tag:blogger.com,1999:blog-80865671838024650752024-03-18T20:09:21.718-07:00Pepeling ( Eling Eling )Ana, Disik ora ana kang disiki, Langgeng, Beda karo kang anyar, Jumeneng kalawan piyambak, Sawiji, Kuwasa, Karsa, Kawruh, Urip, Miyarsa, Wuninga, Ngandika, Kang kuwasa, Kang kagungan karsa, Kang kagungan kawruh, Kang kagungan gesang, Miyarsa, Nguningani, Ngandika.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.comBlogger13125tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-6039003624376507582009-05-25T02:56:00.000-07:002011-03-25T02:59:15.857-07:00BENARKAH SUNDALAND ITU ATLANTIS YANG HILANG?”Peradaban Atlantis yang hilang” hingga kini barangkali hanyalah sebuah mitos mengingat belum ditemukannya bukti-bukti yang kuat tentang keberadaannya. Mitos itu pertama kali dicetuskan oleh seorang akhli filsafat terkenal dari Yunani, Plato (427 – 347 SM), dalam bukunya ”Critias dan Timaeus”. Disebutkan oleh Plato bahwa terdapat awal peradaban yang disebut Benua Atlantis; para penduduknya dianggap sebagai dewa, makhluk luar angkasa, atau bangsa superior; benua itu kemudian hilang, tenggelam secara perlahan-lahan karena serangkaian bencana, termasuk gempa bumi. <br />Selama lebih dari 2000 tahun, Atlantis yang hilang telah menjadi dongeng. Tetapi sejak abad pertengahan, kisah Atlantis menjadi populer di dunia Barat. Banyak ilmuwan Barat secara diam-diam meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak yang menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantis, bahkan ada yang menganggap Atlantis terletak di Benua Amerika sampai Timur Tengah. Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan peneliti itu tidak memberikan bukti atau telaah yang cukup. Sebagian besar dari mereka hanya mengira-ngira. .<br />Hanya beberapa tempat di bumi yang keadaannya memiliki persayaratan untuk dapat diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan oleh Plato lebih dari 20 abad yang lalu. Akan tetapi Samudera Atlantik tidak termasuk wilayah yang memenuhi persyaratan itu. Para peneliti masa kini malahan menunjuk Sundaland (Indonesia bagian barat hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand) sebagai Benua Atlantis yang hilang dan merupakan awal peradaban manusia<br />.<br />Fenomen Atlantis dan awal peradaban selalu merupakan impian para peneliti di dunia untuk membuktikan dan menjadikannya penemuan ilmiah sepanjang masa. Apakah pandangan geologi memberi petunjuk yang kuat terhadap kemungkinan ditemukannya Atlantis yang hilang itu? Apabila jawabannya negatif, apakah peluang yang dapat ditangkap dari perdebatan ada tidaknya Atlantis dan kemungkinan lokasinya di wilayah Indonesia?. <br /><br />PENDAHULUAN<br />”Mitos” atau cerita tentang benua Atlantis yang hilang pertama kali dicetuskan oleh seorang filosof terkenal dari Yunani bernama Plato (427 – 347 SM) dalam bukunya berujudl Critias and Timaeus. Penduduknya dianggap dewa, makhluk luar angkasa atau bangsa superior. Plato berpendapat bahwa peradaban dari para peghuni benua Atlantis yang hilang itulah sebagai sumber peradaban manusia saat ini.<br />Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman tersebut mengacu pada teori yang dianut saat ini yang mengemukakan bahwa pada Jaman Es paling akhir yang dialami bumi terjadi sekitar 10.000 sampai 8.000 tahun yang lalu mempengaruhi migrasi spesies manusia.<br />Jaman Es terakhir ini dikenal dengan nama periode Younger Dryas. Pada saat ini, manusia telah menyebar ke berbagai penjuru bumi berkat ditemukannya cara membuat api 12.000 tahun yang lalu. Dalam kurun empat ribu tahun itu, manusia telah bergerak dari kampung halamannya di padang rumput Afrika Timur ke utara, menyusuri padang rumput purba yang kini dikenal sebagai Afrasia.<br />Padang rumput purba ini membentang dari pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, dan berakhir di pegunungan Ural di utara. Jaman Es tidak mempengaruhi mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi sehingga iklim di daerah tropik-subtropik justru menjadi sangat nyaman. Adanya api membuat banyak masyarakat manusia betah berada di padang rumput Afrasia ini.<br />Maka, ketika para ilmuwan barat berspekulasi tentang keberadaan benua Atlantis yang hilang, mereka mengasumsikan bahwa lokasinya terdapat di belahan bumi Barat, di sekitar laut Atlantik, atau paling jauh di sekitar Timur Tengah sekarang. Penelitian untuk menemukan sisa Atlantis pun banyak dilakukan di kawasan-kawasan tersebut. Namun di akhir dasawarsa 1990, kontroversi tentang letak Atlantis yang hilang muluai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu: Oppenheimer (1999) dan Santos (2005).<br />KONTROVERSI DAN REKONTRUKSI OPPENHEIMER<br />Kontroversi tentang sumber peradaban dunia muncul sejak diterbitkannya buku Eden The East (1999) oleh Oppenheimer, Dokter ahli genetik yang banyak mempelajari sejarah peradaban. Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) adalah merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia disebut Firdaus yang diserap dari kata Persia “Pairidaeza” yang arti sebenarnya adalah Taman.<br />Menurut Oppenheimer, munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya adalah etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, dan linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yang menjadi leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yang menyebabkan penduduk Sundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka adalah leluhur Austronesia.<br />Gambar 1. Buku Eden The East<br />(Oppenheimer, 1999)<br />Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.<br />Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun yang lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Wilayah yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sundaland malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan.<br />Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional, namun belum ada yang meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.<br />BENUA ATLANTIS MENURUT ARYSO SANTOS<br />Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh pendapat Aryso Santos. Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yang hilang sebagaimana cerita Plato itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Pendapat itu muncul setelah ia melakukan penelitian selama 30 tahun yang menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).<br />Santos menetapkan bahwa pada masa lalu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.<br />Argumen Santos tersebut didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.<br />Gambar 2. Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005)<br />Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairnya Lapisan Es yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh Lapisan-lapisan Es. Maka tenggelamlah sebagian benua tersebut.<br />Santos berpendapat bahwa meletus-nya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung api yang dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba, dan letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari adalah letusan Gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan Gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa membentuk Selat Sunda (Catatan : tulisan Santos ini perlu diklarifikasi dan untuk sementara dikutip di sini sebagai apa yang diketahui Santos).<br />Berbeda dengan Plato, Santos tidak setuju mengenai lokasi Atlantis yang dianggap terletak di lautan Atlantik. Ilmuwan Brazil itu berargumentasi, bahwa letusan berbagai gunung berapi menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events. Catatan : pernyataan Santos ini disajikan seperti apa adanya dan tidak merupakan pendapat penulis.<br />Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia, diantaranya ialah: Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.<br />Dalam usaha mengemukakan pendapat, tampak Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian oleh para akhli Amerika Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”<br />Atlantis memang misterius, dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi di dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.<br />PANDANGAN GEOLOGI<br />Pendekatan ilmu geologi untuk mengungkap fenomena hilangnya Benua Atlantis dan awal peradaban kuno, dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pendekatan tektonik lempeng dan kejadian zaman es.<br />Wilayah Indonesia dihasilkan oleh evolusi dan pemusatan lempeng kontinental Eurasia, lempeng lautan Pasifik, dan lempeng Australia Lautan Hindia (Hamilton, 1979). umumnya disepakati bahwa pengaturan fisiografi kepulauan Indonesia dikuasai oleh daerah paparan kontinen, letak daerah Sundaland di barat, daerah paparan Sahul atau Arafura di timur. Intervensi area meliputi suatu daerah kompleks secara geologi dari busur kepulauan, dan cekungan laut dalam (van Bemmelen, 1949).<br />Kedua area paparan memberikan beberapa persamaan dari inti-inti kontinen yang stabil ke separuh barat dan timur kepulauan. Area paparan Sunda menunjukkan perkembangan bagian tenggara di bawah permukaan air dari lempeng kontinen Eurasia dan terdiri dari Semenanjung Malaya, hampir seluruh Sumatra, Jawa dan Kalimantan, Laut Jawa dan bagian selatan Laut China Selatan.<br />Tatanan tektonik Indonesia bagian Barat merupakan bagian dari sistim kepulauan vulkanik akibat interaksi penyusupan Lempeng Hindia- Australia di Selatan Indonesia. Interaksi lempeng yang berupa jalur tumbukan (subduction zone) tersebut memanjang mulai dari kepulauan Tanimbar sebelah barat Sumatera, Jawa sampai ke kepulauan Nusa Tenggara di sebelah Timur. Hasilnya adalah terbentuknya busur gunung api (magmatic arc).<br />Gambar 3. Rekonstruksi Tektonik Lempeng di Wilayah Asia Tenggara (Hall, 2002). Garis merah adalah batas wilayah yang dikenal sebagai Sundaland<br />Rekontruksi tektonik lempeng tersebut akhirnya dapat menerangkan pelbagai gejala geologi dan memahami pendapat Santos, yang menyakini Wilayah Indonesia memiliki korelasi dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa tembok Atlantis terbungkus emas, perak, perunggu, timah dan tembaga, seperti terdapatnya mineral berharga tersebut pada jalur magmatik di Indonesia. Hingga saat ini, hanya beberapa tempat di dunia yang merupakan produsen timah utama. Salah satunya disebut Kepulauan Timah dan Logam, bernama Tashish, Tartessos dan nama lain yang menurut Santos (2005) tidak lain adalah Indonesia. Jika Plato benar, maka Atlantis sesungguhnya adalah Indonesia.<br />Selain menunjukan kekayaan sumberdaya mineral, fenomena tektonik lempeng tersebut menyebabkan munculnya titik-titik pusat gempa, barisan gunung api aktif (bagian dari Ring of Fire dunia), dan banyaknya komplek patahan (sesar) besar, tersebar di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Indonesia bagian timur. Pemunculan gunungapi aktif, titik-titik gempa bumi dan kompleks patahan yang begitu besar, seperti sesar Semangko (Great Semangko Fault membujur dari Aceh sampai teluk Semangko di Lampung) memperlihatkan tingkat kerawanan yang begitu besar. Menurut Kertapati (2006), karakteristik gempabumi di daerah Busur Sunda pada umumnya diikuti tsunami.<br />Para peneliti masa kini terutama Santos (2005) dan sebagian peneliti Amerika Serikat memiliki kenyakinan bahwa gejala kerawanan bencana geologi wilayah Indonesia adalah sesuai dengan anggapan Plato yang menyatakan bahwa Benua Atlantis telah hilang akibat letusan gunung berapi yang bersamaan.<br />Pendekatan lain akan keberadaan Benua Atlantis dan awal peradaban manusia (hancurnya Taman Eden) adalah kejadian Zaman Es. Pada zaman Es suhu atau iklim bumi turun dahsyat dan menyebabkan peningkatan pembentukan es di kutub dan gletser gunung. Secara geologis, Zaman Es sering digunakan untuk merujuk kepada waktu lapisan Es di belahan bumi utara dan selatan; dengan definisi ini kita masih dalam Zaman Es. Secara awam untuk waktu 4 juta tahun ke belakang, definisi Zaman Es digunakan untuk merujuk kepada waktu yang lebih dingin dengan tutupan Es yang luas di seluruh benua Amerika Utara dan Eropa.<br />Penyebab terjadinya Zaman Es antara lain adalah terjadinya proses pendinginan aerosol yang sering menimpa planet bumi. Dampak ikutan dari peristiwa Zaman Es adalah penurunan muka laut. Letusan gunung api dapat menerangkan berakhirnya Zaman Es pada skala kecil dan teori kepunahan Dinosaurus dapat menerangkan akhir Zaman Es pada skala besar.<br /><br />Gambar 4. Penyebaran es di belahan bumi utara pada masa Pleistosen (USGS, 2005)<br />Dari sudut pandang di atas, Zaman Es terakhir dimulai sekitar 20.000 tahun yang lalu dan berakhir kira-kira 10.000 tahun lalu atau pada awal kala Holocene (akhir Pleistocene). Proses pelelehan Es di zaman ini berlangsung relatif lama dan beberapa ahli membuktikan proses ini berakhir sekitar 6.000 tahun yang lalu.<br />Pada Zaman Es, pemukaan air laut jauh lebih rendah daripada sekarang, karena banyak air yang tersedot karena membeku di daerah kutub. Kala itu Laut China Selatan kering, sehingga kepulauan Nusantara barat tergabung dengan daratan Asia Tenggara. Sementara itu pulau Papua juga tergabung dengan benua Australia.<br />Ketika terjadi peristiwa pelelehan Es tersebut maka terjadi penenggelaman daratan yang luas. Oleh karena itu gelombang migrasi manusia dari/ke Nusantara mulai terjadi. Walaupun belum ditemukan situs pemukiman purba, sejumlah titik diperkirakan sempat menjadi tempat tinggal manusia purba Indonesia sebelum mulai menyeberang selat sempit menuju lokasi berikutnya (Hantoro, 2001).<br />Tempat-tempat itu dapat dianggap sebagai awal pemukiman pantai di Indonesia. Seiring naiknya paras muka laut, yang mencapai puncaknya pada zaman Holosen ± 6.000 tahun dengan kondisi muka laut ± 3 m lebih tinggi dari muka laut sekarang, lokasi-lokasi tersebut juga bergeser ke tempat yang lebih tinggi masuk ke hulu sungai.<br />Berkembangnya budaya manusia, pola berpindah, berburu dan meramu (hasil) hutan lambat laun berubah menjadi penetap, beternak dan berladang serta menyimpan dan bertukar hasil dengan kelompok lain. Kemampuan berlayar dan menguasai navigasi samudera yang sudah lebih baik, memungkinkan beberapa suku bangsa Indonesia mampu menyeberangi Samudra Hindia ke Afrika dengan memanfaatkan pengetahuan cuaca dan astronomi. Dengan kondisi tersebut tidak berlebihan Oppenheimer beranggapan bahwa Taman Eden berada di wilayah Sundaland. <br />Taman Eden hancur akibat air bah yang memporak-porandakan dan mengubur sebagian besar hutan-hutan maupun taman-taman sebelumnya. Bahkan sebagian besar dari permukaan bumi ini telah tenggelam dan berada dibawah permukaan laut, Jadi pendapat Oppenheimer memiliki kemiripan dengan akhir Zaman Es yang menenggelamkan sebagian daratan Sundaland.<br />MENANGKAP PELUANG<br />Pendapat Oppenheimer (1999) dan Santos (2005) bagi sebagian para peneliti adalah kontroversial dan mengada-ada. Tentu kritik ini adalah hal yang wajar dalam pengembangan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Beberapa tahun ke belakang pendapat yang paling banyak diterima adalah seperti yang dikemukakan oleh Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudera Atlantik sendiri, dan tempat yang paling meyakinkan adalah Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah.<br />Pulau Thera yang dikenal pula sebagai Santorini adalah pulau gunung api yang terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekira 1.500 SM, sebuah letusan gunung api yang dahsyat mengubur dan menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis menunjukkan bahwa kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yang sangat maju di Eropa pada zaman itu, namun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan di mana lokasi Atlantis yang sebenarnya. Setiap teori memiliki pendukung masing-masing yang biasanya sangat fanatik dan bahkan bisa saja Atlantis hanya ada dalam pemikiran Plato.<br />Perlu diketahui pula bahwa kandidat lokasi Atlantis bukan hanya Indonesia, banyak kandidat lainnya antara lain : Andalusia, Pulau Kreta, Santorini, Tanjung Spartel, Siprus, Malta, Ponza, Sardinia, Troy, Tantali, Antartika, Kepulauan Azores, Karibia, Bolivia, Meksiko, Laut Hitam, Kepulauan Britania, India, Srilanka, Irlandia, Kuba, Finlandia, Laut Utara, Laut Azov, Estremadura dan hasil penelitian terbaru oleh Kimura’s (2007) yaitu menemukan beberapa monument batu dibawah perairan Yonaguni, Jepang yang diduga sisa-sisa dari peradaban Atlantis atau Lemuria.<br />Gambar 5. Monument Batu yang berhasil ditemukan dibawah perairan Yonaguni, Jepang, (Spiegel Distribution TV, 2000)<br />PELUANG PENGEMBANGAN ILMU<br />Adalah fakta bahwa saat ini berkembang pendapat yang menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang dianggap ahli waris Atlantis yang hilang. Untuk itu kita harus bersyukur dan membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan internasional, sebab Atlantis pada masanya adalah merupakan pusat peradaban dunia yang misterius. Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen, Atlantis merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki di mana sebetulnya lokasi benua tersebut dan karenanya menjadi salah satu tujuan utama arkeologi dunia. Jika Atlantis ditemukan, maka penemuan tersebut bisa jadi akan menjadi salah satu penemuan terbesar sepanjang masa.<br />Perkembangan fenomena ini menyebabkan Indonesia menjadi lebih dikenal di dunia internasional khususnya di antara para peneliti di berbagai bidang yang terkait. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia perlu menangkap peluang ini dalam rangka meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peluang ini penting dan jangan sampai diambil oleh pihak lain.<br />Kondisi ini mengingatkan pada Sarmast (2003), seorang arsitek Amerika keturunan Persia yang mengklaim telah menemukan Atlantis dan menyebutkan bahwa Atlantis dan Taman Firdaus adalah sama. Sarmast menunjukkan bahwa Laut Mediteranian adalah lokasi Atlantis, tepatnya sebelah tenggara Cyprus dan terkubur sedalam 1500 meter di dalam air. ‘Penemuan’ Sarmast, menjadikan kunjungan wisatawan ke Cyprus melonjak tajam. Para penyandang hibah dana penelitian Sarmast, seperti editor, produser film, agen media dll mendapat keuntungan besar. Mereka seolah berkeyakinan bahwa jika Sarmast benar, maka mereka akan terkenal; dan jika tidak, mereka telah mengantungi uang yang sangat besar dari para sponsor.<br />Santos (2005) dan seorang arkeolog Cyprus sendiri yaitu Flurentzos dalam artikel berjudul : ”Statement on the alleged discovery of atlantis off Cyprus” (Santos, 2003) memang menolak penemuan Sarmast. Mereka sependapat dengan Plato dan menyatakan secara tegas bahwa Atlantis berada di luar Laut Mediterania. Pernyataan ini didukung oleh Morisseau (2003) seorang ahli geologis Perancis yang tinggal di pulau Cyprus. Ia menyatakan tidak berhubungan sama sekali dengan fakta geologis. Bahkan Morisseau menantang Sarmast untuk melakukan debat terbuka. Namun demikian, usaha Sarmast untuk membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu terletak di Cyprus telah menjadikan kawasan Cyprus dan sekitarnya pada suatu waktu tertentu dibanjiri oleh wisatawan ilmiah dan mampu mendatangkan kapital cukup berasal dari para sponsor dan wisatawan ilmiah tersebut.<br /><br />Gambar 6. Peta Atlantis menurut Kircher (1669). Pada peta tersebut, Atlantis terletak di tengah Samudra Atlantik.<br />Demikian juga dengan letak Taman Eden, sudah banyak yang melakukan penelitian mulai dari agamawan sampai para ahli sejarah maupun ahli geologi jaman sekarang. Ada yang menduga letak Taman Eden berada di Mesir, di Mongolia, di Turki, di India, di Irak dsb-nya, tetapi tidak ada yang bisa memastikannya.<br />Penelitian yang cukup konprehensif berkenaan dengan Taman Eden diantaranya dilakukan oleh Zarins (1983) dari Southwest Missouri State University di Springfield. Ia telah mengadakan penelitian lebih dari 10 tahun untuk mengungkapkan rahasia di mana letaknya Taman Eden. Ia menyelidiki foto-foto dari satelit dan berdasarkan hasil penelitiannya ternyata Taman Eden itu telah tenggelam dan sekarang berada di bawah permukaan laut di teluk Persia.<br />Gambar 7. Taman Eden menurut Zarins (1983)<br />Hingga saat ini, letak dari Atlantis dan Taman Eden masih menjadi sebuah kontroversi, namun berdasarkan bukti arkeologis dan beberapa teori yang dikemukakan oleh para peneliti, menunjukkan kemungkinan peradaban tersebut berlokasi di Samudera Pasifik (disekitar Indonesia sekarang). Ini menjadi tantangan para peneliti Indonesia untuk menggali lebih jauh, walaupun banyak juga yang skeptis, beranggapan bahwa Atlantis dan Taman Eden tidak pernah ada di muka bumi ini.<br />PENUTUP<br />Peluang pengembangan ilmu sebenarnya telah direalisasikan oleh LIPI melalui gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005 yang lalu. Salah satu tema dalam gelaran tersebut menyangkut banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia dalam dua dekade terakhir. Salah satu temuan penting dari hasil penelitian yang dipresentasikan dalam simposium tersebut adalah hipotesa adanya sebuah pulau yang sangat besar terletak di Laut Cina Selatan yang kemudian tenggelam setelah Zaman Es.<br />Menurut Jenny (2005), hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis jika memang benar, adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.<br />Ketika Zaman Es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru. Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa pada masyarakat lokal yang disinggahinya. Dalam tempo cepat yakni pada 3.500 sampai 5.000 tahun lampau kebudayaan ini telah menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.<br />Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa asal usul Taman Eden (manusia modern) dan hilangnya benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi khususnya aktivitas tektonik lempeng dan peristiwa Zaman Es. Perubahan iklim yang drastik di dunia, menyebabkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan.