawa ing bebasane tuwa Dzating Manungsa karo Sifating Allah, awit dadining Dzat iku kadim azali abadi, tegese dingin dewe nalika isih awang-uwung salawase ing kahanan kita, dadining sifat iku kudusul alam, tegese anyar ana kahananing alam dunya, ananging pada tarik-tinarik tetep-tinetepan, samubarang kang anama Dzat iku yekti dumunung ana ing sifat, sakaliring kang anama sifat iku sayekti kadunungan ing Dzat kabeh.

Dene mungguh ing urut-urutane dumadining Dzat sifat iku ana wahanane, kasebut ing Dalil kapindo, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, mengkene jarwane.

”Sajatine ingsung Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning afngalingsun kang minangka bebukaning IraDzatingsun, kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Adamm akdum azali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh Idlapi, nuli damar aran Kandhil, nuli sesotya aran Darah, nuli dhindhing jalal aran Kijab kang minangka warananing Kalaratingsun”.

Mungguh dununge mangkene :

1. Sajaratuyakin, tumuwuh ing sajroning alam Adam makdum azali abadi, tegese kayu sajati dumunung ing jagad sunyaruri, isih awang-uwung salawase ing kahanan kita, iku hakekating Dzat mutlak kang kadim, tegese sajatining Dzat kang amasti dingin dewe, iya iku Dzating atma, dadi wahananing alam Ahadiyat.

2. Nur Muhammad, tegese cahya kang pinuji, kacarita ing Hadis, warnane kaya manuk merak, dumunung arah-arahing Sajaratulyakin, iku hakekating cahya kang ingaku tajalining Dzat, ana sajroning nukat gaib, minangka sifating atma, dadi wahananing alam Wahdat.

3. Miratulkayai, tegese kaca wirangi, kacarita ing Hadis dumunung ana sangareping Nur Muhammad, iku hakekating pramana, kang ingaku rahsaning Dzat, minangka asmaning atma, dadi wahananing alam Wahidiyat.

4. Roh Idlafi, tegese nyawa kang wening, kacarita ing Hadis asal saka Nur Muhammad, iku hakekating sukma, kang ingaku kahananing Dzat, minangka afngaling atma, dadi wahananing alam Arwah.

5. Kandil, tegese diyan tanpa geni, kacarita ing Hadis awarna susetya kang mancur mancorong gumantung tanpa cantelan, ing kono kahananing Nur Muhammad, sarta enggon pakumpulaning roh kabeh, iku hakekating angen-angen, kang ingaku wewayanganing Dzat, minangka embaning atma, dadi wahananing alam Misal.

6. Darah, tegese susetya, kacarita ing Hadis adarbe sorot mancawarna, pada kanggonan malaekat, iku hakekating budi, kang ingaku pepaesaning Dzat, minangka wiwaraning atma, dadi wahananing alam Ajsam.

7. Kijab, ingaran dinding jalal, tegese warana kang agung, kacarita ing Hadis metu saka susetya kang amanca warna, ing nalika mosik anganakake uruh, kukus, banyu, iku hakekating jasad, kang ingaku warananing Dzat, minangka sesandanganing atma, dadi wahananing alam Insan Kamil.

Mungguh pratelane saka Ijmak Kiyas, pepangkataning dinding jalal, kang awarna uruh, kukus, banyu, mau pada dadi anelung warana, kasebut ing ngisor iki.

Kang dingin, uruh, amatokake telung pangkat, 1. Kijab Kisma, dadi wahyaning jasad ing jaba, kaya ta kulit, daging, lan sapanunggalane, 2. Kijab Rukmi, dadi wahyaning jasad ing jero, kaya ta utek, manik, ati, jantung, lan sapanunggalane, 3. Kijab Retna, dadi wahyaning jasad kang alembut, kaya ta mani, getih, sungsum, lan sapanunggalane.