<br />Zaman Es memberi ruang yang besar kepada perkembangan peradaban manusia yang amat besar di Sundaland. Pada saat itu suhu bumi amat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku dan membentuk glasier. Oleh karena itu kebanyakan kawasan bumi tidak sesuai untuk didiami kecuali di kawasan khatulistiwa yang lebih panas.<br />Di antara kawasan ini adalah wilayah Sundaland dan Paparan Sahul serta kawasan di sekitarnya yang memiliki banyak gunung api aktif yang memberikan kesuburan tanah. Dengan demikian keduanya memiliki tingkat kenyamanan tinggi untuk berkembangnya peradaban manusia.<br />Adapun wilayah lainnya tidak cukup memiliki kenyamanan berkembangnya peradaban, karena semua air dalam keadaan membeku yang membentuk lapisan es yang tebal. Akibatnya, muka laut turun hingga 200 kaki dari muka laut sekarang.<br />Wilayah Sundaland yang memiliki iklim tropika dan memiliki kondisi tanah subur, menunjukkan tingkat keleluasaan untuk didiami. Kemungkinan pusat peradaban adalah berada antara Semenanjung Malaysia dan Kalimantan, tepatnya sekitar Kepulauan Natuna (sekitar laut China Selatan) atau pada Zaman Es tersebut merupakan muara Sungai yang sangat besar yang mengalir di Selat Malaka menuju laut China Selatan sekarang. Anak-anak sungai dari sungai raksasa tersebut adalah sungai-sungai besar yang berada di Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan bagian Barat dan Utara.<br /><br /> <br /><br />Gambar 8. Pola aliran sungai purba di daratan paparan tepian kontinen Sunda (Hantoro, 2007).<br />Kemungkinan kedua adalah Muara Sungai Sunda yang mengalir di Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok. Hulu dan anak-anak sungai terutama berasal dari Sumatera bagian Selatan, seluruh Pulau Jawa, dan Pulau kalimantan bagian Selatan.<br />Oleh karena itu klaim bahwa awal peradaban manusia berada di wilayah Mediterian patut dipertanyakan. Sebab pada masa itu kondisi iklim sangat dingin dan beku, lapisan salju di wilayah Eropa dapat menjangkau hingga 1 km tebalnya dari permukaan bumi. Keadaan di Eropa dan Mesir pada masa itu adalah sama seperti apa yang ada di kawasan Artik dan Antartika sekarang ini.<br />Kawasan Sundaland pada saat itu walaupun memiliki suhu paling dingin sekalipun, tetap dapat didiami dan menjadi kawasan bercocok tanam kerena terletak di sekitar garisan khatulistiwa. Lebih menarik lagi, dengan muka laut yang lebih rendah, pada masa itu Sundaland adalah satu daratan benua yang menyatu dengan Asia dan terbentang membentuk kawasan yang amat luas dan datar. Apabila bumi menjadi semakin panas dan sebagian daratan Sundaland tenggelam daerah ini tetap dapat didiami dan tetap subur.<br />Di sisi lain kenyamanan iklim dan potensi sumberdaya alam yang dimiliki wilayah Sundaland, juga dibayangi oleh kerawanan bencana geologi yang begitu besar akibat pergerakan lempeng benua seperti yang dirasakan saat ini. Kejadian gempabumi, letusan gunung api, tanah longsor dan tsunami yang terjadi di masa kini juga terjadi di masa lampau dengan intensitas yang lebih tinggi seperti letusan Gunung Toba, Gunung Sunda dan gunung api lainnya yang belum terungkap dalam penelitian geologi.<br />Instansi yang terkait diharapkan dapat berperan menangkap peluang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mengungkap fenomena Sundaland sebagai Benua Atlantis yang hilang maupun sebagai Taman Eden. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal (hipothesis) yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan..<br />Keberhasilan langkah upaya mengungkap suatu fenomena alam akan membuka peluang pengembangan berbagai sektor diantaranya adalah sektor pariwisata. Kemampuan manajemen kepariwisataan yang baik, suatu kegiatan penelitian berskala internasional artinya hipotesis penelitian yang dibangun dapat mempengaruhi wilayah dunia lainnya, akan berpotensi menjadi kegiatan wisata ilmiah yang dapat menghasilkan devisa negara andalan dan basis ekonomi masyarakat seperti yang telah dinikmati oleh Mesir, Yunani, Cyprus dll.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-84369166944464586792009-05-01T22:07:00.000-07:002010-08-20T22:08:24.054-07:00FILSAFAT KUPAT LEPETPara leluhur Jawa iku, satindak sapecak anggone paring wewarah marang anak putu sarwa pralambang, pasemon, lan mawa simbol. Salah sawijine wateke wong Jawa iku lantip ing panggraita, alus ing suba sita, tata krama, lan solah bawa. Salaku-lakune mesthi digalih kanthi wening ing sajroning pikir dhisik. Ora angger mlaku ‘semau gue’ lan asal tumindak.<br />Laku pasa lan tapa brata, mungguhing wong Jawa wis dadi sega jangan lan pakulinan. Mesu brata lan laku pasa iku wis dadi peranaganing panguripan tumraping wong Jawa. Nalikane wong Jawa iku duwe pangangkah kang sinedya (cita-cita kang mulya), wong Jawa mesthi nindakake laku. Ana sing nglakoni pasa mutih, pasa ngebleng, lan pasa liyane.<br />Cundhuk karo lakune wong Jawa iku mau, agama Islam kang duwe ajaran nindakake pasa ing wulan Romadhon, tumrape wong Jawa ora barang kang abot lan angel. Malah cocog lan trep karo pakulinan, adat, lan budaya Jawa.<br />Ujaring kandha, para wali sanga anggone nyebarake agama Islam ing tanah Jawa kanthi ora ninggalake budaya Jawa. Kanggo ngulang rukun Islam, para wali yasa tembang ”Ilir-ilir”. Ing tembang iku ana gatra sing unine mangkene: Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna, kanggo mbasuh dodot ira, .... Saindenging jagad Jawa, sing jenenge blimbing mesthi ana limang lining. Liningan cacah lima ing blimbing iku nggambarake rukun Islam kang cacahe lima. Tembung Kalimat Syahadat, ing jagading pewayangan diwujudake lumantar pusakane Puntadewa kang aran ” Jimat Kalimasada”. Ilat Jawa yen dikongkon muni ”kalimah syahadah” iku kangelan, dadine ”kalimasada”.<br />Sawise nglakoni pasa sasasi suwene, kanthi rasa seneng lan bungah padha ”ngrayakake hari kemenangan” kang arane bada. Ana sing ngarani bakda utawa lebaran. Ing dina bada iku, saanane wong Jawa malah kepara sa-Indonesia mesthi padha gawe kupat lan lepet.<br />Apa ta werdine kupat lan lepet tumrape wong Jawa?<br />Tumrape wong Jawa, kupat lan lepet kang dinikmati ing wektu bada iku mau ora ana liya wujud pralambang lan simbol srawunging manungsa marang Gusti, manungsa marang manungsa liyane. Kupat lan lepet iku anggone gawe ora mung sadrema didang kaya sega kang butuh wektu mung sedhela. Apa maneh saiki ana magig com utawa magig jar. Gawe kupat lan lepet iku dibuntel, ditaleni, digodhog ing kwali utawa dandang kanthi suhu panas kang dhuwur mbutuhake wektu sing suwe banget, saengga kupat lan lepet bisa mateng. Yen nggodhoge mung sedhela utawa ora taneg, kupat lan lepet ora enak rasane lan mesthi kepyar ora lengket. Proses, wujud, lan tegese lepet iku aweh wewarah mangkene:<br />Sasuwene setaun manungsa nglakoni urip, mesthi tumindak kang becik lan ala. Becik marang Gusti lan manungsa, uga ala marang Gusti lan manungsa. Yen becik mesthi bakal diganjar dening Pangeran. Dene kalakuwane ala, manungsa kudu digodhog ing kawah candradimuka kanggo nglebur dosane marang Gusti sasuwene sesasi nglakoni pasa. Mula kupat lepet iku mau digodhog molak-malik kadi dene kawah candradimuka. Iki mujudake hubungane manungsa karo Pangeran. Hablun minalloh....<br />Dene wujude kupat lan lepet iku senajan asale saka beras lan saka ketan, sawise digodhog wujude wis ora beras lan ketan maneh. Wis ora ijen-ijen, ora bisa kepyar kaya asale. Beda karo sega utawa ketan dang-dangan ta? Enak ta? Mantep ta? Kok kaya lagune Mbah Surip wae.....Wujud kang kaya ngono iku mau mujudake sawise sesasi pasa manungsa dikongkon ”merenung” marang kaluputane uga marang manungsa sapepadhane supaya tetep lengket anggone paseduluran lan kekancan. Ditaleni kenceng. Iku mujudake kencenging tali silaturohmi. Aja gampang cengkah lan regejegan saengga ”memecah persatuan lan kesatuan”. Kudu ndawakake tali silaturohmi, aja nganti ucul. Mula kupat lan lepet iku lengket, kenyal ora gampang ambyar. Hablun minannas.....<br />Sing paling wigati mungguhing kupat lan lepet iku ing teges simbule wong Jawa. Yen ngaku dadi wong Jawa kudu duwe watek kaya kupat lepet. Kupat mono kerata basane kula lepat. Dene lepet kerata basane disilep sing rapet. Tembung disilep iku tegese padha karo ditutup utawa dikubur.<br />Maksude, wong Jawa iku sanajan uripe sarwa samun ing samudana utawa sarwa simbol lan sandi, yen pancen duwe kaluputan kanthi tanggung jawab kudu gelem ngaturake kaluputane lan nyuwun pangapura. Ora tumindak sesongaran, gumedhe, kuminter, kumalungkung, sapa sira sapa ingsun. Ora kena ndelng drajat lan pangkat. Yen pancen luput kudu gelem ngakoni yen luput. Banjur kudu gelem nyuwun pangapura. Samono uga, yen pancen sing salah wis gelem ngakoni salahe llan nyuwun pangapura, sing disuwuni pangapura ya kudu nyepura kaluputane pawongan mau.<br />Tumrape para pejabat, elinga marang kupat lan lepet. Aja dumeh dadi pejabat terus menang-menangan, tumindak sawenang-wenang marang sapepadha llan rakyate. Panjenengan punika kedah mad sinamadan kaliyan rakyat. Amarga Panjenengan dados pejabat punika amargi dukungan saking rakyat. Sinaosa pejabat, manawi kagungan lepat, sumangga ing dinten ingkang fitri menika sami apura-ingapuranan. Supados situasi ing Rembang menika kondusif. Saged mujudake Rembang Bangkit ingkang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Baldatun Thoyyibatun waa Robbun Ghofur.<br />Mangan kupat jangane sante, menawi lepat nyuwun pangapunten<br />Minal ’aidin wal faa izin.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-83378070075693339152009-04-04T21:45:00.000-07:002010-08-20T21:48:35.982-07:00W I R I D BEBUKANING WIRIDW I R I D<br />BEBUKANING WIRID<br /><br />Bebukaning Wirid kang amratelakake ganepe patraping amejang ngelmu makrifat kasampurnaning ngaurip, ing jaman semana wis katindakake dening para Wali kabeh, urute sawiji-wiji ing ngisor iki.<br /><br />Ingkang dingin, wiwitan patrap kang dadi kawajiban, iku guru karo bakal murid pada amet banyu wudu, sarta niayat kang karepe mengkene : “Nawaitu raf’al hadasi suharata walakabirata fardlanlillahi ta ala Allahu akbar” (Niyatingsun amet banyu kadas, angilangake kadas cilik lan gede perlu karana Allah).<br /><br />Nuli pada dandan anganggo sandangan sarwa suci, ora kena anganggo kang mawa emas, utamane manawa karsa anganggo kuluk, banjur ngliga sarira kekonyo gando wida, sarta nganggo sumping kembang oncen-oncen Surengpati ana ing kuping kiwa, karo nganggo kalung kembang oncen-oncen Margasupana, wangun kaya oncen-oncen usus pitik karangkep telu, utawa nganggo gombyok keris kaya pangaten anyar.<br /><br />Nuli ing pamejangan katata dipasangi tetuwuhan maju papat,sarta kadodokan lampit kang resik, banjur katumpangan klasa pasair kang tigas, ing duwur pisan katumpangan mori putih saules lapis pitu, apese lapis telu, mawa kasebaran kembang campur bawur.<br /><br />Nuli sesaosan srikawin salaka putih bobot satail, kadokok ing wewadah tunggal karo lengz sundul-langit, sarta menyan bobot saringgit, kasasaban mori putih mawa pangiring sesanggan gedang agung suruh ayu, jambene tanganan, kasasaban mori putih dadi rong wadah sarta kembar mayang sajodo pada sumaji ana ing pamejangan.<br /><br />Nuli ing antara manawa wis sirep wong utawa wayah tengah wengi, pada tindak menyang enggon pamejangan, kang bakal kawejang linggih madep mangulon , sarta dedupa ratus kaasepake ing kuping kiwa, banjur ing irung, wekasan ing dada, iku wiwit kawejang teka gurune. Dene kang kawejangake, anurut pamejange para Wali wolu ing Tanah Jawa, kakumpulake dadi sawiji. Wijose pada amet wijining ngelmu kekiyasan saka Dalil pangandikaning Allah, kang kasebut ing dalem Hadis pangandikane Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah marang Sayidina Ali kawisikake ing kuping kiwa, pepangkatane dadi wolung wejangan, kapratelakake ing ngisor iki jarwane kabeh :<br /><br />1. Wisikan Ananing Dzat<br /><br />Wejangan punika dipun-wastani wisikan ananing Dzat, awit dening pamejangipun kawisikaken ing talinga kiwa, wiyosipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang wiwitan, nukilan saking warahing kitab Hidayat khakaik, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, makaten jarwanipun :<br />“Sejatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku ingsun, ora ana Pangeran Nanging Ingsun, sajatining Dzat Kang Maha Suci anglimput ing Sipatingsun, anartani ing asmaningsun amratandhani ing afngalingsun”.<br /><br />2. Wedharan Wahananing Dzat<br /><br />Wejangan punika dipun wastani Wedharan Wahananing Dzat, awit dene pamejanganipun amarah urut-urutan dumadining Dzat, sipat, wahanipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping kalih, nukilan saking sarahing kitab Dakaikalkaik.<br /><br />Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :<br />”Sajatine ingsung Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning afngalingsun kang minangka bebukaning IraDzatingsun, kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Adamm akdum azali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh Idlapi, nuli damar aran Kandhil, nuli sesotya aran Darah, nuli dhindhing jalal aran Kijab kang minangka warananing Kalaratingsun”.<br /><br />3. Gelaran Kahaning Dzat<br /><br />Wejangan punika dipun wastani gelaran kahaning Dzat, awit dening pamejanganipun ambabar dados kanyataan anasiring Dzat sipat, inggih punika nalika Pangeran Kang Maha Suci karsa amujudaken sipatipun. Gumelar kahananipun kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping tiga, nukilan saking Kitab bayan Humirat mupakat kaliyan Kitab Bayan Alip, kitab Madinil Asror, kitab Makdinil Maklum, inggih punika bangsaning kitab tasawup sadaya. Sami amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah karaos ing dalem rahsa, makten jarwanipun ;<br />”Sajatine manungsa iku rahsaningsun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam, asal saking anasir patang prakara : 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. banyu, Iku kang dadi kawujudaning Sipatingsun. Ing kono ingsun panjingi mudah limang prakara : 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya iku minangka warananing wajahingsun Kang Amaha Suci”.<br /><br />4. Pambuka Tata Malige Ing Dalem Bait-al-makmur<br /><br />Wejangan punika dipun wastani, kayektening kahanan Kang Maha Luhur, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-makmur. Awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha suci, anggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat minangka Baitullah wonten ing sarahipun manungsa, punika sajatosipun dados pitedhah kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya langgeng boten kenging ewah saking gingsir saking kahanan jati.<br /><br />Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping sekawan nungkilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kapisan karaosaken ing dalem rahsa, makaten jarwanipun.<br />”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoneng Parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati”.<br /><br />5. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-muharram<br /><br />Wejangan punika dipun wastani kayektening kahanan Kang Maha Agung. Inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-muharram, awit dening pamejanganipun pambuka kodrat iraDzating Pangeran kang Maha suci, enggenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitullah wonten ing dhadhaning manungsa.<br /><br />Kasebut ing dalem daliling dados pitedahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat kang Maha Mulya lenggah boten kenging ewah ginsir saking kahanan jati.<br /><br />Kasebut ing dalem daliling ngemi ingkang kaping gangsal, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil, amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha Suci dhateng Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, ayat ingkang kaping kalih karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :<br />”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-muharram, iku omah enggoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.<br /><br />6. Pambukaning Tata Malige Ing Dalem Bait-al-mukaddas<br /><br />Wejangan punika dipun wastani ; kayektening kahanan Kang Maha Suci, inggih punika pambukaning tata malige ing dalem Bait-al-mukaddas, awit dening pamejangipun ambuka kodrat iraDzating Pangeran Kang Maha Suci angenipun karsa anjenengaken maligening Dzat, minangka Baitulah katata wonten ing kontholing manungsa. Punika sajatosipun ugi dados pitedhahan kayektening kahanan satunggal-tunggal, anandhakaken kalarating Dzat Kang Maha Mulya, lenggah boten kenging ewah gingsir saking kahanan jati. Kasebut ing dalem daliling ngelmi ingkang kaping enem, inggih ugi sami nukilan saking sarahing Kitab Insan Kamil. Amratelakaken wangsitipun Pangeran Kang Maha suci dhateng Nabi Muhammad Rasulullah hayat ingkang kaping tiga, karaos ing dalem rahsa makaten jarwanipun :<br />”Sajatine Ingsun nata malige sajroning Bait-al-mukkadas, iku omah enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana antarane pringsilan iku nutfah, iya iku mani sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran angin Ingsun Dzat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajtining sipat Ingsun”.<br /><br />7. Panetep Santosaning Iman<br /><br />Wejangan punika dipun wastani panetep santosaning iman, abebuka sahadat jati, awit dening pamejangipun amangsit ingkang dados pikekahing pangandel kita, denira angestokaken dhateng kayektining gesang kita pribadi, manawi sampun tetep minangka tajalining Pangeran Kang Maha Suci sajati. Kasebeut ing dalem ijemak riwayating para wiliyullah, nukilan saking kadis makdus, salebeting bab maklumatul uluhiyah. Wiyosipun anyariyosaken kakekating taukid. Ingkang terus dhateng iktikad, wewiridan saking cipto sasmitanipun Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsittaken dhateng sayidina Ali, makaten jarwanipun :<br />”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun”.<br /><br />Menggah dunungipun makaten :<br />a. Ingkang dipun wastani Pangeran meniko Dzating gesang kita pribadi, sebab sajatosipun sagung asya sami kukum napi sadaya, tegesipun asya ; sawiji-wiji, tegesipun napi, boten wonten, mila kasebut boten wonten Pangeran isbatipun inggih namung Dzating gesang kita pribadi. Tegesing isbat ; tetep, dados teteping ingkang anyebut kaliyan ingkang sinebut Pangeran punika boten wonten sanesipun, suraos tunggal tanpa wewangenan amung kaot lair batin kemawon.<br /><br />b. Ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita, mila dipun basakaken utusan, amargi dados pangeran rahsaning Dzat, kawistara wonten ing netya, kados ingkang kasebut wonten ing dalil salebeting Qur’an makaten jarwanipun :<br />“Sayekti temen-temen teka ing sira kabeh, utusaning Dzat metu saka ing awakira kang maha mulya, mungguhing utusan iku anembadani barang saciptanira, yen angandel sayekti antuk sih pangapuraning Pangeran”.<br /><br />Manawi sampun anampeni dalil Qur’an pangandikanipun Pangeran Kang Maha Suci makaten wau, dipun waskitha ing galih. Inggih gesangkita pribadi wahananing nugraha, kahananing kanugrahan. Nugraha punika Dzating Gusti, kanugrahan punika sipating kawula, tunggal tanpa wewangenan dumunung wonten ing badan kita. Sampun uwas sumelang malih, sebab ingkang kasebut ing Kitab Insan Kamil amarah manawi namaning Allah punika inggih namaning Muhammad. Umpami sabet kaliyan warangkanipun. Ing mangke Allah minangka warangka, Muhammad minangka sabet, ing tembe wewangsulan.<br /><br />Wisiyating guru ingkang amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, kaprayogekaken sami anglampahana boten karsa dhahar ulam lembu. Kabar angsal paedah manjing dados putra muridipun Kanjeng Susuhunan ing Kudus, kaidenan ingkang dados saesthining galihipun.<br /><br />Wonten riwayating guru manawi amedharaken ngelmi panetep santosaning iman, ingatasipun amejang dhateng pawestri, wenang kawewahan makaten jarwanipun.<br />”Ingsu ankeseni, satuhune ora ana Pangeran anging ingsun, lan anekseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusan Ingsun Fatimah iku umat Ingsun”.<br />8. Sasahidan<br /><br />Wejangan punika dipun wastani sasahidan, awit dening pamejanganipun kinen asahida dhateng wahananing sanak kita. Inggih punika ananing dumadi ingkang gumelar wonten ing alam dunya, kadosta, bumi, langit, wulan, lintang, latu, angin, toya, sapanunggalipun sadaya. Sami aneksenana yen kita mangke sampun purun angakeni “ Jumeneng Dzating Gusti “ Kang Maha Suci, dados sipating Allah Kang sajati. Kasebut ing dalem kiyas wewarahing para pandhita, anggenipun amencaraken nukilan saking kadis mahdus, salebeting bab Maklumating Huluhiyah. Wosipun anartani ing panetep santosaning iman, dados panuntuning tokid ingkang ambontos dhateng iktikad. Inggih ugi pepiridan saking cipta sasmitaning Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah ingkang kawangsitaken dhateng Sayidina Ali, makaten jarwanipun ;<br />”Ingsun anekseni ing Dzatingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku rahsaningsun, iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena gingsir ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana Ora kekurangan ing pangerti, Byar sampurna padang tarawangan, Ora krasa apa-apa Ora ana katon apa-apa, Amung Ingsun kang anglimuti ing alam kabeh kalawan kodratingsun”.<br /><br />Menggah dunungipun makaten :<br />Ingkang dipun wastani Pangeran punika Dzating gesang kita pribadi, ingkang dipun wastani Muhammad punika sipating cahya kita pribadi. Manawi ingkang kasebut ing dalem dhikir “ La Illaha Ilullah, Muhammad Rasulullah “ tegesipun boten wonten Pangeran anging Allah, Nabi Muhammad punika utusaning Allah punika afngaling Rasul, dumunung ing badan kita. Rasul punika asmaning Muhammad, dumunung ing rahsa kita. Muhammad tuwin sipating cahya, dumunung ing gesang kita. Sajataning gesang kita punika, Dzating Pangeran Kang Maha Suci. Kayektosanipun kasebat ing dalem daliling Al Qur’an, manawi Pangeran Kang Mahasuci punika kawasa amijilaken gesang saking pejah, wijiling pejah saking gesang, inggih gesang kita pribadi punika. Sayekti awit saking pejah, ing wekasan boten kenging pejah. Dipun basakaken ; kayun pidareni. Tegesipun : gesang ing kaanan keakalih, wonten ing alam sahir kita gesang, wonten ing alam kabir inggih gesang. Sarta boten kasupen ing Dzat kita kang agung, boten ewah gingsir ing sipat kita kang elok, boten kasamaran ing sama kita kang wisesa, boten kekirangan ing afngal kita kang sampurna, dados pepuntoning taukid ingkang ambontos dhateng iktikad. Sampurnaning gesang kita punika boten wonten karaos utawi tanpa katinggal punapa-punapa. Amung waluya sajati lajeng anglimputi ing alam sadaya ; sampun uwas sumelang.<br /><br />Wasiyating guru ingkang medharaken ngelmi sasahidan, kaprayogekaken sami anglampahana sampun ngantos anyebut Allah, kaisbatna anyebut Pangeran, kadosta : ing bebasan saking karsaning Allah, isbatipun saking karsaning Pangeran. Kabar pakantukipun ingkang sampul kalampahan asring kadhawahan ilham. Dados amewahi teranging pambudi, ananing wasiyating guru ingkang sami kawaleraken sadaya punika manawi kasupen boten dados punapa, sebab sajatosipun ingkang dados awisaning ulah ngelmi kasampurnan punika namung napsu. Manawi saged ambirat hawa napsu, saking aDzat kadunungan manah awas tuwin emut. Manawi tansah awas emut saestu manggih kamulyan ing sangkan paran sasaminipun kados riwayating para ahli ngelmi ingkang kasebut ing ngandhap punika :<br />a. Taberi suci temen ; Minangka pambirating durgandana ing tembe, tegesipun ; ganda awon.<br />b. Angengirangi dhahar nginum ; Minangka paluluhaning raga ing tembe.<br />c. Angawisi sare shawat ; Minangka pangluyutaning jiwa ing tembe.<br />d. Nyenyuda napsu wuwus ; Minangka panglenyepaning rahsa ing tembe.<br /><br />Manawi sampun lenyep rahsanipun, kabar dumugining delahan ing tembe lajeng layat dados cahaya gum, ilang tanpa wewayangan ing kaanan kita kang sejati. Punika sarehning kula dereng saged anglampahi piyambak, dados namung anyumanggakaken ing pamanggihing galih kemawon. Bokmanawi kalampahan makaten inggih wallahu alam katarimahipun.<br /><br />Sawise ganep pamejange, nuli amarah patrape paraboting ngilmu dadi wolung pangkat, kasebut ing ngisor iki :<br /><br />1. Pamuja.<br /><br />“Ana pepujaningsun sawiji, Dzate iya Dzatingsung, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, sampurna kalawan kudratingsun”.<br /><br />2. Tobat utawa Panalangsa.<br /><br />“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeding jisimingsun gorohe ing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase ing mengko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.<br /><br />3. Pangruwat.<br /><br />“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalmia pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe, Mar Marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadang ingsun kang ora katon lang kang ora karawalan, utawa kadangingsun kang metu saka marga ina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurnaa nirmala waluya kahanan jati dening kudratingsun”.<br /><br />4. Saksi ing Dzat Kita, kaya Sasahidan.<br /><br />“Ingsun anakseni ing Dzatingsun dewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kudratingsun”.<br /><br />5. Anucekake Sakehing Anasir.<br /><br />“Ingsun anucenaken sakaliring anasiringsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa Rochani, nirmala walya ing kahanan jati dening kudratingsun”.<br /><br />6. Angawinake Badan Karo Nyawa.<br /><br />“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine Malaekat papat, iya iku Insun kang angawin badaningsun, winalenan dening rahsaningun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening Malaekatingsun papat, Jabarail, iya iku pangucapingsun, Mikail pangambuningsun, Israfil paningalingsun, Idjrail pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.<br /><br />7. Sangkan Paraning Tanazultarki.<br /><br />“Ingsun mancad saka ing alam Insan Kamil, tumeka ing alam Ajsam, nuli tumeka ing alam Misal, nuli tumeka ing alam Arwah, nuli tumeka ing alam Wachidiyat, nuli tumeka ing alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang tarawangan saka ing kudratingsun”.<br /><br />8. Pambirat Asaling Cahya.<br /><br />“Cahya ireng kadadeyaning napsu, Luwamah sumurup maring cahya kang abang, cahya abang kadadeyaning napsu, Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu, Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya puti kadadeyaning napsu, Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarna kadadeyaning Pramana, sumurup marang Dzating cahyaningsun kang awening mancur mancorong gumilang tanpa wewayangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.<br /><br />Sawise mangkono, nuli amarah maneh praboting amatrapake panjenenganing Dzat, dadi sangang pangkat, kasebut ing ngisor iki.<br /><br />1. Angumpulake Kawula Gusti.<br /><br />“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun, tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”.<br /><br />2. Maha Sucekake Ing Dzat.<br /><br />“Ingsun Dzat Kang Amaha Suci Kang Sifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nilmala waluya ing jatiningsun kalawan kudratingsun”.<br /><br />3. Angrakit Karatoning Dzat.<br /><br />“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa, andadekake ing karatoningsun kanga gung kang amaha mulya. Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, sangkep, saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun, kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun kabeh saka ing kudratingsun”.<br /><br />4. Angracut Jisim.<br /><br />“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana ing jaman karamating maha mulya, waluya kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asala saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali marang ingsun maneh saka ing kudratingsun”.<br /><br />5. Anarik Sampurnaning Akrab.<br /><br />“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe, pada suci mulya sampurnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”.<br /><br />6. Angukud gumelaring Jagad.<br /><br />“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya sampurnaa dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”.<br /><br />7. Ambabar Karaharjaning Turas.<br /><br />“Turasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”.<br /><br />8. Amasang Pangasihan.<br /><br />“Sakahe titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun, saka ing kudratingsun”.<br /><br />9. Amasang Kamayan.<br /><br />“Sakeha machlukingsun kabeh, kang ora angendahake maring Sun, pada kaprabawa dening kamayan dening kudratingsun”.<br /><br />Ing wekasan kang kawejang dijantenana yen panggonaning patrap pratikele sawiji-wiji, kapratelakake ana Babaring Wirid amawa murad maksud kasebut dadi pituduhane dununging ngelmu makrifat kabeh mau iku.<br /><br />Sawise mangkono, kang amejang maca dunga Istiqfar karo dunga Kabula, sajeroning batin anuwun pangapura marang Kang Amurba Amisesa ing ngurip, supaya aja nganti pleh wewalak anggone amerake rahsaning Dzat iku.<br /><br />Nuli kang kawejang dijanjeni, Manawa isih urip gurune, ora kena mejang, kang wis kalakon andadekake ora prayoga, dene Manawa kaburu ing perlu, ana akrabe kang lara lara-banget, mangka during ngelmu, iku kena amisik Ananing Dzat bae.<br /><br />Kajabone saka mangkono, saupama kang kawejang mau during anarima utawa isih kurang padang ing panampane, Manawa arep anggeguru ing liyane maneh ora dadi apa, angger anajaluk idening guru kang amejang ngelmu iku.<br /><br />Sawise mangkono banjur pada sesalaman, utamane kang kawejang mau yen karsa angabekti marang kang amejang.<br /><br />Sawise luwar saka pamejangan, ing kono nuli pada angepung mabengan, salamating jiwa raga, mungguh kehing ambengan dadi telung asahan, ing ngisor iki pratikele :<br />1. Memule angaturi dahar Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, sega wuduk, lembarang pitik, utawa endog, karupuk, lombok, terong.<br />2. Memule angaturi dahar para Sahabat Rasul karo para Waliyullah, sego golong, pecel pitik, jangan menir, iwak kebo siji kagoreng.<br />3. Memule angaturi dahar marang leluhur kang pada amedarake rahsaning ngelmu makrifat apa kang dadi dedaharane nalika isih urip, sarta nganggo kinang, kembang konyoh, kabeh iku pada kadonganan onga Rasul, Majmuk Kabula, Tulak-bilahi wekasan Salamet.<br /><br />Dene pakolehing amejang iku, yeng amarengi sasi tanggale sapisa ing dina Jum’at, pamejange anuju purnama, anggere or sangar ora na’as, sarta ora taliwangke, Manawa sangaraning sasi anuju dina Jum’at, pamejang ing dina Anggara Kasih (seasa Kliwon), ora angetung purnama.<br /><br />Mungguh pakolehing enggon pamejang iku, bumi sucikang becik arane, sarta ora kauban wangon, utamane yen ana ing gunung, ing ara-ara, ing banyu, angger becik jenege sarta sepen, prayoga kanggo panggonan amejang, kaya ta : ing gunung Agung,ara-ara ing Purwadadi, ing Ngadipala, bangawan ing Ngobol, luwih utama pisan Manawa amejang ana ing Sitinggil, utawa palataran ing Masjid Gede, sapepadane kang sakira pakoleh ing jeneng karo panggonane.<br /><br />GURU LAN MURID<br /><br />I. G U R U<br /><br />Iki pratelane wajibing wong kang pantes dadi guru, ana wolung prakara :<br />1. Bangsaning Awirya, tegese bangsa luhur, kang isih kadrajatan.<br />2. Bangsaning Agama, tegese bangsa ulama, kang alim ing kitab.<br />3. Bangsaning Atapa, tegese bangsa Pandita, kang tansah ulah laku.<br />4. Bangsaning Sujana, tegese bangsa linuwih, kang dadi wong becik.<br />5. Bangsaning Aguna, tegese bangsa pinter, kang ulah kabisa.<br />6. Bangsaning prawira, tegese bangsa prajurit, kang isih kasawur prawirane.<br />7. Bangsaning Supunya, tegese bangsa sugih, kang isih kabegjan.<br />8. Bangsaning Susatya, tegese bangsa tani, kang temen.<br /><br />Dene panganggoning wong dadi guru ana wolung prakara :<br />1. Paramasastra, tegese limpad ing sastra.<br />2. Paramakawi, tegese putus ing kawi.<br />3. Mardibasa, tegese memantes tembung.<br />4. Mardawalagu, tegese bisa gawe lemesing lelagon.<br />5. Hawacarita, tegese sugih carita.<br />6. Mandraguna, tegese sugih kabisan.<br />7. Nawungkrida, tegese lantip ing panglepasan.<br />8. Sambegana, tegese engetan.<br /><br />Uger-ugering wong dadi guru ana wolung prakara :<br />1. Asih ing murid, dianggep anak putu.<br />2. Tulaten pamulange, ora mawa wigah-wigih.<br />3. Lumuh ing pamrid, ora duwe pangarah apa-apa.<br />4. Tanggap ing sasmita, bisa anampani pasemoning murid.<br />5. Sepen ing pangrayangan, ora dadi kira-kiraning murid.<br />6. Ora ambalekake pitakon.<br />7. Ora angendak kagunan.<br />8. Ora amburu aleman, angunggul-unggulake kapinteran.<br /><br />Utamane wong dadi guru ana wolung prakara :<br />1. Mulus ing sarira, ora ana cacade.<br />2. Alus ing wicara, ora sok memisuh lan supata.<br />3. Jatmika ing solah.<br />4. Antepan bebudene.<br />5. Paramarta lelabuhane.<br />6. Patitis nalare.<br />7. Becik labete.<br />8. Ora duwe pakareman.<br /><br />II. M U R I D<br /><br />Iki pratikele wong kang wajib dadi murid, ana wolung prakara :<br />1. Tedak turun.<br />2. Tunggal bangsa.<br />3. Tunggal agama.<br />4. Tunggal basa.<br />5. Sumurup ing sastra.<br />6. Wis kaliwat tengah tuwuh.<br />7. Tanpa lelara.<br />8. Tanpa kuciwa.<br /><br />Wenanging dadi murid, ana wolung prakara :<br />1. Nastiti.<br />2. Nastapa.<br />3. Kulina.<br />4. Santosa.<br />5. Diwasa.<br />6. Engetan.<br />7. Santika.<br />8. Lana.<br /><br />Mokaling dadi murid, ana wolung prakara :<br />1. Edan.<br />2. Ayan.<br />3. Wuta.<br />4. Tuli.<br />5. Bisu.<br />6. Bocah durung dewasa.<br />7. Wong tuwa kang wis lali.<br />8. Wong lara banget kang wis lali.<br /><br />Panganggoning dadi murid, ana wolung prakara :<br />1. Angimanake, sirik yen maidowa.<br />2. Angatonake, sirik yen anapekena.<br />3. Anastitikake, sirik yen anglirwakna.<br />4. Anerangake, sirik yen anyuala.<br />5. Amusawaratake, sirik yen amiyagaha.<br />6. Anggelarake, sirik yen angumpeta.<br />7. Anglulusake, sirik yen ambatalena.<br />8. Anindakakake, sirik yen angenengena.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-62772373930329958982009-04-03T22:00:00.000-07:002010-08-20T22:03:01.380-07:00SERAT (MANTRA-WEDHA, SUKMA-WEDA, DARMA-WEDA, JAPA-WEDA, JIWA-WEDA)<span style="font-weight:bold;">Mantra-Wedha</span><br /><br />(1)<br />Ono kidung rumekso ing wengi,<br />Teguh ayu luputo ing loro,<br />Luputo ing bilai kabeh,<br />jim setan datan purun,<br />paneluhan tan ono wani,<br />miwah panggawe olo,<br />gunaning wong luput,<br />geni atemahan tirto,<br />maling adoh tan keno ing mami,<br />tuju guno tan sirno.<br /><br />(2)<br />Sakebehing loro tan soyo bali,<br />Kahehing omo tan sami soyo mirudo,<br />Welas asih pandulune,<br />Sakehing brojo luput,<br />Kadi kapuk katibaning wesi,<br />Sakehing wiso towo,<br />Sato galak tutut,<br />Kayu aeng lemah sangar,<br />Songing landak guwaning lemah miring,<br />Myang pakiponing merak.<br /><br />(3)<br />Pagupakaning warak sakalir,<br />Nadyan arco myang sagoro asat,<br />Temahan rahayu kabeh,<br />Dadya sariro ayu,<br />Ingideran pro widodari,<br />Rinekso pro malaikat,<br />Sakatahing rosul,<br />Tan dadi sariro tunggal<br />Ati adam utek ku bagindo eisis,<br />Pangucapku ya Musa.<br /><br />(4)<br />Napasku nabi Ngisa linuwih<br />Nabi Yakup pamiryarsa ningwang<br />Yusup ing rupaku mangke,<br />Nabi Dawud suwaraku<br />nJeng Suleman kasekten mami<br />Nabi Ibrahim nyawa,<br />Edris ing rambutku<br />Baginda Ngali kuliting wang<br />Getih daging Abu Bakar Ngumar singgih,<br />Balung baginda ngusman<br /><br />(5)<br />Sumsumingsun Patimah linuwih,<br />Siti aminah bayuning angga,<br />Ayup ing ususku mangke<br />Nabi Nuh ing jejantung<br />Nabi Yunus ing otot mami<br />Netraku ya Muhamad<br />Pamuluku Rasul<br />Pinayungan Adam Kawa<br />Sampun pepak sakathahe para nabi<br />Dadya sarira tunggal<br /><br />(6)<br />Sawiji wiji mulane dadi,<br />Apencar mulaning jagad,<br />Kasamaran dining dzat e,<br />Kang maca kang ngerungu,<br />Kang anurat kang ngimpeni,<br />Dadi ayuning badan,<br />Kinaryo sesembur,<br />Yen winacakno ning toya<br />Kinarya dus rara tuwo gelis laki,<br />Wong edan nuli waras.<br /><br />(7)<br />Lamun ono wong kadendo kaki,<br />Wong kabanda kabotan utang,<br />Yogya wacanen den age<br />Naliko tengah dalu,<br />Ping sewelas wacanen singgih,<br />Luwar ingkang kabanda,<br />Kang kadendo wurung,<br />Agelis nuli sinauran,<br />Mring hyang sukma ingkang utang iku singgih,<br />Kang agering nuli waras.<br /><br />(8)<br />Lamun arso tulus nandur pari,<br />Puasa o sawengi sadino,<br />Iderono galengane,<br />Wacanen kidung iku,<br />Sakabeh e ngama sami bali,<br />Yen siro lungo perang,<br />Wateken ing sengkul,<br />Antuka tigang pulukan,<br />Musuh siro rep sirep tan ono wani,<br />Rahayu ing payudyan.<br /><br />(9)<br />Sopo sing reke biso nglakoni,<br />Amutih lawan anawa,<br />Patang puluh dino bae,<br />Lan tangi waktu subuh,<br />Lan den sabar sukuring ati,<br />Isya Allah katekan,<br />Tumrap sanak rajatira,<br />Saking sawabing ilmu pangiket amami,<br />Duk aneng Kali Jaga.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Suksma–Wedha</span><br /><br />(10)<br />Ana kidung reke angartati,<br />Sapa eruh reke aran ingwang,<br />Duk ingsung ono ing ngare,<br />Miwah duk aneng gunung,<br />Ki samurta lan Ki samurti,<br />Ngalih aran ping tiga,<br />Arta daya tengsung,<br />Arang ingsung duk jejaka,<br />Ki artati aran ingsung ngalih,<br />Sapa weruh aran ingwang.<br /><br />(11)<br />Sapa weruh tembang tepus kaki,<br />Sasat weruh reke arta daya,<br />Tunggal pancer sauripe,<br />Sapa weruh ing panuju,<br />Sasat sugih pagere wesi,<br />Rinekso wong sajagat,<br />Kang angidung iku,<br />Lamun dipun apalane,<br />Kidung iku den tutug pada sawengi,<br />Adoh panggawe ala.<br /><br />(12)<br />Lawan rineksa marang Hyang Widhi,<br />Sakarsane tineko dening Hyang,<br />Rineksa ing jalma kabeh,<br />Kang amaca kang angerungu,<br />Kang anurat myang kang nimpeni,<br />Yen ora bisa maca,<br />Simpenono iku,<br />Temah ayu kang sariro,<br />Yen linakon dinulur sanendyan neki,<br />Lan rinekso dening Hyang.<br /><br />(13)<br />Kang sinedya tinekan Hyang Widhi,<br />Kang kinarsung dumadakan kena,<br />Tur sinisiyan pangeran,<br />Nadyan tan weruh niku,<br />Lamun nedya muja semedhi,<br />Sasaji ing sagara,<br />Dadya ngumbareku,<br />Dumadi sariro tunggal,<br />Tunggal jati swara awor ing Artati,<br />Aran sekar jempina.<br /><br />(14)<br />Somahira ingarang penjari,<br />Milu urip lawan milu pejah,<br />Tan pisah ing saparane,<br />Pari purna satuhu,<br />Anirmala waluya jati,<br />Keno ing kene kana,<br />Ing wasesanipun,<br />Ajejuluk Adhi suksma,<br />Cahya jumeneng aneng artati,<br />Anom tan keno tuwa.<br /><br />(15)<br />Panunggale kawula lan Gusti,<br />Nila ening arane duk gesang,<br />Duk mati nila arane,<br />Lan suksma ngubaraeku,<br />Ing asmoro mung raga yekti,<br />Durung darbe peparab,<br />Duk rare iku,<br />Awayang bisa dedolan<br />Aran Sang Hyang Jati iya sang Artati,<br />Yeku Sang Arta jaya.<br /><br />(16)<br />Dadya wisa mangkya amartani,<br />Lamun maria atemahan wisa,<br />Marma Arta daya rane,<br />Duk lagya aneng gunung,<br />Ngalih aran Asmara jati,<br />Wayah tumekeng tuwa,<br />Emut ibunipun,<br />Ni panjari lungo ngetan,<br />Ki Artati nurut gigiring Merapi,<br />Anulya mring Sundara.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Darma-Wedha</span><br /><br />(17)<br />Ana panditha akarya wangsit,<br />Minda kombang angecap ing tawang,<br />Susuhing angin endhi enggone,<br />Lawan galihing kangkung,<br />Wekasane langit jaladri,<br />Isine wuluh wungwang,<br />Lan gigiring punglu,<br />Tapaking kuntul anglayang,<br />Manuk miber uluke ngungkuli langit,<br />Kusuma njrahing tawang.<br /><br />(18)<br />Ngabil banyu apikulan warih,<br />Ametgeni sarwi adadamar,<br />Kodok ngemuli elenge,<br />Miwah kang banyu dikum,<br />Myang dahana murub kabesmi,<br />Bumi pinetak ingkang,<br />Pawana katiyup,<br />Tanggal pisan kapurnaman,<br />Yen anenun sateg pisan anigasi,<br />Kuda ngarap ing pandengan.<br /><br />(19)<br />Ana kayu apurwa sawiji,<br />Wit buwana epang keblat papat,<br />Agedong mega rumembe,<br />Apradapa kukuwung,<br />Kembang lintang salaga langit,<br />Semi andaru kilat,<br />Woh surya lan tengsu,<br />Asiran bun lawan udan,<br />Apupucuk akasa bungkah pratiwi,<br />Oyode bayu bajra.<br /><br />(20)<br />Wiwitane duk anemu candi,<br />Gegedongan miwah wewerangkan,<br />Sihing Hyang kabesmi kabeh,<br />Tan hana janma kang wruh,<br />Yen weruha purwane dadi,<br />Candi sagara wetan<br />Ingobar karuhun<br />Kayangane Sang Hyang Tunggal,<br />Sapa reke kang jumeneng mung Artati,<br />Katon tengahing tawang.<br /><br />(21)<br />Gunung Agung sagara serandil,<br />Langit ingkang amengku buwana,<br />Kawruh ana ing artine,<br />Gunung sagara amung,<br />Guntur sirna amengku bumi,<br />Ruk kang langit buwana,<br />Dadya weruh iku,<br />Mudya madyaning ngawiyat,<br />Mangasrama ing gunung Agungsabumi<br />Candi candi sagara.<br /><br />(22)<br />Gunung luhure kagiri giri,<br />Sagara agung datanpa sanma,<br />Pan sampun kawruhan reke,<br />Arta daya puniku,<br />Datan keno cinangkreng budi,<br />Anging kang sampun prapta,<br />Ing kuwasanipun,<br />Angadeg tengahing jagad,<br />Wetan kulon lor kidul mandap myang inggil,<br />Kapurba kawasesa.<br /><br />(23)<br />Bumi sagara gunung myang kali,<br />Sagung inking sesining bawana,<br />Kasor ing Arta dayane,<br />Sagara sat kang gunung,<br />Guntur sirna guwa samya nir,<br />Sing aweruh Arta daya,<br />Dadya teguh timbul,<br />Lan dadi paliyasining prang,<br />Yen lelungan kang kapapag wedi asih,<br />Sato galak suminggah.<br /><br />(24)<br />Jim peri parayangan pada wedi,<br />Mendak asih sakehing dubriksa,<br />Rumeksa siyang dalune,<br />Sing anempuh lumpuh,<br />Tan tumama ing awak mami,<br />Kang nedya tan raharja,<br />Kabeh pan linebur,<br />Sakabehing nedya ala,<br />Larut sirno kang nedya becik basuki,<br />Kang sineoya waluya.<br /><br />(25)<br />Siyang dalu rineksa ing widi<br />Dinulur saking karseng Hyang Suksma<br />Kaidep ing janma kabeh,<br />Aran wikuning wiku<br />Wikan liring muja semedi<br />Dadi sasedyanira<br />Mangunah linuhung,<br />Peparab Hyang Tega Lana,<br />Kang kasimpen yen tuwajuh jroning ati<br />Kalising panca baya.<br /><br />(26)<br />Yen kinaryan atunggu wong sakit<br />Ejim setan datan wani ngambah<br />Rineksa mala ekate<br />Nabi wali angepung<br />Sakeh lara pada sumingkir,<br />Ingkang sedya pitenah marang awak ingsun,<br />Rinusak dening Pangeran,<br />Iblis laknat sato moro sato mati<br />Tumpes tapis sadaya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Japa-wedha</span><br /><br />(27)<br />Ana kidung angidung ing wengi,<br />Bebaratan duk amrem winaca,<br />Sang Hyang Guru pangandeke,<br />Lumaku Sang Hyang Ayu,<br />Alembehane Asmara ening,<br />Ngadek pangawak teja,<br />Kang angidung iku,<br />Yen kinarya angawula,<br />Myang lulungan Gusti geting dadi asih,<br />Sato setan sumimpang.<br /><br />(28)<br />Sakatahing upas tawa sami,<br />Lara raga waluya nirmala,<br />Tulak tanggul kang manggawe,<br />Duduk samya kawangsul,<br />Akawuryan saguhing pikir,<br />Ngadam makdum sadaya,<br />Datan paja ngrungu,<br />Pangucap lawan pangrasa,<br />Myang tumingal kang sedya tumekeng napi,<br />Pangreksaning malekat.<br /><br />(29)<br />Jabarail inkang animbang<br />Milunira kanteban iman,<br />Pan dadya kendel atine,<br />Ngijail puniku,<br />Kang rumeksa ing ati suci,<br />Israpil dadi damar,<br />Madangi jrokalbu,<br />Mingkail kang asung sandang,<br />Lawan pangan tinekan ingkang kinapti,<br />Sabar lawan narimo.<br /><br />(30)<br />Ya hudakyeng pamujining wengi,<br />Bale aras saka ne mulya,<br />Kirun saka tengen nggone,<br />Wanakirun kang tunggu,<br />Saka kiwa gada ne wesi,<br />Nulak panggawe ala,<br />Satru lawan mungsuh,<br />Pangeret tengajul rijal,<br />Ander ander khulhu balik kang linuwih,<br />Ambalik lara raga.<br /><br />(31)<br />Dudur molo tengayatul kursi,<br />Lungguh neng atine surat aningam,<br />Pengleburan lara kabeh,<br />Usuk usuk ing luhur,<br />Ingkang aran wesi ngalarik,<br />Neng nabi mohamad,<br />Kang wekasan niku,<br />Antunggu ratri lan siyang,<br />Kinedepan ing tumuwung pada asih,<br />Tunduk mendak maring wang.