Kang kapindo, kukus, ametokake telung pangkat, 1. Kijab Pepeteng, dadi wahananing napas lan sapanunggalane, 2. Kijab Guntur, dadi wahananing pancadriya, 3. Kijab Geni, dadi wahananing napsu.

Kang kaping telu, banyu, ametokake telung pangkat, 1. Kijab Embun / Banyu Urip, dadi kahananing sukma, 2. Kijab Nur Rasa, dadi kahananing rahsa, 3. Kijab Nur Cahya kang luwih padang, dadi kahananing atma.

Kabeh iku warananing Dzat pada dumunung ana Insan Kamil, tegese kasampurnaning manungsa, uja tuwas sumelang maneh, sabab kahananing bale srasy, kursi, lochil-makful, kalam, taraju, wot siratal mustakim, swarga, naraka, bumi, langit, saisen-isene kabeh iku, wis kawengku ana saroning warana, sinamadan dening Dzat kita Kang Maha Agung, gumelar dadi kaelokaning sifat kita kang esa, anartani ing wasaning afngal kita kang sampurna, pratelane kaya ta, ing nalika Kang Amaha Suci karsa amujudake sifate, ingaran Adam, asal saka anasir patang prakara, 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku kahanane kasebut ana ing daliling telu, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, mangkene jarwane :

“Sajatine manungsa iku rahsaningsun, lang Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam, asal saka ing anasir patang prakara, 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku dadi kawujudaning sifatingsun, ing kono Ingsun panjingi mudah limang prakara, 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya minangka warananing wajahingsun Kang Amaha Sudi”.

Mungguh dununge mangkene :

Mudah iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng, kacarita ing Hadis panjinging mudah limang prakara mau, wiwit saka ing embu-embunan, leren ana ing utek, banjur tumurung marang netra, banjur tumurun marang karna, banjur tumurun marang grana, banjur tumurun marang lesan, banjur tumurun marang jaja (dada), banjur sumarambah ing jasad, sangkepe jumeneng Insan Kamil, mangkono iku kawimbuhan saka karsane Kang Amaha Suci enggone anjenengake maligening Dzat, katata ana ing Baitullah, dadi telung kahanan, iku sajatine minangka kayektening kahanan sawiji-wiji, anandakake kalarating Dzat Kang Agung, Kang Amaha Mulya, langgeng ora kena owah gingsir saka kahanan jati, kasebut ana ing dalil kaping pat, saka pangadikaning Pangeran Kang Amaha Suci, dadi telung ayat, kapratekake ing ngisor iki :

Ayat kang kapisan, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al makmur, mangkene jarwane :

“Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati”.

Ayat kang kapindo, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al muharram, mangkene jarwane :

”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-muharram, iku omah enggoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.

Ayat kang kaping telu, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al mukaddas, mangkene jarwane :

”Sajatine Ingsun nata malige sajroning Bait-al-mukkadas, iku omah enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana antarane pringsilan iku nutfah, iya iku mani sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran angin Ingsun Dzat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajtining sipat Ingsun”.

Manawa wis anampani ing Dalin pangandikane Kang Amaha Suci mangkono mau diwaskita ing galih, duwur dewe iku wahananing nugraha, kahananing kanugrahan, nugraha iku Dzating Gusti, kanugrahan iku sifating kawula, tunggal tanpa wangenan dumunung ana ing badan kita. Dene pratelane kayektening kahanan kabeh mau kasebut ing ngisor iki pituduhane.

Kang dingin, anuduhake kang kasebut ing sajroning Bait al makmur, tegese omah kang arane, mangkene dununge sawiji-wiji :

1. Sirah, iku wiyose kahananing Bait al makmur.

2. Utek, kahananing kanta, anarik wahananing cahya, dadi pambukaning nitya.

3. Manik, kahananing pramana, anarik wahananing warna, dadi pambukaning paningal.

4. Budi, kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dadi pambukaning pamicara.

5. Napsu, kahananing hawa, anarik wahananing swara, dadi pambukaning pamiyarsa.

6. Sukma, kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dadi pambukaning panggada.

7. Rahsa, kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dadi pambukaning pangrasa.

Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al makmur, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak utak, karo iwak manik, sedenge aja nganti angarani polo karo manik, kabare pakolehe kang wis kalakon asring katarima ngelmune.