<br /><br />(32)<br />Satru mungsuh mundur pada wedi,<br />Pamidangan ing betal mukadas,<br />Tulak balik pangreksane,<br />Pan nabi patang puluh,<br />Paring wahyu mring awak mami,<br />Apan nabi wekasan,<br />Sabda Nabi Dawud,<br />Apetak bagenda Ambyah,<br />Kinaweden ebelis laknat lawan ejim,<br />Tan wani perak.<br /><br />(33)<br />Pepayone godong dukut langit,<br />Tali barat kumendung ing tawang,<br />Tinunda tan katon mangke,<br />Arajeg gunung sewu,<br />Jala sutra ing luhur mami,<br />Kabeh pada rumeksa,<br />Angadangi mungsuh,<br />Nulak panggawe ala,<br />Lara roga sumingkir kalangkung tebih,<br />Luput kang wisa guna.<br /><br />(34)<br />Gunung sewu dadya pager mami,<br />Katon murub kang katon tumingal,<br />Sakeh lara sirna kabeh,<br />Luput ing tuju teluh,<br />Tarakyana tenung jalenggi,<br />Bubar ambyur suminggah,<br />Sri Sedana lulut,<br />Punika sih Rahmatulah,<br />Iya Sang Jati mulya.<br /><br />(35)<br />Ingaranan Rara subaning-sih,<br />Kang tuminggal samya sih sadaya,<br />Kadep sapari polahe,<br />Keh lara sirna larut,<br />Tan tumama ing awak mami,<br />Kang sangar dadi tawa,<br />Kang geting dadi lulut,<br />Saking dawuh sifat rahman,<br />Iya rahmat rahayu pangereksaneki,<br />Sarana nganggo metak.<br /><br />(36)<br />Yen lumampah kang mulat awingwrin,<br />Singo barong kang podo rumeksa,<br />Gajah meta ning wurine,<br />Macan gembong ing ngayun,<br />Naga raja ing kanan kering,<br />Singa mulat njrih tresna,<br />Marang awak ingsun,<br />Jim setan lawan manungsa,<br />Pada kadep teluh lawan antu bumi,<br />Ajreh lumayu ngitar.<br /><br />(37)<br />Yen sinimpen tawa barang kalir,<br />Upas bruwang racun banjar sirna,<br />Temah kalis sabarang reh,<br />Jemparing towok putung,<br />Pan angleyang tumibeng siti,<br />Miwah saliring braja,<br />Tan tumama mring sun,<br />Cedak cupet dawa tuna,<br />Miwah sambang setan tenung pada bali,<br />Kadep wedi maring wang.<br /><br />(38)<br />Ana paksi mangku bumi langit,<br />Manuk iku endah warnanira,<br />Sagara erob wastane,<br />Uripe manuk iku,<br />Animbuhi ing jagad iki,<br />Warnanipun sakawan,<br />Sikile wewolu,<br />Kulite iku sarengat,<br />Getihipun tarekat ingkang sejati,<br />Ototipun kakekat.<br /><br />(39)<br />Dagingipun makripat sejati,<br />Cucukipun sejatining sadad,<br />Eledan tohid wastane,<br />Ana dene kang manuk,<br />Pupusuhe supiah nenggih,<br />Emperune amarah,<br />Mutmainah jantung,<br />Luamah waduke ika,<br />Manuk iku anyawa papat winilis,<br />Nenggih manuk punika.<br /><br />(40)<br />Uninipun jabrail singgih,<br />Socanipun punika kumala,<br />Anetra wulan srengenge,<br />Napas nurani iku,<br />Garananipun tursino nenggih,<br />Angaub soring aras,<br />Karna kalihipun,<br />Ing gunung Arpat punika,<br />Uluwiyah ing lohkalam wastaneki,<br />Ing gunung manik maya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Jiwa-wedha</span><br /><br />(41)<br />Ana kidung akandang permadi,<br />Among tuwung ing kawasanira,<br />Nganak ake saciptane,<br />Kakang kawah puniku,<br />Kang rumekso ing awak mami,<br />Anekakaken sedya,<br />Ing kawasanipun,<br />Adi ari ari ika,<br />Kang mayungi ing laku kawasaneki,<br />Nekakaken pangarah.<br /><br />(42)<br />Punang getih ing raine wengi,<br />Ngrerewangi Allah kang kawuasa,<br />Andadekaken karsane,<br />Puser kawasanipun,<br />Nguyu uyu sabawa mami,<br />Nuruti ing paneda,<br />Kawasanireku,<br />Jangkep kadang ingsun papat,<br />Kalimane pancer wus dadi sawiji,<br />Tunggal sawujud ingwang.<br /><br />(43)<br />Yeku kadang ingsung kang umijil,<br />Saking marga ina sareng samya,<br />Sadino awor enggone,<br />Sakawan kadang ingsun,<br />Ingkang nora umijil saking,<br />Marga ina punika,<br />Kumpule lan ingsun,<br />Dadya makdum sarpin sira,<br />Wewayangan in dat samya dadya kanti,<br />Saparan datan pisah.<br /><br />(44)<br />Yen angidung poma den mametri,<br />Memuleya sego golong lima,<br />Takir pontang wewadahe,<br />Ulam ulamipun,<br />Ulam tasik rawa lan kali,<br />Ping pat iwak bangawan,<br />Mawa gantal iku,<br />Rong supit winungkus samya,<br />Apan dadya sawungkus arta saduwit,<br />Sawungkuse punika.<br /><br />(45)<br />Tumpengana aneng pontangnya sami,<br />Dadya limang wungkus pontang lima,<br />Sinung sekar cempaka ne,<br />Loro sapotangipun,<br />Kembang boreh dupa ywa lali,<br />Memetri ujugbira,<br />Donganira Mahmud,<br />Poma dipun lakonono,<br />Saben dino nuju kalahiraneki,<br />Agung sawabe ika.<br /><br />(46)<br />Balik lamun ora den lakoni,<br />Kadang ira pan pada ngrencana,<br />Temah kudrasa ciptane,<br />Sasedyanira wurung,<br />Lawan luput pangarahneki,<br />Sakarepe ira wigar,<br />Gagar datan antuk,<br />Saking kurang temenira,<br />Madep laku iku den awas den eleng,<br />Tamat ingkang kidungan.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-29887691603881789172009-04-03T21:53:00.000-07:002010-08-20T21:54:30.379-07:00ANGETRAPAKE PARABOTING NGELMU KASAMPURNANPanengeraning Dina Kiyamat .<br />Bebukane amratelakake kang dadi Panengeraning dina Kiyamat, tegesing Kiyamat, jumeneng, kasebut ing gisor iki.<br /><br />1. Panengeran Kang Dingin.<br /><br />Kang dingin, yen wis asring uninga kang ora katonton, tanda kurang satuan, ing kono panggonane anyaketi tapa brata anyenyuda pakareman, anetepana panggalih : trima, rila,, temen, utama, mungguh utama iku dumunung ana ing sabar darana.<br /><br />2. Panengeran Kang Kapindo<br /><br />Kang kapindo, yen wis asring mireng kang kapiyarsa, kaya ta, mireng rerasaning jin setan, sato kewan, tanda kurang setengah taun, ing kono panggonaning kurmat sapanunggalane anglakoni panggaweyan becik, kinantenan angati-ati marang uripe dewe.<br /><br />3. Panengeran Kang Kaping Telu.<br /><br />Kang kaping telu, yen wis salin ing paningale, kaya ta, ing sasi Muharram, Shafar, andulu langit katon abang; Mulud, Rabiul Akhir, srengenge katon ireng; Jumadilawal, Jumadilakhir, rembulan katon ireng; Rejeb, Ruwah, banyu katon abang; Pasa Syawal, wewayangane dewe katon loro; Zulkaedah, Besar, geni katon ireng; kabeh iku tanda kurang rong sasi, ing kono panggonaning wasiyat karo riwayat, tegese amemeling karo wewarah, kinantenan taberi asesuci.<br /><br />4. Panengeran Kang Kaping Pat.<br /><br />Kang kaping pat, yen dariji panungguling asta dibekuk, kapetelake dalah epek-epeke, dariji manis kaangkat, yen wis kaangkat anjunjung dariji manise mau, tanda kurang patang puluh dina, ing kono panggonaning afiyat, tegese pangapura. Iya iku anenuwun pangapura marang Pangerane, saha banjur angapura marang kang pada kaluputan, utawa aminta pangapura marang kang pada rumasa kalarakake atine.<br /><br />5. Panengeran Kang Kaping Lima.<br /><br />Kang kaping lima, yen asta kawawas ing netra loro darijine wis katon kalong, ugel-ugele wis katon pedot, tanda kurang sasasi, ing kono panggonaning amatrapake pikukuhing ngelmu kasampurnan kaya kang kasebut ing ngisor iki :<br /><br />a. Iman, tegese angandel, kang diandel kudrate, tegesing kudrat : kuwasa.<br /><br />b. Tauhid, tegese muhung sawiji, tegese pasrah marang iradate, tegesing iradat : karsa.<br /><br />c. Makrifat, tegese waskita, kang diwaskitani ngelmune iya iku anguningani dununging Dzat, sifat, asma, afngal, tegesing Dzat : kanta, sifat : rupa, asma : aran, afngal : pakreti.<br /><br />d. Islam, tegese slamet, kang slamet iku chayate, tegesing khayat : urip, dumunung ana ing sifat jalal, jamal, kahar, kamal, tegesing jalal : agung, kang agung iku Dzate, dening anglimputi ing alam kabeh, tegesing jamal : elok, kang elok iku sifate, dening dudu lanang dudu wadon, dudu wandu, sarta ora arah ora enggon, tanpa warna tanpa rupa, tegesing kahar : wisesa, kang wisesa iku asmane, dening ora nama sapa-sapa, tesegesing kamal : sampurna, kang sampurna iku afngale, dening bisa gumelar pada sanalika pakretine, saka kawasa tanpa sangsaya.<br /><br />Mungguh dununge mangkene, iman dumunung ana ing eneng, tauhid, dumunung ana ing ening, makrifat dumunung ana ing awas, islam dumunung ana ing eling.<br /><br />6. Panengeran kang Kaping Nem.<br /><br />Kang kaping nem, yen wis asring katonton warnane dewe, tanda kurang satengah sasi, ing kono panggonaning Pamuja, aneges karsane Kang Kawasa, patrape ing saben apangkat arep sare, Pamujane kasebut ing ngisor iki :<br /><br />“Ana pujaningsun sawiji, Dzat iya Dzatingsun, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, samprna kalawan kudratingsun”.<br /><br />Ing nalika iku ciniptaa kang pinuja tunggal, kaya ta Bapa, Biyung, Kaki, Nini, Garwa, Putra, Wayah, sapadane kang dadi pelenging cipta bisaan anunggal ing jaman kalanggengan.<br /><br />7. Panengeran Kang Kaping Pitu.<br /><br />Kang kaping pitu, yen wis rumasa larakasandang, tegese ora arep apa-apa, tanda kurang pendak dina, ing kono panggonaning tobat, patrape manawa lagi wungu sare, kasebut ing ngisor iki :<br /><br />“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeting jisimingsun, gorohing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase, ing mangko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh kalawan kudratingsun”.<br /><br />8. Panengeran Kang Kaping wolu.<br /><br />Kang kaping wolu, yen wis karasa gerah uyang saranduning sarira ing jaba jero kabeh, terkadang asring andadekana wetuning sesuker tinja taun, kara tinja kalong, utawa cacing kalung karo cacing tembaga, ing wekasan pucuking parji karasa anyep, andadekake teranging nutfah, iku tanda wis parek ing dina Kiyamat, amung kurang ing saantara dina, ing kono waktuning Dajal laknat katon arep agawe arubiru, marang kahanan kita, iya iku pangonaning katekan rancana saka sadulur papat, kalima pancer dumunung ana ing badan kita dewe, panangkise anapekena rahsaning jati wisesa, tegese angenirake angen-angen, banjur karuwata kaya ing ngisor iki :<br /><br />“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe. Mar marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadangingsun kang ora katon, lan kang ora karawatan, utawa kadangingsun kang metu saka marga hina lan ora metu saka ing marga hina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurna nirmala waluya ing kahanan jati, dening kudratingsun”.<br /><br />Nuli asaksiya kalayan Dzat kita dewe, kaya asahid marang wahananing sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ing alam dunya, wis kasebut ing ngarep ana wekasaning wewejangan.<br /><br />9. Panengeran Kang Kaping Sanga Utawa kang Wekasan.<br /><br />Kang kaping sanga, yen ketek ana ugel-uegeling asta wis ora ana, andadekake oncate pramananing kanaka, sarta pramananing tingal wis sepen, andadekake rupeking pandulu rengating alis, utawa garebeging talingan wis meneng, andadekake pengeng sanalika, ing wekasan garing-gingen kang sarira banjur kambu gandaning sawa, iku tanda wis muncad ing dina Kiyamat, jumeneng kalayan pribadine, ing kono panggonaning anucekake sakehing anasir, tegesing anasir : bangsa, iya iku bangsaning khak kang dumunung ana ing Dzat, sifat, asma, afngal, kaya ta : anasir badan asal saka ing bumi , geni, angin, banyu, iku kaciptaa suci mulya mulih marang asale, saampurnaa anunggal kalayan anasiring roh, kang sumende ana kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud; Tegese wujud : wahana, iya iku getih, amarga getih iku dadi kanyatahaning roh, Tegese ngelmu : paningal, iya iku paningaling netra balaka, amarga paningal iku dadi pamawasing roh, Tegese nur : cahya, iya iku cahya kang anglimputi ing sarira, amarga cahya iku dadi pratandaning roh, Tegese suhud : saksi, iya iku napas, amarga napas iku dadi saksining roh.<br /><br />Dene enggone anucekake kasebut ing sajroning cipta mengkene :<br /><br />“Ingsun anucekake sakalaliring anairingsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa rochani, nirmala waluya ing kahanan jati dening kudratingsun”.<br /><br />Yen wis mangkono, nuli Nur Muhammad tumimbul, gumilang-gilang ana ing ana ing wadana, tanda bakal binuka kijabing Pangeran, meh katone sakehing cahya, ing kono panggonaning ngawinake badan karo nyawa, kasebut ing sajroning cipta mangkene :<br /><br />“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine malaekat papat, iya iku Ingsun kang angawin badaningsun, winalenan dening Rahsaningsun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening malaekatingsun papat, Jabrail, iya iku pangucapingsun, Mikali, pangambuningsun, Israfil, paningalingsun, Ijraril, pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.<br /><br />Nuli anyiptaa sangkan paraning Tanazultarki, kasebut ing ngisor iki :<br /><br />“Ingsun mancad saka alam Insan Kamil, tumeka maring alam Ajsam, nuli tumeka maring alam Misal, nuli tumeka maring alam Arwah, nuli tumeka maring alam Wachidiyat, nuli tumeka maring alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Achadiyat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang terawangan saka ing kudratingsun”.<br /><br />Nuli anyiptaa ing pambirat asaling cahya sawiji-wiji kasampurnakake saka kudrat kita, supaya aja nganti kalimputan dening cahya kang andadekake durgamaning sangkan paran, mangkana pambirate ing sajroning cipta :<br /><br />“Cahya ireng kadadeyaning napsu Luwamah sumurup maring cahya abang, cahya abang kadadeyaning napsu Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya putih kadadeyaning napsu Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarnakadadeyaning pramana sumurup maring Dzating cahyaningsun awening mancur mancarong gumilang tanpa wewanyangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.<br /><br />Ing nalika iku upama ana karasa apa-apa ing badane, angusapa puser kaping telu (3), upama angrasa liwung kaya mendem, angusapa dada kaping telu (3), upama angrasa arip arep sare, angusapa batuk kaping telu (3), upama angrasa arep lali, angusapa embun-embun kaping telu (3), banjur tata-tata dandan kaya ing ngisor iki ptrape :<br /><br />1. Wiwit asidakep suku tunggal anutupi babahan nawa sanga, dirijining asta pada antuk ing selaning dariji kaya angapu-rancang, jempol diadu pada jempol, banjur tumumpang ing dada, dibener sesipatane lawan tengahing dada, salonjoring sikil awit jempol sikil katemokake pada jempol sikil dipapak, polok ketemokake pada polok digatuk, dengkul katemokake pada dengkul dirapet, palanangan sapalandungane sinipat karo jempol sikil aja nganti katindihan.<br /><br />2. Nuli amawas pucuking grana, disipat ing dada tumeka ing puser, ing palanangan, ing jempol sikil, banjur angeningake cipta.<br /><br />3. Nuli angeremake netra kang alon, angingkemake lambe kang adamis, untu gatuka pada untu kang rata, ilat katekuk manduwur kapadalake ing cetak, banjur pasrah analangsa ing Dzate dewe.<br /><br />4. Nuli amegeng napas ing sanalika banjur anyipta matrapake panjenenganing Dzat, wiwit angumpulake kawula gusti mangkene :<br /><br />“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta maha sucekake ing Dzat kita kaya mangkene :<br /><br />“Ingsun Dzat Kang Maha Suci Kang Asifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nirmala waluya ing jisimingsun kalawan kudratingsu”. Ing kono pamegengeng napas katurunake metu ing grana maneh, kang alon aja nganti kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angrakit karatoning Dzat kita kang amaha mulya kaya mangkene :<br /><br />“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa andadekake ing karatoningsun kang agung kang maha mulya, Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, jangkep saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsa-karsaningsun kabeh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angracut ing jisim kita kaya mangkene :<br /><br />“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun maneh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta anarik marang para akrab sapanduwur sapangisor kang wis pada ngajal, kasampurnakake kaya mangkene :<br /><br />“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe pada suci mulya samprnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angukud gumelaring alam dunya kasampurnakake kabeh kaya mangkene :<br /><br />“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya samprna dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta ambabar marang tedak turune kang pada kari kaya mangkene :<br /><br />“Tusasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh, pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang pangasihan marang para tumitah kabeh kaya mangkene :<br /><br />“Sakehing titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang kamayan marang para mahkluk kang pada angarubiru, utawa ora angendahake marang jisim kita kaya mangkene :<br /><br />“Sakehing mahklukingsun kabeh, kang ora angendahake maringsun, pada kaprabawa ing kamayan dening kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.<br /><br />Dene enggone amatrapake panjenenganing Dzat kabeh mau yen karingkes dadi sawiji ana pratingkahe, wiwit pamegenging napas amung sapisan bae, ing sanalika amatrapake kaya mangkene :<br /><br />“Sakaliring cahya kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun, iya Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, iya Ingsun Dzat Kang Maha Suci asifat Langgeng, iya Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu agung, kang amurba amisesa kang kawasa angracud jisimingsun, anarik jaganingsun, angukud jagadingsun, amababar turasingsun, amasang pangasihan marang titahingsun, amasang kamayan marang mahklukingsun kabeh sampurna saka ing kudratingsun”. Banjur kaciptaa ing sasurasane, sarta pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.<br /><br />Mungguh cancude ing sajroning amegeng napas mau uger enget ing cipta bae, patrape kabeh iku iya wis kacakup, sabab yen sajroning jaman karamatullah ing tembe waktuning makam ijabah, tegese panggonan katarima, apa saciptane dadi, amarga sirnaning mudah kari wajah, mudah iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng.<br /><br />Yen wis mankono, maras kita tumangkep ing ati, andadekake seseke ing napas, ing kono banjur anarika napas saka kiwa mubeng anengen, saka tengen mubeng ngiwa, kakumpulake dadi sawiji ana ing lintang johar akhir, iya iku puser, katarik manduwur bener kang sareh, leren tinata ana ing maligening Bait al Muharram, iya iku dada, banjur anyipta cancuding amatrapake panjenenganing, dienget aja nganti tumpang suh kumpuling napas, tanapas, anpas, nupus, napas iku tetalining jisim, dumunung ana ing ati suweda, tegese woting ati, wahanane dadi angin kang metu saka badan wae, tanapas, iku tetalining ati, dumunung ana ing puser, wahanane dadi angin kang manjing marang badan bae, anpas iku tetalining roh, dumunung ana ing jejantung, wahanane angin kang tetep ana ing jero bae, nupus iku tetalining rahsa, dumunung ana ing puat kang aputih, iya iku ana ing woding jejantung, wahanane dadi angin kang metu angiwa anengen saka badan, pakartine anglimputi sakaliring jasmani rochani.<br /><br />Yen wus kumpul dadi sawiji, napas, tanapas, anpas, nupus, mau banjur katarik manduwur kang alon, leren tinata ana ing maligening Bait al Makmur iya iku ing sirah, ing kaciptaa licin dadi nukat gaib, tegese saliring jasmani kaciptaa luluh dadi banyu, nuli kaciptaa luyut dadi nyawa, nuli kaciptaa lenyep dadi rahsa, nuli kaciptaa layat dadi cahya gumilang tanpa wewayangan ing kahanan kita kang sajati.<br /><br />Yen wis mangkono, erah kita parad banjur karasa walikaten salir anggaotaning sarira kabeh andadekake : netra bawur, talingan pengleh, grana mingkup, lidah mangkeret, ing wekasan cahya surem, swara sirna, ora bisa aingali, miyarsa, angganda, amirasa, amung kari cipta bae, amarga wis kinukud tataning sarengat, tarekat, hakekat, makrifat : * Sarengat iku lakuning badan, dununge ing lesan, * Tarekat lakuning ati, dununge ing grana, * Hakekat lakuning nyawa, dununge ing talingan, * Makrifat lakuning rahsa, dununge ing netra, mula sejatining sarengat iku lesan, tarekat : grana, hakekat : talingan, makrifat netra, kaupamakake bawure kaca wirangi, utawa esating banyu zamzam, nuli pamiyarsaning talingan, kaupamakake rentahing godong sajaratilmuntaha, utawa kangsrahing hajar al aswad, nuli panggandaning grana, kaupamakake guguring wukir ikrap, utawa rubuhing ardi tursina, nuli pamirasaning lesan, kaupamakake bubrahing wot siratalmustakim, utawa rusaking ka’batullah, ing kono banjur karasa nikmat saliring anggaotaning sarira kabeh, angluwihi nikmating sanggama ing nalika metokake rahsa, amarga awit binuka kijabing Pangeran, waktuning sirnaning warana banjur katoning jaman karamatullah, tegese jaman kamulyaning Allah, pangrasane ing dalem adam kukumi tekane sakehing cahya kang pada anglimputi ing Dzating karaton, ing nalika iku amung amustiya pepuntoning tekad kang santosa, kaya ngibarating aksara Alif kang ajabar jer apes, unine : A, I, U, tegese : Aku Iki Urip, banjuranyipta brangta ing Dzat, supaya aja kengetan marang kang keri kabeh.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-63556666749661611802009-04-03T21:50:00.000-07:002010-08-20T21:51:30.737-07:00BABARING WIRIDBABARING WIRID<br />KANG AMAWA MURAD MAKSUD<br /><br />Iki Babaring Wirid kang amawa murad saha maksude pisa, angiras minangka bebukaning hidayat kang dadi pituduhe dununging ngelmu makrifat kabeh, wiyose asal saka ing Dalil, Hadis, Ijmak lan Kiyas.<br />Tegese Dalil, anuduhake pangandikane Allah.<br />Tegese Hadis, anyaritakake wewulanging Rasulullah.<br />Tegese Ijmak, angumpulake wewejange para Wali.<br />Tegese Kiyas, amencarake wewarahing para Pandita/Ulama.<br /><br />Kabeh iku dadi pambukaning kekeran kang amedarake rahsa gaib sajatining ngaurip, supaya waskita ing uripe, lestariya urip ing awal akir, dene apesing kawula manawa tumeka ing janji, amung bisaa, waskita ing sampurnaning sangkan-paran, kamulyaning kahanan jati ana ing jaman kalangengan, aja nganti korup marang panasaran.<br /><br />Mungguh kang dadi wijining ngelmu makrifat anurut kekiyasan saka, Hadis pangandikane Kanjeng Nabi Muhammad, kang kawejang marang Sayidina Ali, kinen angestokake Ananing Dzat kang kasebut ing Dalil sapisan, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, kawisikake ing talingan kiwa, kaya ing ngisor iki jarwane :<br /><br />“Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dingin iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Sajatining Dzat Kang Amaha Suci, anglimputi ing sifatingsun, anartani ing asmaningsun, amratandani ing afngalingsun”.<br /><br />Mungguh dununge mengkene :<br /><br />Kang angandika Sajatining Dzat Kang Amaha Suci iku iya urip kita pribadi, sayekti katitipan rahsaning Dzat Kang Agung. Anglimputi ing sifat iku iya rupa kita pribadi, sayekti kawimbuhan warnaning Dzat Kang Elok. Anartani asma iku iya nama kita pribadi, sayekti kaaku pasebutaning Dzat Kang Wisesa. Amartandani afngal iku iya solah bawa kita pribadi, sayekti anelakake pakartining Dzat kang Sampurna. Mula bebasane wahananing Dzat iku anyamadi sifat, sifat iku anartani asma, asma iku amratandani afngal, afngal iku dadi wahananing Dzat.<br /><br />Dene Dzat, enggone anyamadi sifat iku upama kaya madu kalawan manise, yekti ora kena kapisahena.<br /><br />Dene sifat, enggone anartani asma iku upama kaya srengenge lawan sorote, yekti ora kena yen kabedakena.<br /><br />Dene asma, enggone amartandani afngal iku upama kaya paesan (kaca), kang angilo lawan wewayangane, yekti saulah bawaning kang angilo, wewayangan mau melu bae.<br /><br />Dene afngal, enggone dadi wahananing Dzat iku upama kaya samudra lawan ombake, yekti wahananing ombak anut saka rehing samudra.<br /><br />Dadi sejatine, kang anama Dzat iku, tajalining Muhammad, sajatine kang anama Muhammad iku, wahananing cahya kang anglimputi ing jasad, dumunung ana ing urip kita, iya iku urip dewe ora ana kang anguripi, mula kawasa aningali, amiyarsa, angganda, angandika, angrasakake saliring rahsa, iku saka kudrad kita kabeh, tegese mengkene, Dzating Pangeran Kang Amaha Suci iku enggone aningal saka angagem netra kita, enggone amiyarsa iya angagem ing talingan kita, enggone angambet iya angagem ing grana kita, enggone angandika iya anggagem ing lesam kita, enggone angrasakake saliring rahsa iya angagem pangrasa kita, aja mawa uwas sumelang ing galih, sabab wahananing wahya dyatmika iku wis kasarira, tegese, lair batining Allah wis dumunung ana ing urip kita pribadi, manawa ing bebasane tuwa Dzating Manungsa karo Sifating Allah, awit dadining Dzat iku kadim azali abadi, tegese dingin dewe nalika isih awang-uwung salawase ing kahanan kita, dadining sifat iku kudusul alam, tegese anyar ana kahananing alam dunya, ananging pada tarik-tinarik tetep-tinetepan, samubarang kang anama Dzat iku yekti dumunung ana ing sifat, sakaliring kang anama sifat iku sayekti kadunungan ing Dzat kabeh.<br /><br />Dene mungguh ing urut-urutane dumadining Dzat sifat iku ana wahanane, kasebut ing Dalil kapindo, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, mengkene jarwane.<br /><br />”Sajatine ingsung Dzat Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing kodratingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning afngalingsun kang minangka bebukaning IraDzatingsun, kang dhingin Ingsun anitahaken kayu aran Sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam Adamm akdum azali abadi, nuli cahya aran Nur Muhammad, nuli kaca aran Mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh Idlapi, nuli damar aran Kandhil, nuli sesotya aran Darah, nuli dhindhing jalal aran Kijab kang minangka warananing Kalaratingsun”.<br /><br />Mungguh dununge mangkene :<br /><br />1. Sajaratuyakin, tumuwuh ing sajroning alam Adam makdum azali abadi, tegese kayu sajati dumunung ing jagad sunyaruri, isih awang-uwung salawase ing kahanan kita, iku hakekating Dzat mutlak kang kadim, tegese sajatining Dzat kang amasti dingin dewe, iya iku Dzating atma, dadi wahananing alam Ahadiyat.<br /><br />2. Nur Muhammad, tegese cahya kang pinuji, kacarita ing Hadis, warnane kaya manuk merak, dumunung arah-arahing Sajaratulyakin, iku hakekating cahya kang ingaku tajalining Dzat, ana sajroning nukat gaib, minangka sifating atma, dadi wahananing alam Wahdat.<br /><br />3. Miratulkayai, tegese kaca wirangi, kacarita ing Hadis dumunung ana sangareping Nur Muhammad, iku hakekating pramana, kang ingaku rahsaning Dzat, minangka asmaning atma, dadi wahananing alam Wahidiyat.<br /><br />4. Roh Idlafi, tegese nyawa kang wening, kacarita ing Hadis asal saka Nur Muhammad, iku hakekating sukma, kang ingaku kahananing Dzat, minangka afngaling atma, dadi wahananing alam Arwah.<br /><br />5. Kandil, tegese diyan tanpa geni, kacarita ing Hadis awarna susetya kang mancur mancorong gumantung tanpa cantelan, ing kono kahananing Nur Muhammad, sarta enggon pakumpulaning roh kabeh, iku hakekating angen-angen, kang ingaku wewayanganing Dzat, minangka embaning atma, dadi wahananing alam Misal.<br /><br />6. Darah, tegese susetya, kacarita ing Hadis adarbe sorot mancawarna, pada kanggonan malaekat, iku hakekating budi, kang ingaku pepaesaning Dzat, minangka wiwaraning atma, dadi wahananing alam Ajsam.<br /><br />7. Kijab, ingaran dinding jalal, tegese warana kang agung, kacarita ing Hadis metu saka susetya kang amanca warna, ing nalika mosik anganakake uruh, kukus, banyu, iku hakekating jasad, kang ingaku warananing Dzat, minangka sesandanganing atma, dadi wahananing alam Insan Kamil.<br /><br />Mungguh pratelane saka Ijmak Kiyas, pepangkataning dinding jalal, kang awarna uruh, kukus, banyu, mau pada dadi anelung warana, kasebut ing ngisor iki.<br /><br />Kang dingin, uruh, amatokake telung pangkat, 1. Kijab Kisma, dadi wahyaning jasad ing jaba, kaya ta kulit, daging, lan sapanunggalane, 2. Kijab Rukmi, dadi wahyaning jasad ing jero, kaya ta utek, manik, ati, jantung, lan sapanunggalane, 3. Kijab Retna, dadi wahyaning jasad kang alembut, kaya ta mani, getih, sungsum, lan sapanunggalane.<br /><br />Kang kapindo, kukus, ametokake telung pangkat, 1. Kijab Pepeteng, dadi wahananing napas lan sapanunggalane, 2. Kijab Guntur, dadi wahananing pancadriya, 3. Kijab Geni, dadi wahananing napsu.<br /><br />Kang kaping telu, banyu, ametokake telung pangkat, 1. Kijab Embun / Banyu Urip, dadi kahananing sukma, 2. Kijab Nur Rasa, dadi kahananing rahsa, 3. Kijab Nur Cahya kang luwih padang, dadi kahananing atma.<br /><br />Kabeh iku warananing Dzat pada dumunung ana Insan Kamil, tegese kasampurnaning manungsa, uja tuwas sumelang maneh, sabab kahananing bale srasy, kursi, lochil-makful, kalam, taraju, wot siratal mustakim, swarga, naraka, bumi, langit, saisen-isene kabeh iku, wis kawengku ana saroning warana, sinamadan dening Dzat kita Kang Maha Agung, gumelar dadi kaelokaning sifat kita kang esa, anartani ing wasaning afngal kita kang sampurna, pratelane kaya ta, ing nalika Kang Amaha Suci karsa amujudake sifate, ingaran Adam, asal saka anasir patang prakara, 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku kahanane kasebut ana ing daliling telu, saka pangandikaning Pangeran Kang Amaha Suci, mangkene jarwane :<br /><br />“Sajatine manungsa iku rahsaningsun, lang Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake Adam, asal saka ing anasir patang prakara, 1. Bumi, 2. Geni, 3. Angin, 4. Banyu, iku dadi kawujudaning sifatingsun, ing kono Ingsun panjingi mudah limang prakara, 1. Nur, 2. Rahsa, 3. Roh, 4. Napsu, 5. Budi, iya minangka warananing wajahingsun Kang Amaha Sudi”.<br /><br />Mungguh dununge mangkene :<br /><br />Mudah iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng, kacarita ing Hadis panjinging mudah limang prakara mau, wiwit saka ing embu-embunan, leren ana ing utek, banjur tumurung marang netra, banjur tumurun marang karna, banjur tumurun marang grana, banjur tumurun marang lesan, banjur tumurun marang jaja (dada), banjur sumarambah ing jasad, sangkepe jumeneng Insan Kamil, mangkono iku kawimbuhan saka karsane Kang Amaha Suci enggone anjenengake maligening Dzat, katata ana ing Baitullah, dadi telung kahanan, iku sajatine minangka kayektening kahanan sawiji-wiji, anandakake kalarating Dzat Kang Agung, Kang Amaha Mulya, langgeng ora kena owah gingsir saka kahanan jati, kasebut ana ing dalil kaping pat, saka pangadikaning Pangeran Kang Amaha Suci, dadi telung ayat, kapratekake ing ngisor iki :<br /><br />Ayat kang kapisan, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al makmur, mangkene jarwane :<br /><br />“Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-makmur, iku omah enggoning parameyaningsun, jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek, kang ana antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, ananging Ingsun Dzat Kang anglimputi ing kahanan jati”.<br /><br />Ayat kang kapindo, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al muharram, mangkene jarwane :<br /><br />”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Bait-al-muharram, iku omah enggoning lelaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning Adam, kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, iya iku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.<br /><br />Ayat kang kaping telu, Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al mukaddas, mangkene jarwane :<br /><br />”Sajatine Ingsun nata malige sajroning Bait-al-mukkadas, iku omah enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana antarane pringsilan iku nutfah, iya iku mani sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran angin Ingsun Dzat kang nglimputi ing kahanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajtining sipat Ingsun”.<br /><br />Manawa wis anampani ing Dalin pangandikane Kang Amaha Suci mangkono mau diwaskita ing galih, duwur dewe iku wahananing nugraha, kahananing kanugrahan, nugraha iku Dzating Gusti, kanugrahan iku sifating kawula, tunggal tanpa wangenan dumunung ana ing badan kita. Dene pratelane kayektening kahanan kabeh mau kasebut ing ngisor iki pituduhane.<br /><br />Kang dingin, anuduhake kang kasebut ing sajroning Bait al makmur, tegese omah kang arane, mangkene dununge sawiji-wiji :<br /><br />1. Sirah, iku wiyose kahananing Bait al makmur.<br /><br />2. Utek, kahananing kanta, anarik wahananing cahya, dadi pambukaning nitya.<br /><br />3. Manik, kahananing pramana, anarik wahananing warna, dadi pambukaning paningal.<br /><br />4. Budi, kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dadi pambukaning pamicara.<br /><br />5. Napsu, kahananing hawa, anarik wahananing swara, dadi pambukaning pamiyarsa.<br /><br />6. Sukma, kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dadi pambukaning panggada.<br /><br />7. Rahsa, kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dadi pambukaning pangrasa.<br /><br />Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al makmur, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak utak, karo iwak manik, sedenge aja nganti angarani polo karo manik, kabare pakolehe kang wis kalakon asring katarima ngelmune.<br /><br />Kang kapindo, anuduhake kang kasebut ing sajroning Bait al muharram, tegese omah kang kalarangan, mangkene dununge sawiji-wiji :<br /><br />1. Dada, iku wiyose kahananing Bait al muharram.<br /><br />2. Ati, kahananing pancadriya, anarik wahananing napsu, dadi wahyaning napas.<br /><br />3. Jantung, kahananing pancamaya, anarik wahananing birahi, dadi wahyaning keketek.<br /><br />4. Budi, kahananing pranawa, anarik wahananing karsa, dadi wahyaning pamicara.<br /><br />5. Jinem, kahananing pangraita, anarik wahananing swara, dadi wahyaning pamiyarsa.<br /><br />6. Suksma, kahananing nyawa, anarik wahananing cipta, dadi wahyaning pangganda.<br /><br />7. Rahsa, kahananing atma, anarik wahananing wisesa, dadi wahyaning pangrasa.<br /><br />Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al muharram, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak ati, karo iwak jantung, sedengane aja nganti angarani angen-angen, kabar pakolehe kang wis kalakon, asring katarima ngelmune.<br /><br />Kang kaping telu, anuduhake kang kasebut sajroning Bait al mukaddas, tegese omah kang sinucekake, mangkene dununge sawiji-wiji :<br /><br />1. Kontol, iku wiyose Bait al mukaddas.<br /><br />2. Pringsilan, kahananing purba, katumusan wahananing birahi, dadi bebukaning asmaranala, iku sengseming ati.<br /><br />3. Mani, kahananing kanta, katumusan wahananing hawa, dadi bebukaning asmaratura, iya iku sengseming sapandulon.<br /><br />4. Madi, kahananing warna, katumusan wahananing karsa, dadi bebukaning asmaraturida, iya iku sengseming pangrungu.<br /><br />5. Wadi, kahananing rupa, katumusan wahananing cipta, dadi bebukaning asmaradana, iya iku sengseming sapocapan.<br /><br />6. Manikem, kahananing suksma, katumusan wahananing pangrasa, dadi bebukaning asmaratantra, iya iku sengseming pangrasan.<br /><br />7. Rahsa, kahananing atma, katumusan wahananing wisesa, dadi bebukaning asmaragama, iya iku sengseming salulut.<br /><br />Wasiyate guru kang amedarake ngelmu Pambukaning Tata malige ing dalem Bait al mukaddas, utamane anglakonana ora karsa dahar iwak pringsilan sapanunggalane, sedengane aja nganti angarani mani, kabar pakolehe kang wis kalakon, asring katarima ngelmune.<br /><br />Ing ngisor iki ana wirayating guru, manawa amedarake rahsaning Bait al mukaddas, ingatase mejang marang pawestri, wenang kiniyas mangkene.<br /><br />Ing nalika Kang Amaha suci karsa anata malige ana sajroning Bait al mukaddas, jumeneng ing bagane Siti Kawa, kang ana sajroning baga iku puruna, kang ana ing antaraning puruna reta, iya iku mani, sajroning mani madi, sajroning madi wadi, sajroning wadi manikem, sajroning manikem rahsa, sajroning rahsa iku Dzating atma kang anglimputi ing kahanan jati. Dene pituduhe mangkene, baga, timbangane kontol, puruna, timbanging pringsilan, ing sabanjure pada karo ingatase amejang marang kakung, enggone amardi supaya pada amardiya ing waskitaning sangkan-paran.<br /><br />Mawa wis waskita, prayoga anetepana kang dadi Santosaning Iman, iya iku sahadat jati, kang kasebut ing dalem batin mangkene jarwane :<br /><br />”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun”.<br /><br />Riwayating guru ana maneh, ingatase amejang marang pawestri, wenang kawuwuhan mangkene jarwane :<br /><br />”Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, Fatimah iku umatingsun”.<br /><br />Manawa wis sumurup surasaning sahadat jati mangkono mau, nuli asahida marang wahananing sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ana ing alam dunya, kaya ta bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu lan sapanunggalane kabeh, pada anaksenana yen kita mengko wis angakoni jumenenge Dzating Gusti Kang Amaha Suci, dadi sifating Allah kang sajati, kasebut ing dalem batin mangkene jarwane :<br /><br />“Ingsun anakseni ing Dzatingsun dewe, satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun, lan anakseni Ingsun, satuhune Muhammad iku utusaningsun, iya sajatine kang Allah iku badaningsun, Rasul iku rahsaningsun, Muhammad iku cahyaningsun, iya Ingsun kang urip ora kena ing pati, iya Ingsun kang eling ora kena lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskita ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun Kang Amurba Amisesa Kang Kawasa Wicaksana ora kekurangan ing pangreti, byar sampurna padang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, mung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kudratingsun”.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-84687527108446658122009-02-03T19:30:00.000-08:002010-08-13T19:46:23.174-07:00- - SERAT KALIMOSODO - -ISLAM<br /><br />Satemene Rukun Iman iku wis ono sajerone Rukun Islam, dadi satemene kang kudu di Imani iku Rukun Islam netepi anane Rukun. Iman, iman marang Alloh, Kitab-e, Rosul-e, Malaikat-e, Dino Wekasan (Kiamat), Qodlo lan Qodar ( Takdir lan Nasib ), kudu biso kawedar ono sajerone lakune Urip anggone .mapakake anane Syahadat-e, Sholat-e, Poso-ne, Zakat-e lan Haji-ne, dadi Rukun Iman iku dadi dasar anane Rukun Islam.<br /><br />1. Iman marang Alloh swt.<br /><br />Iman marang anane Alloh ora amung sadermo nurut anane tembung jare, kudu biso ngudi dewe dununge Alloh, soko anane Syahadate, yen ngucap anane saksi kudu ngerti ope kang dadi wajib dedege manungso kang diangkat dadi Saksi, weruh dewe ope kang disakseni.<br /><br />2. Iman marang Kitab-kitab Alloh.<br /><br />Iman marang Kitab, ora sadermo biso moco lan ngerti terjemahane , kudu biso mawas kang tersurat utowo kang tersirat lan biso mapakake ono Uripe sarto , ngerteni opo kang dimaksud Pangeran nganti ngudunake / jarwakake tuntunan mau, koyo anane blegere Manungso Urip ono Jagad Royo iki, sabab opo kang dadi isine Kitab Al Qur’an Nul Karim mau yo anane isine Jagad Royo iki, sarine dadi Surat Al Fatikah yo anane wujud Manungso sarine Jagad Royo, dadi yen ngaku dedegi Umat Islam tuntunan soko Kanjeng Nabi Muhammad saw, yo kudu gelem ngakoni anane umat liyane kang isih netepi Urip sake anane laku Kitab kang luwih awal, koyo to yen isih ono Umat kang laku uripe netepi Tatanan Slamet sadurunge Kanjeng Nabi Daud as, utowo umate Kanjeng Nabi Daud as, mowo Kitab Jabur, umate Kanjeng Nabi Musa as, mowo Kitab Taurot, umate Kanjeng Nabi Isa as, mowo Kitab Injil, kabeh umat ing ngarsane Pangeran nyuwun anane ke-Slametan-e Urip yo anane Islam, Koyo anane umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, Kang ke- Islam-anne wus kasampurnakake dene Pangeran, dadi kang kasebut Islam mau anane Umat anggone madep marang Pangerane nyuwun keslametan Uripe, biso kaperang netepi anane Ibadah, Sembahyang tan Sholat katerangake koyo ing ngisor iki :<br /><br />a. Ibadah, anane Umat madep marang Pangeran sako anane Perilaku kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Adam as, nganti satekane Umaate Kanjeng Nabi Daud as, koyo ucape para sesepuh biyen ” Ojo mlaku saliyane tindak kang becik ” , yoiku anane Ibadah.<br /><br />b. Sembahyang, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku lan Ucapan (omongan) kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Daud as, nganti satekane Umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, koyo ucape sesepuh biyen ” Ojo among – ngucap saliyane tembung kang apik ” , yo iku anane sembanyang.<br /><br />c. Sholat, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku, Ucapan lan Angen-angen kang katindakake saben dinane nyuwun anane keslametan Dunyo Akhirate, koyo ucape sesepuh biyen ” Ojo duwe angen – angen saliyane angen¬-angen kang becik ” , yoiku anane Sholat.<br /><br />Dadi anane Umat madep marang Pangeran netepi Agomone kabagi anane soko tindak laku saben dinane ono 3 (telu) perkoro koyo ing ngisor iki :<br /><br />1. Ibadah, yo Tingkahlaku dadi dasar Sembahyang ;<br />2. Sembahyang, yo anane Ucapan (omongan) dadi dasar Sholat;<br />3. Sholat, yo anane Angen-angen, jejege sake anane Sembahyang lan Ibadah.<br /><br />Iman marang Kitabe Pangeran iku ono:<br /><br />a. Kitab kang tinulis yo anane Kitab Garing, koyo to Kitab Jabur, Kitab Taurot, Kitab Injil, Kitab AI Qur’an Nul Karim lan sapanunggalane.<br /><br />b. Kitab kang tersirat yo anane Kitab Teles, wujud sake maknane Badan saujud kite.<br /><br />3. Iman marang Rosul.<br /><br />Iman marang Rosul ing kono koyo iman marang Kitab :<br /><br />a. Kang Garing, yo anane Kitab-kitab kang tinulis netepi ope anane lumrahe Urip, koyo kang wis kacaritakake ono sajerone Kitabe.<br /><br />b. Kang Teles, ngerti anane Rosul iku sajatine Roso, sake anane Roso Rasane Urip Pangeran kang katitipake ,marang Umate, kanggo ngudi Jati Diri yo anane dedeg piadege Manungso manunggal marang Roso Urip, yo anane Roso soko Pangeran lan Umate, mengko ono beberane dewe.<br /><br />4. Iman marang Malaikat.<br /><br />Iman marang Malaikat, satemene kudu mangerteni yen Urip ing Jagad Royo iki ora dewe, ning akeh kang podo melu urip koyo bangsane lelembut kang pancen nyoto ono, bebarengan anane Pangeran anggone mujudake manungso, kanggo nguji imane manungso dewe-dewe, yen nganti kaliru bakal melu ono uripe lelembut mau, urip ono sajerone Alam Penasaran.<br /><br />5. Iman marang Jaman Akhir.<br /><br />Iman marang Dino Akhir yo Dino Pesti, yo anane Dino Wekasan, nyoto yen Manungso iku Urip ono Jagad Royo iki amung sadermo mampir ngombe disilihi Sandangan / Pangganggo, kudu ngerti ope kang dadi Wajibe Urip, Sunahe Urip, Makruhe Urip lan Larangan/Pantangan kanggo njejegi anane Urip kang Sampurno, iki wus ono sajerone Rukun Islam.<br /><br />6. Iman marang Qodlo laD Qodar<br /><br />Iman marang Qodlo lan Qodar, kudu mangerteni yen Uripe Manungso iku katulisake ono sajerone Kitab kang nyoto, Qodlo iku katulis ono sajerone Takdir Urip yo anane Tuntunane Urip ono Jagad Royo, sapo kang biso netepi anane Takdir Uripe bakal nemu Mulyo Dunyo – Akhirate, Qodar iku katulis ono sajerone Nasib Urip, jarwane opo kang dialami ono sajerone Uripe, iku wujud soko tindak – laku kang katindakake wus adoh soko anane Tuntunane Urip kang samestine, nyatane yen arep ono opo-opo Pangeran mesti maringi tondo luwih disik, dadi sing Eling biso netepi Takdire, yen Lali yo ono sajerone Nasibe.<br /><br />Maknane Syahadat, yen karasakake ono sajerone netepi Wajibe Urip kang kudu dilakoni krona Alloh, ono sajerone urip ing Alam Dunyo, yen biso kabeberake iku kiro¬kiro koyo ing ngisor iki :<br /><br />a. Urip iku umpamane 100% (satus persen) kuwajiban soko Alloh;<br />b. Syahadat amung ono 95% soko Urip;<br />c. Sholat amung ono 5% ( limang persen ) soko Urip;<br />d. Poso amung ono seperapate soko Sholat;<br />e. Zakat amung ono sapertelone poso;<br />f. Haji amung ono separohne Zakat.<br /><br />Ing ngisor iki ono pituture leluhur menowo dedeg wajibe lan larangan kang dumunung ono Rukun Islam kang kudu di Imani kacaritakake koyo ing ngisor iki :<br /><br />a. Syahadat : Anane Mahayu Hayuning Bawono cilike Keluarga, larangane Madon ;<br /><br />b. Sholat : Anetepi angen angen kang becik,’ ndedegi Pamikiran kang Agung netepi anane Sastro Jendro Hayuningrat kanggo ngudi laku kang becik, larangane Madat ;<br /><br />c. Poso : Kuoso nota Rasane Urip, maknane ngerti manowo Urip amung sadermo nglakoni, yen wistiti wancine ora nggowo opo-opo, kabeh anane soko panyuwunan kanggo nyukupi kebutuhan keluargane kang wujud soko ngunggulake Drajat Urip keluargane, larangane Mabuk ;<br /><br />d. Zakat : Madep mantep marang kuasane Gusti anggone njogo Kanugrahaan lan Rakhmat Pangeran marang barang Pribadi, anane ngluhurake Asmo larangane Main;<br /><br />e. Haji : Tegen anggone mapakake Roso yo anane kumpule Urip Roso Pribadi marang Kuasane Urip Pangerane, kuoso njogo arum gandane asmo ono sajerone Urip, larangane Maling.