Kang kapindo, anuduhake kang kasebut ing sajroning Bait al muharram, tegese omah kang kalarangan, mangkene dununge sawiji-wiji :

1. Dada, iku wiyose kahananing Bait al muharram.

2. Ati, kahananing pancadriya, anarik wahananing napsu, dadi wahyaning napas.

3. Jantung, kahananing pancamaya, anarik wahananing birahi, dadi wahyaning keketek.

4. Budi, kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dadi wahyaning pamicara.

5. Jinem, kahananing pangraita, anarik wahananing swara, dadi wahyaning pamiyarsa.

6. Suksma, kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dadi wahyaning pangganda.

7. Rahsa, kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dadi wahyaning pangrasa.

Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al muharram, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak ati, karo iwak jantung, sedengane aja nganti angarani angen-angen, kabar pakolehe kang wis kalakon, asring katarima ngelmune.

Kang kaping telu, anuduhake kang kasebut sajroning Bait al mukaddas, tegese omah kang sinucekake, mangkene dununge sawiji-wiji :

1. Kontol, iku wiyose Bait al mukaddas.

2. Pringsilan, kahananing purba, katumusan wahananing birahi, dadi bebukaning asmaranala, iku sengseming ati.

3. Mani, kahananing kanta, katumusan wahananing hawa, dadi bebukaning asmaratura, iya iku sengseming sapandulon.

4. Madi, kahananing warna, katumusan wahananing karsa, dadi bebukaning asmaraturida, iya iku sengseming pangrungu.

5. Wadi, kahananing rupa, katumusan wahananing cipta, dadi bebukaning asmaradana, iya iku sengseming sapocapan.

6. Manikem, kahananing suksma, katumusan wahananing pangrasa, dadi bebukaning asmaratantra, iya iku sengseming pangrasan.

7. Rahsa, kahananing atma, katumusan wahananing wisesa, dadi bebukaning asmaragama, iya iku sengseming salulut.

Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al mukaddas, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak pringsilan sapanunggalane, sedengane aja nganti angarani mani, kabar pakolehe kang wis kalakon, asring katarima ngelmune.

Ing ngisor iki ana wirayating guru, manawa amedarake rahsaning Bait al mukaddas, ingatase mejang marang pawestri, wenang kiniyas mangkene.

Ing nalika Kang Amaha suci karsa anata malige ana sajroning Bait al mukaddas, jumeneng ing bagane Siti Kawa, kang ana sajroning baga iku puruna, kang ana ing antaraning puruna reta, iya iku mani, sajroning mani madi, sajroning madi wadi, sajroning wadi manikem, sajroning manikem rahsa, sajroning rahsa iku Dzating atma kang anglimputi ing kahanan jati. Dene pituduhe mangkene, baga, timbangane kontol, puruna, timbanging pringsilan, ing sabanjure pada karo ingatase amejang marang kakung, enggone amardi supaya pada amardiya ing waskitaning sangkan-paran.

Mawa wis waskita, prayoga anetepana kang dadi Santosaning Iman, iya iku sahadat jati, kang kasebut ing dalem batin mangkene jarwane :

”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun”.

Riwayating guru ana maneh, ingatase amejang marang pawestri, wenang kawuwuhan mangkene jarwane :

”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, Fatimah iku umatingsun”.

Manawa wis sumurup surasaning sahadat jati mangkono mau, nuli asahida marang wahananing sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ana ing alam dunya, kaya ta bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu lan sapanunggalane kabeh, pada anaksenana yen kita mengko wis angakoni jumenenge Dzating Gusti Kang Amaha Suci, dadi sifating Allah kang sajati, kasebut ing dalem batin mangkene jarwane :

“Ingsun anakseni ing Dzatingsun dewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kudratingsun”.