<br /><br />Yen gelem ngudi kaluhurane Urip ing Alam Dunyo tumekane Alam Akhir koyo unine ayat ”Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanataw wafil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar” , kanti sabenere Manungso kudu mangerteni, lan mapakake opo sabenere Kalimat Syahadat iku, yen ora kaliru koyo kagambarake ing ngisor iki :<br /><br />” Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasuulullah” ketemu anane :<br /><br />1. HU mujudake anane Nur Illahi ;<br />2. Nur Illahi mujudake anane: a. Nur Muhammad,<br />b. Asma Alloh ono 99 Asmo lan Sifat Alloh ono 20 Sifat;<br /><br />3. Nur Muhammad, Asmo lan Sifat Alloh mujudake anane Alam Dunyo saisine, yo anane Kitab AI Qur’an Nul Karim bebere wujud dadi Jagad Royo, sarine Kitab Al Qur’an Nul Karim bebere wujud anane Surat Al Fatikah, Surat Al Fatikah wujude makna dadi Badan Jasmani kito yo anane Jagad Dumadi, kang samestine isine Jagad Royo iku podo lan memper karo isine Jagad Dumadi yo anane Badan Jasad yo Badan Jasmani kito.<br /><br />Ing kono Manungso bakal nemahi anane Urip lan Pati, mangerteni sejatine sopo kang Urip lan sopo kang Mati, biso kaematake koyo fig ngisor iki :<br /><br />U r i p :<br /><br />a. Arahe nunggal nyawiji, anane Tauhit, wujude urip Ikhlas – Sabar, koyo anane napas kito, gegambarane nafas wektu ono sajabane irung iku anane HU, yen wis ono sajerone irung nganti tekan gulu iku anane Allah, bareng ono sajerone dodo lan sateruse iku anane Urip kito soko Kanugrahane Pangeran yo biso kasebut wenange Pangeran wus kanugrahake dadi wenange Umat;<br /><br />b. Sampurnane margo soko ngabekti marang Kaluargane, ngerteni yen Manungso ora biso wujud tanpo anane Bopo-Biyung kang kasebut Pangeran Katon, wujude toto – tentrem kasembadan kabutuhane.<br /><br />c. Mulyane margo wus ketekan kekarepane, wujude biso nunggal marang Jatine Urip soko netepi Pangangen – angene nunggal marang panyuwunan ketemu keluhurane yo mapan ono sajerone Baitullah.<br /><br />PAKUBUMI TANAH JOWO.<br /><br />Ono sawijine tetenger soko Pinisepuh kang ono Gunung Tidar, wujud Tenger Pal pratelon mowo Sandi aksoro Jowo So kang kapendem saduwure Puncak kasebut Paku Bumi Tanah Jowo, mowo aran Nyi Ratu Roro Mangli, aksoro Jowo So mau ono 3 (te1u). aksara, yen ora keliru mowo maksud koyo ing ngisor iki :<br /><br />a. Kang sapisan aksoro SO-l mowo maksud Sastro, kang wujud ono sajerone bebere Ponang Jabang Bayi kang isih ono sajerone kandutan si Biyung iku anane Sastro, yo kasebut Garis Panguripane si Jabang Bayi, anane Sastro sajabane Garis Takdir lan Nasib.<br /><br />b. Kang kapindo aksoro SO-2 mowo maksud Sugih, kang mujudake anane dedege Ratu Rumah Tangga yo Ibu Rumah Tangga unine Sugih, Sugih iku titi wancine Panyuwunane si Biyung wektu ndedege isi kang kasebut Purborangrang kanggo Anak Bojo lan Putune, biso nyukupi kabutuhane kaluargane.<br /><br />c. Kang kaping telu aksoro SO-3 mowo maksud Sandi, kang wujud ono sajerone lambe barange wong wadon, anarik rasane si kakung (lanang) kasebut Sandi yo anane Wadi, asline wujud sake buah Quldi, awal anane Roso kang biso mujudake anunggale Rasane Pangeran. Sandi yo Wadi iku Rasane Pangeran kang dumunung ono Manungso, kudu biso nunggal misah Roso Rasane Manungso kalawan Roso kang kasinungan Rasane Pangeran yo anane Roso Rasane urip Manungso Sejati, njejegi anane Kawulo marang Gustine.<br /><br />Tetengeran mau kasebut aran Nyi Ratu Mangli, aran mau anane tembung sanepan kang mowo maksud kurang luwih Ojo Pangling utowo Lali, manowo Urip sajatine wis ono kang nota lan ngersakake, Manungso among sadermo anglakoni.<br /><br />Sake tatanan mau kite bakal mangerteni awal anane Pangeran anggone mujudake Manungso, netepi :<br /><br />A. Tatanan aksoro SO-1. koyo ing ngisor iki :<br /><br />1. Wektu Wiji sake Bopo lan Biyung ketemu ing keno Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib, yo anane Wiji Kang Samar, kang wujud sake Roso Rasane Pangeran, wujude Wahyu Gaib mujudakake anane ROSO KANG AWAL sake anane Manungso;<br /><br />2. Wiji mau banjur wujud setetes Getih yo anane Rah, ing keno Pangeran ngudunake ROH, yen satemene yo ing wektu iku Pangeran nyiptakake anane Bongso JIN, setetes Getih mau banjur wujud dadi segumpal Getih, ing wektu iku anane Alame SETAN – IBLIS ;<br /><br />3. Soko segumpal Getih banjur wujud dadi Segumpal Daging, ing kono Pangeran ngudunake NYOWO bebarengan mapakake anane Wahyu Doyo Gaib, kang satemene Pangeran nyiptakake anane Bongso MALAIKAT ;<br /><br />4. Sabanjure segumpal Daging wujud gegambaran Bayi soko anane Pangeran mujudakake “Sungging Purbangkoro” kang satemene soko anane Neptu Gaib mujudake anane SASTRO, yen ing Kuno biso kasebut ” Sastro Jendro Hayuningrat; Mahayu Hayu ning Bawono ” , yo anane Dino Pesti ;<br /><br />5. Gegambaran Bayi banjur wujud anane Bayi kang sampurno, ing kono Pangeran mapakake anane ATMO yo anane Alame ASMO, Asmo kang wujud soko anane LELUHURE ;<br /><br />6. Bayi lahir Sampurno, ing kono soko anane Wahyu Panguasane Gaib, yo mudune Kanugrahaane Pangeran kang wujud Sukmo, yo anane Uripe si Bayi, bayi banjur ngekarake derijine nuduhake yen Wahyu Neptu Gaib wus nunggal nyawiji, ing kono asline Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib wus nunggal wujud ono sajerone badan saujude si jabang bayi, satemene Wahyu Nungkat Gaib mau wujud soko anane Nur Muhammad, kang bakal wujud dadi Nurcahyo yo Drajat Urip si Bayi.<br /><br />Yen nurut gegambaran soko Surat Al Fatikah :<br /><br />1. Ayat 1, ayat 2 lan ayat 3 ing kono anane Sukmo-yo Urip nguripi Umate ; soko Pujine Jagad Royo marang Pangeran kerso ngudunake Umate ing Alam Dunyo, krona Welas – Asih kanggo netepi Kratonan Jagad Royo, Manungso Kawenangake dadi kalifah ing Alam Dunyo, manowo sampurno Syahadate, bab iki kang wenang amung Pangeran.<br /><br />2. Ayat 4 fig kono satemene anane Jiwo, soko wujud nunggal nyawiji anane :<br />a. Atmo yo alame Asmo netepi leluhure wektu Urip.<br />b. Nyowo yo alame Tetanduran mujudake Rojo Kayon mapane Bebalungan.<br />c. Roh yo alame Kekewanan, mapan ono Rah – Getih, banjur sumrambah ono Badan Jasmani saujud mowo tandane Urip.<br /><br />Nuduhake manowo soko Kersane Pangeran Manungso iku wewujudan soko nunggale :<br />a. Rah yo alame Kekewanan dadi Rajane Kekewanan.<br />b. Roh yo alame Jin-setan dadi Rajane Jin – Setan.<br />c. Nyowo alame Tetanduran dadi Rajane Rojo Kayon yo anane alame Malaikat.<br />d. Atmo yo alarne LeIuhur, wenang nyarnpumake; patine LeIuhure. Bab iki anane wenange Pangeran kawenangake dadi wenange Umate.<br /><br />3. Ayat 5, ayat 6, ayat 7 ing kono anane Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kanggo mujudake Roso Rasane Manungso, yen antuk Makrifate Al Fatikah bakal mujudake anane Roso Rasane Urip Manungso Sejati, margo soko UIah-Laku Umat anggone netepi Urip ono ing Alam Dunyo, lan biso mangerteni anane ke Dholiman ora nunggal marang Uripe, dadi wenange Umat, kang satemene bebering Roso iku biso kapilah ono:<br /><br />a. Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kang nuntun sawemane Roso.<br />b. Roso kang soko anane Alarn yo anane Roso Sejati – Sejatine Roso.<br />c. Roso kang soko anane Poncodriyo, yo anane Roso soko babahan Howo Songo.<br />d. Roso Kang soko anane Sifat Aluarnah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.<br />e. Roso soko Alam, Poncodriyo Ian Sifat yen kakumpulake banjur biso wujud dadi Roso Rumongso.<br />f. Kabeh Roso mau yen biso katunggalake nyawiji banjur wujud dadi Roso Rasane Urip Manungso Sejati.<br />B. Tatanan Aksoro SO-2 koyo ing ngisor iki :<br /><br />Kang dimaksud Sugih, ing kene netepi anane Uripe Manungso kang wis biso mapakake Janjine Pangeran yo anane Urip Jejodohan, Sarnpumo mapakake Rasane Urip yo mekare ( makrifat ) Syahadate, bakal nemahi Kamulyane Urip yo anane soko bekti marang Wongtuwo sakloron, Morotuwo sakloron wujud dadi anane Pepuden ing lumrahe kasebut Punden Kang samestine ing wektu iku anane Pangeran mujudake dedeg piadege Wahyu Purbojati, Wahyu Purborangrang, Wahyu Purbosari.<br /><br />a. Wahyu Purbojati anane wektu si kakung mujudake dedeg piadeg dadi Kepala KeIuarga.<br />b. Wahyu Purborangrang anane wektu si isteri mujudake dedeg piadeg dadi Ratu Rumah Tangga.<br />c. Wahyu Purbosari wujud soko panyuwunan si Kakung lan isteri marang Pangerane mujudake anane anak lan dunyo brono, kang satemene ono mudune Wahyu Jodoh, Wahyu Drajat, Wahyu Rejeki kang kasebut anane Wahyu Dorodasih.<br /><br />C. Tatanan aksoro SO-3 koyo ing ngisor iki :<br /><br />Kang dimaksud Sandi utowo Wadi iku satemene dedeg piadege ROSO netepi ono Rasane Pangeran, anane Wiji Kang Samar yo Wahyu Nungkat Gaib, mapane ono sajerone Lambe Barange Wong Wadon krona anane buah Quldi, awal anane kedholirnan, kamongko sapo bae yen netepi Among Nunggal Roso ( Senggomo ) yen ora kaawali sake anane Syahadat ing keno iku kalebu laku DHOLIM, kadadeyane bakal anane rusake Jagad Royo, yen kabeh podo ora ngerti maknane Syahadat (isine Jodoh) ono Uripe bakal anane Kiamat.<br /><br />Satemene Sandi lan Wadi mau ono soko Lakune Pangeran, kang Nglakoni Umate, ning ora kabeh laku Among Nunggal Roso kedunungan Sandi lan Wadi, yen kajarwakake mowo maksud Among Nunggal Roso iku satemene laku ono sajerone Sifat Dholim kang samar.<br /><br />I. DINO LAN PASARAN<br /><br />Iki tatanan kang nuduhake arahe Urip kang kawoco sake anane Dino lan Pasaran, kang kawoco soko anane tatanan Neptu Go’ib ono ing Dino :<br /><br />1. Jum’at Wage = Jowo,<br />2. Ahad Lagi = Allah,<br />3. Seloso Pen = Sapo, koyo kasebut ing ngisor iki:<br /><br />I. Jum’at Wage= Jumat : huruf awal Jo =- neptune = 6<br />Neptu = 10 = Wage : hurul awal Wo - neptune = 4<br /><br />Yen huruf awal kajumbuhake muni Jowo, kang mowo maksud hakekate Urip, yo maknane Urip, dadi kang dimaksud Jowo iku yo manungso kang ngerteni Sejatine Urip ing Alam Dunyo, ngerti anane Islam yo Slamete Urip ono ing Alam Dunyo yen ora kaliru ngerti bebere Kitab Layang Kalimosodo yo anane Syahadat kang turun ono Tanah Jowo dadi tuntunan anane serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayuning Bawono, yo tuntunan Urip marang Perilaku kang nuduhake anane Hak lan Wajibe Urip, dadi kang kamaksud Jowo ing kene dudu Pawongan Kang lahir ono ing tanah Jowo utowo Suku Jowo.<br /><br />Jumat Wage, Ahad Legi, Seloso Pen kabeh Neptune yen kagunggung ono neptu 10 anuduhake anane kabeh kang wis Kaciptakake dene Pangeran ing Alam Dunyo iki yen kagunggung nurut kasatuanne yo among ono 10 macem koyo kasebut ing ngisor iki :<br /><br />1. Lemah / tanah 6. Tetanduran<br />2. Banyu 7. Kekewanan<br />3. Geni 8. Jin, Setan, Iblis, lelembut<br />4. Angin 9. Malaikat<br />5. Watu/Bebatuan ( Wesi, emas, 10. Pawongan (Wong, Tiyang, Manungso)<br /><br />Yen Jum’at neptu 6 ing kono anane soko rukun Iman, yo biso kasebut soko anane wadah, dadi Dino iku mujudake wadah, lan yen Wage neptu 4 ing kono anane sedulur 4, yo anane isi, dadi Pasaran mujudake isi. Kaumpakake Wadah iku Jasad, isi iku Rogo, ing kono iku ketemu :<br /><br />- Wadah = Jasad anane Badan Kasar - Jagad Royo – Kitab AI Qur’an<br />- Isi = Rogo anane Badan Alus - Jagad Dumadi – AI Fatikah.<br /><br />Manowo kawoco soko gebyar lan gumelare Jagad salumrahe, ing kono ketemu anane dedeg piadege Wahyune Kaluarga kang dadi isine wujud Wahyu Purbo Jati, Wahyu Purbo Rangrang mujudake anane Wahyu Purbo Sari, kang nyoto wujud soko isine Neptu 6 ono ing Dino Jum’at wujud dadi :<br /><br />1. Kemanten sakloron = 2<br />2. Wongtuo sakloron = 2<br />3. Morotuo sakloron = 2, yen kagunggung kabeh ono 6.<br /><br />yen ing Pasaran Wage wujud soko anane<br />1. Sandang – pangan.<br />2. Papan – Pomahan.<br />3. Anak, Dunyobrono.<br />4. Luhure Kaluarga, yo isine Keluarga Sakinah “ma Warda wa Rohma yo anane Drajat Dunyo – Akhirat.<br /><br />Yo ing isine dino Jum’at Wage iki awal bebere Kalimah Syahadat awal dedeg ¬adage Islam ono sajroning Ati – Nurani Manlingso.<br /><br />Yen Jum’at neptu 6 ing kono anane rukun Iman, lan yen Wage neptu 4 ing kono ugo biso kagambarake cagak 4 utowo awal anane anasir 4 perkoro yo anane Bumi, Banyu, Geni lan Angin, anane Manungso manembah marang Pangerane soko Percoyo – Yakin – Iman marang Rukun Iman :<br /><br />1. Allah, ono anane, kabeh wujud soko Kekarepan – Kehendak kang Nyoto Tulisane.<br />2. Kitab, a. ganng : a. Kitab Jabur - Nabi Daud as.<br />b. Kitab Taurot - Nabi Musa as.<br />c. Kitab Injil - Nabi Isa as.<br />d. Kitab Alqur’an - Nabi Muhammad saw.<br />b. teles : a. Garis Takdir, katulis among sepisan ora kaambalan maneh.<br />b. Garis Nasib katuIis soko Tindak Laku, Pakaryan lan obah – musike Kekarepan Urip Manungso.<br /><br />3. Nabi Lan Rasul<br />4. MaIaikat, Jin – setan<br />5. Kiamat, Hari Akhir<br />6. Qodlo – Qadar, anane Takdir -Nasib wujude hukum Sebab – Akibat.<br /><br />Cagak 4 wujud soko Anasir awaI, yoiku Lemah/Tanah, Banyu, Geni lan Angin kang nuwuhake anane :<br />a. LemahjTanah netepi Sifat Aluamah, anane Sabar – Narimo, wujud uripe soko kagowo Serakah<br />b. Banyu netepi Sifat Mutmainah, anane Adil, timbang Pamikirane, wujud uripe soko kagowo Iri – Drengki.<br />c. Geni netepi Sifat Amarah, anane Perkoso, anduweni Doyo – kekuatan, wujud uripe soko kagowo Murko – Nesu.<br />d. Angin netepi Sifat Supiyah, anane Adek Pribadi – Mandiri, wujud uripe soko kagowo Sombong – Angkuh.<br /><br />Kaumpamakake Iman iku Kusir, Cagak 4 (papat) iku Jaran 4 (papat), kang playune nurut kekarepane dewe-dewe, sing kelir ireng playune ngalor tok, sing kelir putih playune ngetan tok, sing kelir abang playune ngidul tok, sing kelir kuning playune ngulon tok, Bendi-ne wujud soko anane Badan, Playune wujud soko Ragane tujuane netepi anane kekarepan.<br /><br />Dino Jum’at dadi dino kekeran poro Nabi – WaIi, nyoto soko anane Sholat sunat Jum’at, ing kono margo soko Kanugrahane Pangeran Kang Moho Agung, kanggo Umate supoyo gelem Eling marang anane Tatanan Urip Bebrayan ing Alam Dunyo.<br /><br />II. Ahad Legi : Ahad : huruf awal A - Neptune = 5<br />Neptu 10 : Legi : huruf awal LA - Neptune = 5<br /><br />Yen huruf awal kajumbuhake muni Allah yo anane Pangeran, manungso wajib ngawruhi sopo sejatine Pangerane, ing dino Ahad Legi iki anane awal mbukak kawruh kang wis kasebut ono sajrone wawasan Ahad Legi.<br /><br />Ahad neptu 5 gegambaran soko sedulur Papat ke Limo Pancer, wujud nunggal dadi Badan Kasar, kasebut njobo.<br /><br />Legi Neptu 5, ono anane njero yo Badan Alus wujud soko anane :<br />1. Roso : soko Sifat Aluamah, Mutmainah, Arnarah, Supiyah, lsp.<br />2. Roh : soko manunggale Uripe Kekewanan.<br />3. Nyowo : soko manunggale Uripe Kekayonan yo Tetanduran.<br />4. Atmo : soko Gondo Arum Asmane ( sampurnane Budi – Luhur / Ahlak yang terpuji Umat ) alame Asmo Leluhure.<br />5. Sukmo : soko Kanugrahane Pangeran.<br /><br />Ing ngisor iki satemene anane tatanan Roso kang dumunung ono sajrorie Badan saujude Manungso :<br /><br />A. Roso : 1. Rasana Pangerane.<br />2. Roso Sejati yo Sejatine Roso, Roso kang wujud soko manunggale Roso Rasane Jagad Dumadi marang Roso Rasane Jagad Royo koyo to:<br />a. Uyah iku asin, asin durung mesti anane uyah,<br />b. Gulo iku legi, Legi durung mesti anane gulo,<br />c. Asem iku kecut, kecut durung mesti anane asem.<br /><br />3. Roso Poncodriyo<br />a. Pangroso /Pangucap,<br />b. Panggondo,<br />c. Pandulu, d. Pangrungu,<br />e. Pangrobo.<br />4. Roso kang wujud soko anane manunggale Roso Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.<br />5. Rasane Umat yo anane Roso Rumongso kang wujud soko kemampuane Umat anggone nunggalake Roso Rasane Pangeran, Roso Poncodriyo, Roso Sejati – Sejatine Roso, Roso soko anane Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah wujud nunggal ono ing anane Laku yo anane Tingkah Laku Budi Howo saben dinane kang bakal mujudake anane Akhlak kang minulyo.<br />6. Roso Rasane Urip Manungso Sejati, wujud soko nunggal nyawiji anane sakabehe Roso kang kasebut ing duwur mau.<br /><br />Soko kawruh kang wis kabeber ing duwur, kito biso anglakoni nunggalake Rasane Umat wujud nunggal marang Rasane Pangeran sake wujud jumbuhe angen-angen lan nunggale kekarepan.<br /><br />A. Roh : Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, ananne Kanugrahan soko Pangeran kanggo netepi Serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayu Ning Bawono.<br />B. Nyowo : Nyowo anane Uripe Tetukulan / Tetanduran kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.<br />C. Atmo : Atmo iku Alame Asmo, wujud nunggal marang Manungso sake Dino kalahirane lan tetengeran yo Jeneng yo Aran kang sinebut sake Wongtuwane, kang kudu rinekso Manungsane supoyo biso anggondo Arum.<br />D. Sukmo : Sukmo yo anane tetengeran soko Pangerane kanggo papan nunggale Kawulo Gustine.<br /><br />Soko katerangan ing duwur mall manungso biso njupuk Hak sake Pangeran yen manungso mau wis biso nglakoni kang dadi wajibe, yo soko wis biso anglakoni anane Mahayu Hayuning Bawono.<br /><br />Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.<br /><br />Ahad Legi yo biso kawoco A iku anane Ho lan Le iku anane La koyo kasebut ing ngisor iki :<br />1. A – Aku : Aku anane Pangeran, kang mengku anane Kitab Serat Layang Kalimosodo,<br />2. La – Laku : Laku, lakune Manungso ono sajrone bebering Kitab Serat Layang Kalimosodo,<br /><br />Pangeran kang mengku Karep nunggal marang Kekarepanne Manungso mujudake gegayuhan kang kinarepake manungsane.<br /><br />Kang biso nunggalake lan ngerteni wektu Badan Kasar nunggal marang Badan Alus kudu biso netepi anane Wahyu Trias Wiji yoiku sake :<br />a. Tekun, anane nota nafase,<br />b. Temen, anane tingkah lakune,<br />c. Teliti, marang satindak – laku lan obah musike kahanan,<br />d. Awas, marang anane Gudo – Cuba – Pengaruh – Gangguan,<br />e. Sabar, marang sepapadane Urip.<br /><br />Bakal biso ketemu marang Alam Kelanggengane yo Mulyane Urip ing tembe.<br /><br />III. Seloso Pon : Seloso : huruf awal So - Neptune = 3<br />Neptu 10 : Pon : huruf awal Po - Neptune = 7<br /><br />Yen huruf awal kajumbuhake unine Sapo, ing kene mowo maksud Manungso wajib ngawruhi sapo Sejatine Pangerane lan sapo Sejatine Manungso, opo kekarepanane Pangeran kanti sake Kanugrahane Manungso mudun Urip ing Alam Dunyo, opo kang dadi Hak-e Manungso ing Alam Dunyo lan opo kang dadi Kewajibane Urip ing Alam Dunyo.<br /><br />Sejatine Pangeran lan Sejatine Manungso yen ora kaliru kasebut koyo ing ngisor iki:<br /><br />1. Dzat-e Hu ayang-ayangane wujud dadi Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran.<br />2. Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran, ayang-ayangane wujud dadi Nur Muhamnlad yo kasebut Wahyu I Sukmane Jagad Royo.<br /><br />3. Nur Muhammad yo kasebut Wahyu / Sukmane Jagad Royo, ayang-ayangane wujud nunggal dadi Jasad, sake Kanugrahane Pangeran dadi Badan saujud-e Manungso.<br /><br />Koyo wektu Pangeran nyipto anane Kanjeng Nabi Adam as., sake ruwet ¬krenteg-e Urip, Pangeran nyipto anane Ibu Howo kanggo netepi Sampumane Urip Manungso, sake Sampurnane Urip Manungso kanggo netepi Gumelare Urip, Kanjeng Nabi Adam as. lan Ibu Howo kaudunake ono ing Alam Padang yo anane Alam Dunyo soko Kanugrahane Pangeran.<br /><br />Soko kaweruh ing duwur, ing keno ono anane sarine Gumelare Drip kang awal koyo ing ngisor iki :<br /><br />1. Hu netepi anane Alloh, banjur Nur Muhammad netepi isine Jagad Royo, banjur anane Manungso. Ing keno ketemu anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso, yo anane Wadah Panyuwunan.<br />2. Netepi anane Gumelare Urip ing Alam Dunyo turun remuntun ketemu anane, Cukul – Ngendok – Manak, ing kene ketemu ugo anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso.<br /><br />Satemene Pangeran ora anduweni Karep opo – opo sake anane Manungso, amung ing keno ono anane Geter-e Urip, kang katuntun sake anane Serat Layang Kalimosodo, Kanugrahane Pangeran kanggo adeg – dedeg Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Gumelare Urip Manungso.<br /><br />Soko Geter-e Urip lan anane Serat Layang Kalimosodo, ing keno wis wujud anane Hak kang ono anane soko lakune Urip Manungso, katuntunake sake Kanugrahane Pangeran ono ing :<br /><br />1. Serat Al Fatikah, satemene wujud Pasemon sake Lakune Urip Manungso, “kanggo netepi Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Wajib-e Urip koyo ing Serat Sastro Jendro Hayu Ninggrat, Mahayu Hayu ning Bawovo, kang utomo Tapak Laku yo obah – mosike Budi – Howo ono ayat ” Ihdinash shirothol mustaqim ” lan ” Ghairil magdhuubi ‘alaihim wa ladhdhaalliin “, ing Serat Al Fatikah iki ketemu anane ongko 7, soko anane ayat Serat Al Fatikah kang dadi Neptune Pasaran Pon yo ono ongko 7, netepi wujud isine Urip yo Drajat-e Urip ing ngarsane Pangerane.<br /><br />2. Do’a Sapu Jagad ” Robbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanataw wa fil aakhiroti hasanataw wa qinaa ‘adzaaban naar ” ing kene soko isine maksud dadi arahe Urip Manungso ing ngarsane Pangeran, Slamet Dunyo – Slamet Akhirat, soko anane Slamet Akhirat ono ongko 7 kang nyebutake anane Swargo lapis 7 Neroko lapis 7. ongko 7 dadi isine neptu Pasaran Pon, yo anane arahe isine Urip.<br /><br />Soko anane kawruh ing duwur, kang nerangake anane Urip lan Pati, nerangake anane Tatanan Slamet yo anane Tatanan Islam.<br /><br />M a t i<br />a. Papane Ikhlas, ketemu Lego – legowo.<br />b. Sampurnane ono 5 perkoro :<br />1. Sing mati Poncodriyo.<br />2. Kang teko Pesti.<br />3. Kang lunggo Sukmo.<br />4. Kang bali Jasad/Badan/Dzat.<br />5. Kang ditinggal Asmo.<br /><br />c. Sesebutane iku ono 4 perkoro :<br />1. Mati manyasar.<br />2. Mati manyusup.<br />3. Mati manitis.<br />4. Mati manatas.<br /><br />Anane gegambaran mau biso kawoco manowo Pangeran anggone nyipto Manungso ora sadermo ” Kun fayakun “, mbutuhake wektu yo anane Neptu kang jlimet koyo Kersane, amarga Manungso kadadekake Kholifah / Pemimpin ing Alam Dunyo, sapo kang kliru anggone nemtokake anane Urip yo ketemu ke1iru anggone mbalik marang asale.<br /><br />Koyo salah sijine carito kang keno kaematake ono ing ngisor iki :<br />Wektu Kanjeng Nabi Muhammad saw ono sajroning Mi’raj, Pangeran ngandikan soko walike Tirai / tabir,. Tirai / tabir iku anane soko asta / tangan sak kloron, sak temene kang kasebut Tirai / tabir iku sajatine yo anane Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, dunung ono epek-epek tangan kiwo lan tengen, nulis pakaryane, sarto epek-epek suku / sikil kiwo- tengen kanggo nulis tingkah-laku kang katindakake saben dino, supoyo kito Urip ono sajeroning Alam Dunyo iki biso tansah waspodo tan ngati-ati, koyo kang kasebut ing ngisor iki :<br /><br />1. Ati-ati ojo gumampang ndedegi urip ing Alam Dunyo ( Marcopodo – ono tengah), amarga anane urip ing clam dunyo kudu biso njejegi sifat adil, kuwoso ngatur urip pribadi soko bebering Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, supoyo ora gampang keblidru marang samubarang kang durung mesti anane, amarga Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo iku sejatine Tulisan Takdir kito kang wus dikersakake netepi Kamulyane Drip, yen Tulisan Nasib amarga soko kito mburu Nepsu lan keblidru marang samubarang kang durung mesti anane amarga kurang Imane.<br /><br />2. Kang katoto ono tengah sajatine dedeg bebering Kitab Layang Kalimosodo, yo anane Kahanan Drip kito Pribadi ono lakune Urip, lakune Urip nunggalake anane Jagat Royo marang Jagat Dumadi sampurno wujud sajerone ono anane Alam Kelanggengan .<br /><br />3. Amargo anane Urip iku kudu mangerteni Dedeg Urip Pridadi marang Dedeg Uripe Kaluargo kaembanake marang Wujud Gumebyar gelar Cahyone Urip, yo anane Kawibawan kito Pribadi<br /><br />4. Urip Pribadi mangerteni sapo sing njaluk mangan-ngombe, ono kadedayan ope sajrone mangan lan ngombe, sarto wujud ngrungkepi rage dapi ope ?<br /><br />a. Sing njaluk mangan lan ngombe iku anane Aluamah sifate Bumi, kudu biso rumekso Uripe, anane wujud kuoso nyukulake wiji kekarepan lan biso nyukupiopo kang dadi isine pangangen – angen sarto mujudake ono anane Gumelare Urip, mapake anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jalal, yo dedege Gusti Kang Moho Agung, kuoso ngayomi Urip Pribadi, Urip Kaluargane.<br /><br />b. Sing mangan lan ngombe iku anane Mutmainah sifate Banyu, kudu biso ndedegi kuwasane Gusti Kang Moho Adil, ora gampang kasemsem marang ka¬indahane Jagat Royo, ora melik marang barang kang durung mesti Hak anane, mapakake Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jamal, mumpuni gawe ka-¬Elokane Jagat, kuoso note anane wujud sarine pangangen – angen biso gumebyar sanaliko, netepi sampurnane Rogo Sejati kanggo nyukupi kabutuhan Kaluargane.<br /><br />c. Sajroning mangan lan ngombe ono kadadeyan sake anane Amarah sifate Geni, sajrone urip kudu biso mapakake Santosane Urip, ora ambeg siyo marang liyan, biso dadi panunggule bebrayan, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kahar, mumpuni ing gawe mujudake ka-Wisesane Gelare Urip Pribadi kito marang ka-Santosane Urip Kaluargo.<br /><br />d. Sajroning mangan lan ngombe ono wewujudan sake anane Supiyah sifate Angin, sajroning urip kudu biso mapakake dedeg urip pribadi kito kang unggul ing drajat, ora gampang keno owah gingsir ono sajrone gelare urip yo obah ¬musike jaman, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kamal, biso dadi Pepujine Urip ing Jagat Royo soko anggone biso Sampurno note Urip Kaluargane lan Urip Pribadi kito ono ing bebere Kitab Layang Kalimosodo.<br /><br />e. Kumpule ope kang dipangan lan diombe mapakake anane Gondo, sumrambah ono sajrone Rogo nguripi anane Doyo – Roso, mujudake anane nungale niyat ono sajrone angen – angen ngrungkepi mantepe karep, biso wujud gumelar keturutan kang dadi panyuwunane, unggul drajat uripe. Ojo nganti keliru utowo kasemsem marang gumebyare ka-Elokane kekarepan, ben biso Mulyo Urip ing Dunyo Akhirate.<br /><br />Ojo nganti kasemsem marang ka-Indahane wewujudan kang Elo,k asal soko Aluamah, Mutmainah, Amarah tan Supiyah ben ora keduwung ing tembe mburi. Sajatine mangan lan ngombe iku wewujudan awal nunggalake anane Jagat Royo marang Jagad Dumadi supoyo biso karoso Panguasane Jagad Royo ono sajrone Rogo, menowo teller kudu kalarasake marang Nafas netepi anane Geter, Gerak, Pangucap, lan Pangawasane Urip Pribadi kito nunggal nyawiji ono sajrone Urip Sejati.<br /><br />A. Nafas ono ing (tanpo eling)<br />1. Wadug : Uripe Bumi, nguripi Aluamah anane Serakah.<br />2. Ginjel : Uripe Banyu, nguripi mutmainah anane Iri drengki.<br />3. Paru paru : Uripe Angin, nguripi Supiyah anane Sombong jumawa.<br />4. Jantung : Uripe Geni nguripi Amarah anane Sereng murko.<br />5. Ati : Uripe Watu, nguripi kang ngaku Jati Diri anane Pengkuh kaku .<br /><br />B. Nafas lungguh mapan ing ( eling )<br />1. Wadug : Netepi eneng- ening mujudake sifat Dermo Sabar.<br />2. Ginjel : Netepi eneng-ening mujudake sifat Samudono sembarang gawe biso.<br />3. Paru paru : Netepi eneng-ening mujudake sifat Mengku Drip, Ngayomi.<br />4. Jantung : Netepi eneng-ening mujudake sifat Wiseso, Santoso Uripe.<br />5. Ati : Netepi eneng-ening mujudake sifat Kuoso, Sampurno nota Uripe.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-45756576756505249352009-02-02T19:09:00.000-08:002010-08-13T19:44:29.134-07:00- - WEJANGAN URIP - -LABETING KARTIYASA<br /><br />Labeting kartiyasa punika<br />Awit saking pambudayaning gita dursila<br />Rinuwat kanthi mrihatini adrenging karsa<br />Ngubara lan ngumbara miyat dumununging kamitran.<br /><br />Amangsuli prahara bebendu ageng<br />Tan ginayuh hastaning mamilat brata<br />Wosing rasa kang ginubel graito<br />Graitaning karsa, dumununging cipta.<br /><br />Tan ana angkara<br />Tan ana rubeda<br />Tan ana dursila<br />Tan ana tandang duraka.<br /><br />Jejer anyar<br />Gagrak anyar<br />Titah anyar<br />Jagad anyar<br />Sarwa gumebyar<br />Tan ana kang samar<br />Tansah suminar<br />Magilar-magilar<br />Anggelar tulusing nalar.<br /><br />Budi pinilih, luhur angarih-arih<br />Masa wurunga karsaning Jati<br />Hangesti drajading titah<br />Hawya miruda kang kinarsa ing Allah<br />Kabeh saka telenging jangkah<br />Kabeh awit gumelaring pratingkah<br />Kabeh ngemu tulusing ibadah.<br /><br />Ngaminana marang donga kang pinuji<br />Kunjuk Ing Ngarsaning Maha Ji<br />Humangkara<br />Humangrasa<br />Hamungwat trikarsa<br />Hamungwing baskara<br />Hamungwing jumantara.<br /><br />Ngadep Rabbul Ngalamin<br />Welasing Gusti<br />Ingkang Maha Sih.<br /><br />Muliha, muliha, muliha<br />Muliha mring pancardriya<br />Balia mring panaraga.<br /><br />Mawanti-wanti, angati-ati<br />Aja kongsi keri nunggang jung baitagung,<br />Kang dinayung malaikat hambaruyung<br />Dipandhegani dening para nabi<br />Sinangga mring para wali.<br /><br />Kinebakan jamna utami<br />Mulyaning manusa jati<br />Kang pinilih dening Gusti<br />Kapilah saking ngalamipun<br />Awit driyanira mung nyawiji,<br />Kabeh kagungane Allah.<br /><br />Mula aja noleh<br />Mula kudu mantheng<br />Katuta baitagung<br />Nyuwuna palilahe Hyang Agung<br />Awit kuwi Kagunganipun.<br /><br />Aja ninggal trapsila<br />Aja nggugu kersaning pribadi<br />Aja dumeh wus katam kitabe<br />Najan wus apal dongane<br />Najan wus guntur sujude<br />Ning durung kaparingan ridhaning Allah.<br /><br />Mula dudu rapale, ning atine<br />Mula dudu wujude, ning lire<br />Mula dudu jlegere, ning makripate.<br /><br />Poma, sindukara karaning ronsih<br />Sawunging swara sawang suwung<br />Gebyaring gebyur gambyong grambyangan<br />Rinakit, rinasa, rapita, retyakaning radya.<br /><br />Jung, jung baitagung<br />Wus tinata ambaruyung<br />Lir grimis handaridis<br />Re-rep pantiarsaning resep<br />Pindha tilasing atilas tulus.<br /><br />Tlusurana sing tlaten<br />Anggita gitaning suksma<br />Andungkap sunaring padhang<br />Njingglang ngawang-awang.<br /><br />Hamung sawiji kang kinanthi<br />Wahyuning Hyang Widhi,<br />Kang pinuji-puji.<br />Wus pupus barang kalire.<br /><br />WAHDATULWUJUD<br /><br />Wujuding wijil wahyuning wangsit<br />Wiyoto woting waskitha kang winasis<br />Jajaning janma jatining jasad<br />Jumujuging jaladara jantra jinajah.<br />” Wujud keluarnya ilham<br />” melalui orang yang mengerti yang terpelajar<br />” dada manusia sejatinya jasad<br />” menuju ke alam jajahan<br /><br />Amrih amining amaranti<br />Amina mastani mantra mastadi<br />Samudananing samudra samun<br />Sesongaran sasat susantiningrum.<br />” supaya perkataanya merata<br />” boleh dikatakan mantra mastadi<br />” berkedok berlindung di samudra ( mungkin mengatasnamakan kekuatan mayoritas)<br />” sombong/ugal ugalan menjadi pedomannya<br /><br />Mungguh asmaning mung kanggo mupus<br />Dipeh prana nalika daruna dumateng<br />Tebining dhandhaka anyatrani<br />Lubering ludira anebaki daruni.<br />” namanya hanya untuk meredam<br />” cuma pas bisa melihat waktu kesedihan datang<br />” luasnya “dhandhaka” menyertai<br />” lubernya darah memenuhi hati/kesedihan<br /><br />Najan hamung kinanthi sih utami<br />Awit diniyati tan kenging rinuyit,<br />Anggraitaa murih wekasanipun jrih<br />Muncrat handalidir mring bantala.<br />” walau hanya dengan kasih sayang<br />” sudah diniyati sebagai pegangan<br />” merasalah supaya akhirnya takut<br />” menyembur membasahi/mengaliri bumi(sujud syukur)<br /><br />Tiba grahaning Hyang Suksma<br />Memitri awit saking nggenira<br />Njangkah tan angoncati<br />Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.<br />” tiba ke tempat Hyang Suksma<br />” melihat karena keteguhanmu<br />” yang berjalan tanpa meninggalkanNya<br />” keluarnya “rohul kudus” supaya dapat berguna<br /><br />Jinantra ontran-ontran kang amurwat<br />Murwating angkara murka<br />Nabrak, nunjang, ngobok-obok<br />Nggelar kadurjanan<br />Ngobrak-abrik tatanan<br />Salang-tunjang<br />Gede-cilik tanpa wirang.<br />” pada jaman kerusuhan yang tak lazim<br />” lazimnya angkara murka<br />” sengaja menabrak, menggeser, mengobok obok(tatanan)<br />” mengadakan hal hal yang bertentangan dengan adat (maling,jambret dsb)<br />” mngorak abrik tatanan yang berlaku (hukum adat)<br />” berebutan<br />” tua muda tak punya malu<br /><br />Ana jalma mimba Gusti<br />Ngaku Allah sinarawedi<br />Ngendi ana titah padha karo Gusti<br />Kadunungan iblis pinasthi.<br />” ada manusia mengaku aku Tuhan<br />” dan mengaku sodara Allah<br />” mana ada manusia(ciptaan) mengaku sama dengan Tuhan<br />” dapat dipastikan itu iblis/setan<br /><br />Manunggal kuwi ‘ra teges sami<br />Hamung celak raket ring Gusti<br />Hamung Allah kang pinuji-puji<br />Ya mung jalma najan wali.<br />” bersatu bukan berarti sama<br />” hanya dekat dengan Tuhan<br />” hanya Tuhan Allah yang patut disembah<br />” semua hanya manusia walau wali sekalipun<br /><br />Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi<br />Wani nranyak mring Malikul’alam<br />Wus madhani Sing Gawe Urip<br />Dudu kuwi wahdatulwujud.<br />” minta ampunan kepada Tuhan<br />” karena berani kepada sang Pencipta Alam<br />” sudah menyamakan diri dengan Tuhan<br />” bukan itu arti wahdatulwujud<br /><br />Sing bener kuwi ya mung aran titah<br />Ora samar angambrah-ambrah<br />Aja nerak hukume lumrah<br />Kawistra ora narimah.<br />” yang benar itu cuma dapat disebut hamba<br />” yang tidak kuatir yang berlebihan<br />” jangan melanggar hukum alam<br />” nanti akan terlihat tidak bersyukur<br /><br />Duh Gusti Kang Maha Lestari<br />Mugi kersa paring lubering pangastuti<br />Kang samya memesu ring karsaning Gusti<br />Najan sasarsusur yekti.<br />” ya Tuhan yang Maha Langgeng/tak pernah mati<br />” smoga sudi memberi limpahan Rahmat<br />” kepada orang yang mendekatkan diri melaksanakan kehendakMu<br />” walau masih banyak salah dalam menjalaninya<br /><br />WAHDATULWUJUD<br /><br />Wujuding wijil wahyuning wangsit<br />Wiyoto woting waskitha kang winasis<br />Jajaning janma jatining jasad<br />Jumujuging jaladara jantra jinajah.<br />Amrih amining amaranti<br />Amina mastani mantra mastadi<br />Samudananing samudra samun<br />Sesongaran sasat susantiningrum.<br />Mungguh asmaning mung kanggo mupus<br />Dipeh prana nalika daruna dumateng<br />Tebining dhandhaka anyatrani<br />Lubering ludira anebaki daruni.<br />Najan hamung kinanthi sih utami<br />Awit diniyati tan kenging rinuyit,<br />Anggraitaa murih wekasanipun jrih<br />Muncrat handalidir mring bantala.<br />Tiba grahaning Hyang Suksma<br />Memitri awit saking nggenira<br />Njangkah tan angoncati<br />Tibaning Rohul Kudus amrih miranti.<br />Jinantra ontran-ontran kang amurwat<br />Murwating angkara murka<br />Nabrak, nunjang, ngobok-obok<br />Nggelar kadurjanan<br />Ngobrak-abrik tatanan<br />Salang-tunjang<br />Gede-cilik tanpa wirang.<br />Ana jalma mimba Gusti<br />Ngaku Allah sinarawedi<br />Ngendi ana titah padha karo Gusti<br />Kadunungan iblis pinasthi.<br />Manunggal kuwi ‘ra teges sami<br />Hamung celak raket ring Gusti<br />Hamung Allah kang pinuji-puji<br />Ya mung jalma najan wali.<br />Nyuwun ngapura mring Hyang Widhi<br />Wani nranyak mring Malikul’alam<br />Wus madhani Sing Gawe Urip<br />Dudu kuwi wahdatulwujud.<br />Sing bener kuwi ya mung aran titah<br />Ora samar angambrah-ambrah<br />Aja nerak hukume lumrah<br />Kawistra ora narimah.<br />Duh Gusti Kang Maha Lestari<br />Mugi kersa paring lubering pangastuti<br />Kang samya memesu ring karsaning Gusti<br />Najan sasarsusur yekti.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-38175048143731062812009-02-01T19:11:00.000-08:002010-08-13T19:44:05.223-07:00- - WIJINING URIP - -Wimbaning rasa kang aneng jro ati, wimbaning katongton, pan rumongso anuksma rasane, ing tingal sih rasane kang urip, kumpule dumadi, raos sakahetung.<br />Mapan aling wijining ngaurip, wijine sawiyah, enur suhut kalawan ngelmune, wadah ira geni lawan angina, ping kalihe malih, siti lawan banyu, iya iku tunggale sawiji sampurnane dadi wong.<br />Tiningalan iku ing lair ira, iya iku rasa banyu urip, kuwat ira angina, geni karep nepsu iku ingkang amadahi, dadinira awor, iku pada lan lair tamtune.<br />Rasa cahya manjing marang ngelmi, wiji kang duweni, tan kena cinaturan ingaranan sampurnaning urip, iku dipun cernoh, aja sira karem donya bae, pan weruh wawekasan urip, cahya rasa urip iku dipun weroh .<br />Sipat iku kang sira tingali marganipun weroh, iyo apan iku ing dadine, yenta weruh sira rupa jati, nggon ira aurip, iku misih bingung .<br />Iya mengko sira sun tuturi tegese kang raos, aja sira tingal jaba bae, upamanira yen sira guling lamun sira ngimpi , sapa kang andulu raragane pan kira aguling, ing jero miraos wan loro tunggale, nora pisah pan ora atunggil, pilih kang ngawruhi, lir kaca dinulu .<br />Jroning kaca sira tingali, tanpa dununging nggon, iya uga among sira dhewe kaca iku umpamane jisim, kalimputan urip, sukma kang ndulu, rasa iku kang wujut jati, katingal kang katon, sirno jisim mulih ing asale, mapan asalira duk dumadi, bhumi angina geni, kaping patte banyu.<br />Jisim alus tan kena ing pati, iyo iku erroh, among rasa nikmat lan larane, tandya wangenan nggon ira aurip.<br />Lan sakehe kang jro nala tingali sayekti, kalbunira nyatane Hyang Widi, kakelir sayekti, megane pandulu.<br />Umpamane lir sare lan estri tingal ira raos, sumrah kabeh ing raga nikmate, suka nikmat tan wonten kuwatir, tan ngraos darbeni, sedaya pan kumpul.<br />Lamun sira yen arsa aguling, tan dyanen sayektos, napas ira pan iku yektine, sarta lamun sira manjing, lampahe aririh, rahmat kang tumurun.<br />Liyaping netra kang rohmat wus manjing, ing jro manah awor, dadya lali ing kanikmatane, marma datan anget raga iki, tanwruh kula gusti, dudu iyo dudu.<br />Iya iku al bransanusiri, Mukhammad rasengo, sira kawiti kang sun dadekake, pan wiji sekalir dumadi, saking ing sireki, sira saking ingsun.<br />Dipun reksa saranaken urip, pasrahna Hyang Manon, dipun nggono rasa sarirane, dipun awae nggonira ngulati, kang trus lawan ngelmi, pituduh ing guru.<br />Sabdaning gurunen ngati-ati, anuta ing pakon, sarta iklas ing pangidhep kaberah, pati urip datan den rasani, sunya lawan lawan singgih, pan ora kaetung.<br />Mengko padha sun tuturi malih, brahisih kang katon, kweruhana, ya ing dadine, pan ing raga dununge ing ati, ati ingkang putih, arane pausuh.<br />Patang prakara dadine kang isih, pan sanes kang enggon, ingkang dhingine jantung nggone, kaping kalihe limpa sadyang ati, tyaspangasih, kaping tiganipun.<br />Ingkang welas sarta awor asih, iku ning papusuh, tulung tinulung ing kono kuwi, tyas ing sih lakune dhemeni, tresna lan kapengin iku nggonipun.<br />Ingkang wonten jejantung puniki, kasmaran ingkang wong, iya supe marang liyane, kerut sedyane sih lan rasmi, rasaning sih, sadaya kapengku.<br />Ingkang kekalih sih dunya kang katon, lana reremen kalawan tunggale, budi piker metu ing jro ati, sabar lileng pati, donya tan kaetung,<br />Kaweruhana ja sira lali iku kang weruh, ing marmane aling ing paberane, barang cinta pangucap ing osik lawan esir, ya saking Hyang Agung.<br />Pan tarima lakune kang yekti, iku imaning wong, ingkang padhang nora pethenge, iya padhang tegese pan eling, nora kena lali, iku dhikir Ya Hu.<br />Erapipun kang dhikir puniki, napas manjing wiwitane panjinge napas, wedalipun napas Hu kang kapuji, ing sajeke urip, melek lawan turu.<br />Tegese Ya hu Allah kang urip, kang mubeng tumuwoh, sakabeh kang gumelar, urip langgeng ingkang Maha Suci, aniyata dhikir, ing sakjroning kalbu, iya iku sampurna kang urip, dadene papan awor, awor cahya kang padhange linge, pan ciptanen dadine sawiji, iya ruh ilafi, dadine jeng rasul.<br />Nalikane sira angabekti, rumongsaha kang awor, tuwin sira dhuk dhikir kalane, pan ing kono nggoning kang ning, raganira iki sirnaning pandulu liyaping netra.<br />Kebut ing ati akbarira awor, petenging tyas tan aling ragane, Wimbuh ira katingal jro ati mring kang Maha Suci, Sih ira Hyang Agung.<br />Datan mawi lantarane malih, Sih Pangeraning wong, Iya rahmatira iku kabeh, Yakna rahmat Sih tumurun tan elingling diri, tansah manah liwung.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-71954178448361058132009-01-01T20:47:00.000-08:002010-08-26T20:53:15.297-07:00SEKILAS SEJARAH MAKAM SYEKH QURO<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBo02xZgKmAt7MyEYrrR4PaclIUn_QcXQZl15rba5xy_L3HCaw6sU_AaXpyS4QKXbSW4pYZSeTTvTZ2yoWHE4SusnpdnMLrU4VWxl7HA30pUhXQZKBaf2bJw-vjBuRtJ5blhnXov4Po0QV/s1600/Makam+Syech+Quro.bmp"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 240px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBo02xZgKmAt7MyEYrrR4PaclIUn_QcXQZl15rba5xy_L3HCaw6sU_AaXpyS4QKXbSW4pYZSeTTvTZ2yoWHE4SusnpdnMLrU4VWxl7HA30pUhXQZKBaf2bJw-vjBuRtJ5blhnXov4Po0QV/s320/Makam+Syech+Quro.bmp" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5509932607700617890" /></a><br />Makam Waliyullah Syekh Qurotul’ain,terletak di Kampung Pulobata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Karawang.bangunan yang berdiri megah itu,pada saat sekarang menjadi tempat berkunjung <br />Para penziarah dan PARIWISATA RELIGIUS dari berbagai pelosok Nusantara.mereka datang,khususnya setiap Jum’at malam Sabtu atau sering,orang-orang menyebutnya istilah Sabtuan.Karamat Pulobata adalah,Situs sejarah Isalam yang merupakan asset kabuapten karawang dalam bab Paraiwisata dan menjadikan suatu aset penting dan berharga bagi desa Pulobata yang utama.<br /> <br />Konon kabarnya,Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin.beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ualam yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya.Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah,penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra.dan Siti<br />Fatimah putri Rosulullah SAW.<br /><br />Pada waktu itu tanah Jawa masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran dan masih menganut agama Hindu,dengan seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang,Kekuasannya pabu tersebut meliputi wilayah Karawang.sebelumnya datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi,Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa berawal ,lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon.disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati,yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan, oleh masyarakat sekitar.mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.<br /><br />Penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa,rupanya sangat mencemaskan raja Pajaran Prabu Anggalarang,sehingga pada waktu itu,penyebaran agama Islam agar dihentikan.Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro.namun,kepada utusan dari Raja Pajaran <br />yang mendatangi Syekh Quro,beliau mengingatkan,meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya tapi kelak, dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah.<br /><br />Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa,di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang,untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro.Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya,dengan menggunakan Perahu dagang.dan serta didalam rombongan adalah,Nyi Mas Subang Larang,Syekh Abdul Rahman.Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.<br /><br />Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum,yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran,akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang. <br /><br />Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut,Pura Dalem.mereka masuk Karawang sekitar 1416 M.yang mungkin dimaksud Tangjung Pura,dimana kegiatan Pemerintaahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem..Karena rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan,sehingga aparat setempat sangat menghormati dan,memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.Setelah beberapa waktu berada di pelabuahan Karawang,Syekh Quro menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ).dari urainnya mudah dipahami dan mudah diamalkan,ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.<br /><br />Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya,Nyi Subang Larang,Syekh Abdul Rohman,Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti ,Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).<br /><br />Berita kedatangan kembali Syekh Quro,rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa,sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya.untuk menutup pesantren Syekh Quro.utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. sesampainya di pesantren putra mahkota tersebut hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang,”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,”<br /><br />Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut.Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa,menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya.Lalu,akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya.Pinangan tersebut diterima tapi,dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus,yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid.<br /><br />Selain itu,Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu,agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja.seterusnya menurut cerita,semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa.Atas petunjuk Syekh Quro,Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.<br /><br />Di tanah suci Mekkah,Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik.Prabu Pamanah Rasa merasa keget,ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek.Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan,Dua Kalimah Syahadat.yang makna pengakuan pada Allah SWT,sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan, Muhammad adalah utusannya.<br /><br />Semenjak itulah,Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh,mulai dari itu,Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya.Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran,Untuk melangsungkan pernikahannya denga Nyi Subang Larang waktu ters berjalan maka pada tahun 1422 M,pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro.setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.<br /><br />Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3anak yaitu:<br />1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)<br />2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)<br />3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).<br /><br />Setelah melewati usia remaja,Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur Jati di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.<br /><br />Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji,maka Raden Walang Sungsang<br />Menjadi Pangerang Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih.Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke Mekkah diperisteri oleh Sultan Mesir yang bernama Sarif Abdulah (Raja Mesir),sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan raja Mesir,Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim,dari hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra.masing-masing bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.Setelah ayahnya meninggal dunia,jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah,sedangkan Syarif Hidayatullah meneruskan menimba ilmu agama islam<br />dari ulam Mekkah dan Bagdad.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-75038122636149899392009-01-01T19:28:00.000-08:002010-08-13T19:38:55.338-07:00- - SERAT GATOLOCO - -FALSAFAH GATOLOCO<br />Ngemot Falsafah Kawruh Kawaskitan<br />Miturut babon aslinipun<br />Kagubah dening : Prawirataruna<br />Ing awale abad 20 Masehi<br />Katiti-pariksa<br />Sarta kasalinan aksara Latin<br />Dening : R. Tanoyo<br />Penerbit S. Mulyo, Solo<br />————————————————————————————————–<br />Purwaka<br />PUPUH I<br />Mijil<br />Prana putek kapetek ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kekese, taman bangkit upami nyelaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.<br />Yroning kingkin sinalamur nulis, serat Gatoloco, cipteng nala ngupaya leyare, tar len muhung mrih ayeming galih, ywa kalatur sedih, minangka panglipur.<br />Kyai Guru Tetelu Ing Pondok Rejasari<br />Kang kinarya bebukaning rawi, Reyasari pondok, wonten Kyai yumeneng Gurune, tiga pisan wasis muruk ilmi, katah para santri, kapencut maguru.<br />Bakda subuh wau tiga Kyai, ruyuk casnya condong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enying, sareng angkatipun.<br />Murid nenem umiring tut wuri, samya anggegendong, kang ginendong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iyi, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.<br />Ingkang ugi dadya guru santri, ing Cepekan pondok, Kyai Hasan Besari namane, wus misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra guru maguru.<br />Datan wonten ingkang animbangi, pinunyul kinaot, langkung ageng pondokan santrine, krana saking katahipun murid, uyaring pawarti, pinten-pinten atus.<br />Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, sepi mendung sumilak langite, saya siyang lampahnya wus tebih, sunaring hyang rawi, saget benteripun.<br />Marma reren sapinggiring margi, ngandap wringin ayom, ayem samya anyereng kacune, tinamakken ayoming waringin, pan kinarya linggih, yengkeng semu timpuh.<br />Ecisira cinublesken siti, murid sami lunggoh, munggeng angarsa ayeyer lungguhe, kasiliring samirana ngidid, pating clumik muyi, tesbehnya den etung.<br />Murid nenem ambelani muyi, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedeg-gedeg, dereng dangu nulya aningal, mring sayuga nyanmi, lir dandang lumaku.<br />Gatoloco Lan Candrane<br />PUPUH II<br />Dandanggula<br />Endek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut tepung, irung sunti cangkeme nguplik, waja gingsul tur petak, lambe kandel biru, janggut goleng semu nyentang, pipi klungsur kupingira anjepiping, gulu panggel tur cendak.<br />Pundak broyol semune angempis, punang asta cendak tur kuwaga, ting carentik dariyine, alekik dadanipun, weteng bekel bokongnya cantik, semu ekor dengkulnya, lampahipun impur, kulit ambesisik mangkak, ambengkerok napasira kempas-kempis, sayak lesu kewala.<br />Bedudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge semu bang, asungsun tiga pontange, bongkot tengah lan pucuk, timah budeng ingkang kinardi, cupak ireng tur tuwa, gripis nyenyepipun, meleng-meleng semu nglenga, labet saking kenging kukus saben ari, pangoturik den asta.<br />Kandutane klelet gangsal glinding, alon lenggah caket Guru tiga, sarwi angempos napase, kapyarsa senguk-senguk, gandanira prengus asangit, tumanduk mring panggenan, santri ingkang lungguh, Gatoloco ngambil sigra, kandutane tegesan kang aneng kendit, gya nitik karya brama.<br />Nulya udut kebulya ngebuli, para santri kawratan sedaya, asengak sanget sangite, murid nenem tumungkul, mergo sarwi atutup rai, saweneh mites grana, kang saweneh watuk, mingser saking palenggahan, samya pindah neng wurine guruneki, nyingkiri punang ganda.<br />Guru tiga waspada ningali, mring wujuja ingkang lagya prapta, kawuryan mesum ulate, sareng denira nebut, astagafiru’llah hal ‘adlim, dubi’llah minas setan, ilaha la’llahu lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.<br />Janma ingkang rupane kajeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, pada tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan weruh sakehing nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng achirat, rikel sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wekasingwang.<br />Ingkang petel sinauwa ngaji, amrih weruh syara’ Rasulu’llah, slamet dunya achirate, sapa kang neja manut, ing sari’at Andika’ Nabi, mesti oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nemu cilaka, Ahmad ‘Arif mangkana denira eling, janma iku sunkira.<br />Dudu anak manusa sayekti, anak belis setan brekasakan, turune memedi wewe, Gatoloco duk ngrungu, den wastani yen anak belis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawetu ngungkapi gembolanira, kleletipun sajebug sigra ingambil, den untal babar pisan.<br />Pan sakala endeme mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan sungsum, kekiyatan sadaya pulih, kawistara njrebabak, cahyanipun santun, Guru tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.<br />Abdu’l Jabar ngucap mring Mad ‘Arif, lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngendi, apa panggotanira, ing sadinanipun lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.<br />Ora ngreti nyara’ lawan sirik, najis mekruh batal lawan haram, mung nganggo senenge dewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, angger doyan pinangan, ora nduwe gigu, tan pisan wedi duraka, Ahmad Arif mrepeki gya muwus aris, wong ala ingsun tannya.<br />Bebantahan Ilmu<br />Lah ta sapa aranira yekti, sarta maneh ngendi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatoloco aranku, ingsun janma lanang sajati, omahku tengah jagad, Guru tiga ngrungu, sareng denya latah-latah, bedes buset aran nora lumrah janmi, jenengmu iku haram.<br />Gatoloco ngucap tannya aris, dene sira pada latah-latah, anggeguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, krana saking tyasingsun geli, gumun mring jenengira, Gatoloco muwus, ing mangka jeneng utama, gato iku tegese sirah kang wadi, loco pranti gosokan.<br />Marma kabeh pada sun-lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun-sauri bae, tetelu araningsun, kang sawiji Barang kinisik, siji Barang panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lelima, iya iku Gatoloco aran-mami, prasaja tandha priya.<br />Kyai Guru mangsuli tan becik, jenengira iku luwih ala, jalaran banget sarune, haram, najis lan mekruh, iku jeneng anyilakani, jeneng dadi duraka, jeneng ora patut, wus kasebut jroning kitab, nyirik haram yen mati munggah suwargi, kang haram manjing nraka.<br />Gatoloco menjep ngiwi-iwi, gya gumujeng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, syara’ira kang kliru, sapa bisa angelus wadi, yekti janma utama, iku apesipun priyayi kang lungguh demang, myang panewu wadana kliwon bupati, liyane ora bisa.<br />Rehning ingsun tan dadi priyayi, mung jenengku jeneng wadi mulya, supaya turunku tembe, dadi priyayi agung, ‘Abdu’ljabar angucap bengis, dapurmu kaya luwak, nganggo sira ngaku, lamun sajatine lanang, Gatoloco gumujeng alon nauri, ucapku nora salah.<br />Ingsun ngaku wong lanang sajati, basa lanang sajati temenan, wadiku apa dapure, sajati tegesipun, ingsun urip tan neja mati, Guru tiga angucap, dapurmu lir antu, sajege tan kambon toya, Gatoloco macucu nulya mangsuli, ewuh kinarya siram.<br />Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus genine, jro badan isi latu, yen resika sun-gosok siti, asline saking lemah, sun-dusana lesus, badanku sumber maruta, tuduhena kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.<br />Asal banyu yekti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatoloco sru saure, sira santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh, satemene bae iya, ingsun adus tirta tekad suci ening, ing tyas datan kaworan.<br />Bangsa salah kang kalebu ciri, iya iku adusing manusa, ingkang sabener-benere, Kyai Guru sumaur, wong dapure lir kirik gering, sapa ingkang pracaya, nduwe pikir jujur, sira iku ingsun-duga, ora nduwe batal haram mekruh najis, weruhmu amung halal.<br />Najan arak iwak celeng babi, angger doyan mesti sira-pangan, ora wedi durakane, Gatoloco sumaur, iku bener tan nganggo sisip, kaja pambatangira, najan iwak asu, sun-titik asale purwa, lamun becik tan dadi seriking janmi, najan babi celenga.<br />Ngingu dewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang, halale ngungkuli cempe, sanajan iwak wedus, yen asale srana tan becik, haram, lir iwak sona, najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dewe awit genjik, luwih saking maenda.<br />Najan wedus nanging nggonmu maling, luwih babi iku haramira, najan mangan iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dewe marang wanadri, dudu celeng colongan, halale kalangkung sanajan iwak maesa. Yen colongan luwih haram saking babi, ujarnya Guru tiga.<br />Luwih halal padune si belis, pantes temen uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan duwe beras pantun, sandangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajege tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake legi gurih, kuru tan darbe wisma.<br />Gatoloco ngujap anauri, ingkang sugih sandang lawan pangan pirang keti momohane, kalawan pirang tumpuk, najis ingkang sira-simpeni, Guru tiga duk myarsa, gumuyu angguguk, sandangan ingkang wus rusak, awor lemah najisku kang tibeng bumi, kabeh wus awor kisma.<br />Gatoloco anauri malih, yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda kalawan ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurebing akasa, dadi darbekingsun, kang anyar sarwa gumebyar, sun-kon nganggo marang sanak-sanak-mami, ngong trima nganggo ala.<br />Apan ingsun trima nganggo iki, pepanganan ingkang enak-enak, kang legi gurih rasane, pedes asin sadarum, sun-kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat gesang, dene ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, sun-tulisi sastrane salikur iji, sun simpen jroning manah.<br />Ingsun dewe mangan saben ari, ingsung milih ingkang luwih panas, sarta ingkang pait dewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang kaeksi, mulane kang bawana, pada metu kukus, tumuse geni sun-pangan, ingkang dadi padas watu lawan curi, klelet ingkang sun-pangan.<br />Sadurunge ingsun ngising najis, gunung iku yekti durung ana, benjang bakal sirna maneh, lamun ingsun wus mantun, ngising tai metu teka silit, titenana kewala, iki tuturingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, layak kuru tan pakra.<br />Gatoloco sigra anauri, mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti Jeng Nabi rasul, saben ari ingsun turuti, tindak menyang ngepaken, awan sore esuk, mundhut candu lawan madat, dipun dahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan.<br />Kanjeng Rasul yen tan den turuti, muring-muring banget anggone duka, sarta banget paniksane, ingsun tan bisa turu, Guru tiga samya nauri, mung lagi tatanira, Kanjeng Nabi Rasul, karsa tindak mring ngepaken, Kangjeng Rasul pepundene wong sabumi, aneng nagara Mekah.<br />Gatoloco anauri aris, Rasul Mekah ingkang sira-sembah, ora nana ing wujude, wus seda sewu taun, panggonane ing tanah ‘Arbi, lelakon pitung wulan, tur kadangan laut, mung kari kubur kewala, sira sembah jungkar-jungkir saben ari, apa bisa tumeka.<br />Sembahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nembah Rasule dewe, siya marang uripmu, nembah Rasul jabaning diri, kabeh sabangsanira, iku nora urus, nebut Allah siya-siya, pating brengok Allah ora kober guling, kabebregen suwara.<br />Rasulu’llah seda sewu warsi, sira-bengok saking wisma-nira, bok kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas kesel tur tanpa kasil, Guru tiga angucap, ujare cocotmu, layak mesum ora lumrah, anyampahi pepundene wong sabumi, Gatoloco manabda.<br />Bener mesum saking susah-mami, kadunungan barang ingkang gelap, awit cilik tekeng mangke, kewuhan jawab-ingsun, yen konangan ingkang darbeni, supaya bisa luwar, ingsun njaluk rembug, kapriye bisane jawab, aywa nganti kena ukum awak-mami, Guru tiga miyarsa.<br />Asru ngucap nyata sira maling, ora pantes rembugan lan ingwang, sira iku wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun gelem mulangi, pakartine dursila; mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun datan angklakoni maling, yen gelem mulangana.<br />Nalar bangsat paturane maling, yekti dadi melu kena siksa, Gatoloco pamuwuse, yen sireku tan purun, amulangi mring jawab maling, payo pada cangkriman, nanging pamitengsun, badenen ingkang sanyata, lamun sira telu pisan tan mangreti, guru tanpa paedah.<br />Kyai Guru samya anauri, mara age saiki pasalna, cangkrimane kaya priye, manira arsa ngrungu, yen wus ngrungu sayekti bangkit, masa bakal luputa, ucapna den gupuh, angajak cangriman apa, sun-batange dimen pada den sekseni, santri murid nom noman.<br />Cangkriman Endi Kang Tuwa Dalang Wayang Kelir Balencong<br />PUPUH III<br />Sinom<br />Gatoloco nulya ngucap, dalang wayang lawan kelir, balencong endi kang tuwa, badenen cangriman iki, yen sira nyata wasis, mesti weruh ingkang sepuh, Ahmad ‘Arif ambatang, kelir kang tuwa pribadi, sadurunge ana dalang miwah wayang.<br />Balencong durung pinasang, kelir ingkang wujud dingin, wus jumeneng keblat-papat, ngisor tengah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, ‘Abdu’ljabar asru muwus, heh Ahmad ‘Arif salah, pambatangmu iku sisip, panemuku tuwa dewe kaki dalang.<br />Anane kelir lan wayang, kang masang balencong sami, wayang gaweyane dalang, mulane tuwa pribadi, tan ana kang madani, anane dalang puniku, ingkang karya lampahan, nyritakake ala becik, asor unggul tan liya saking ki dalang.<br />Nulya Kyai ‘Abdulmanap, nambungi wacana aris, karo pisan iki salah, pada uga durung ngerti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih gampang, ora susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dewe wayangira.<br />Upama wong nanggap wayang, isih kurang telung sasi, dalange pan durung ana, panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap ringgit, tutur mitra karuhipun, sun arsa nanggap wayang, ora ngucap nanggap kelir, ora ngucap nanggap balencong lan dalang.<br />Wus mupakat janma katah, kang tinanggap apan ringgit, durung paja-paja gatra, wus muni ananggap ringgit, mila tuwa pribadi, Gatoloco alon muwus, ‘Abdu’ljabar Du’lmanap, tanapi si Ahmad ‘Arif, telu pisan pambatange pada salah.<br />Batanganing Cangkriman Kang Bener<br />Yen mungguh pametekingwang, balencong tuwa pribadi, sanajan kelir pinasang, gamelan wus miranti, dalang niyaga linggih, yen maksih peteng nggenipun, sayekti durung bisa, dalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining wayang.<br />Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira ringgit, margane isih petengan, ora kena den tingali, yen balencong wus urip, kantar-kantar katon murub, kelire kawistara, ing ngandap miwah ing nginggil, kanan kering Pandawa miwah Kurawa.<br />Ki Dalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gede cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh ringgit, pinates pangucapipun, awit pituduhira, balencong ingkang madangi, pramilane balencong kang luwih tuwa.<br />Dene unining gamelan, wayange kang den gameli, dalange mung dharma ngucap, si wayang kang darbe uni, prayoga gede cilik, manut marang dalangipun, sinigeg gangsa ika, kaki dalang masesani, nanging darma ngucap molahake wayang.<br />Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sepi, basa sepi tanpa ana, anane ginelar yekti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape ki dalang.<br />Ingkang mesti nglakonana, ingkang ala ingkang becik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung lair, tetap suwung ora ana siji apa.<br />Basa kelir iku raga, wayange Suksma sajati, dalange Rasul Muchammad, balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, cahyane urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jero ngandap nginggil, wujudira wujude Allah kang murba.<br />Yen wayang mari tinanggap, wayange kalawan kelir, sinimpen sajroning kotak, balencong pisah lan kelir, dalang pisah lan ringgit, marang ngendi paranipun, sirnane blencong wayang, upayanen den kepanggih, yen tan weruh sira urip kaya reca.<br />Benjang yen sira palastra, uripmu ana ing ngendi, saikine sira gesang, patimu ana ing ngendi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngendi kuburira, sira-gawa wira-wiri, tuduhena dunungge panggonanira.<br />Banjure Bebantahan ‘Ilmu<br />Guru tiga duk miyarsa, anyentak sarwi macicil, rembug gunem ujarira, iku ora lumrah janmi, Gatoloco nauri, dasar sun-karepken iku, aja lumrah wong katah, ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira.<br />Santri pada ambek lintah, ora duwe mata kuping, anggere amis kewala, cinucap nganti malenti, ora ngreti yen getih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus wareg mangan getih, amalengker tan metu nganti sawarsa.<br />Wekasan kaliru tampa, tan weruh temah ndurakani, manut kitab mengkap-mengkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa ni’mating ilat, lan rasane langen resmi, rasanira ing kawruh ora tinasa.<br />Tetep urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah, matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, apa sira tan wikan mring mataku loro iki, Gatoloco sinaur sireku beja.<br />Dene pada duwe mata, loro-loro guru siji, apa sira wani sumpah, yen duwe mata kekalih, Guru tiga nauri, dasar sayektine ingsun tetela duwe mata, tetep loro mata-mami, Gatoloco gumujeng sarwi anyentak.<br />Sireku wani gumampang, sayekti balak bilahi, ngaku dudu matanira, sun-lapurken pulisi, mesthine den taleni, angaku loro matamu, yen nyata matanira, konen gilir genti-genti, prentahana siji melek siji nendra.<br />Dadi salawasmu gesang, ora kena dimalingi, Guru tiga samya ngucap, endi ana mata gilir, Gatoloco nauri, tandane nyata matamu, sira wenang masesa, saprentahmu den turuti, yen tan manut yekti dudu matanira.<br />Guru tiga samya mojar, aku wani sumpah yekti, awit cilik prapteng tuwa, tan pisah lan rai-mami, Gatoloco mangsuli, dene-sira wani ngaku, matamu ora pisah, mata olehmu ing ngendi, apa tuku apa gawe apa nyelang.<br />Apa sira winewehan, iya sapa kang menehi, kalawan saksine sapa, dina apa aneng ngendi, Guru tiga miyarsi, deleg-deleg datan muwus, wasana samya ngucap gaweyane bapa bibi, Gatoloco gumuyu alatah-latah.<br />Kiraku wong-tuwanira, loro pisan pada mukir, karone ora rumasa, gawe irung mata kuping, lanang wadon mung sami, ngrasakake ni’matipun, iku daja jalaran, wujude ragamu kuwi, ora neja gawe rambut kuping mata.<br />Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya-raganingwang. Gatoloco anauri, prenah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta pinaringan, mata loro kanan-kering, telu pisan pinaringan grana lesan.<br />Guru tiga saurira, katrima pamuji-mami, Gatoloco asru nyentak, pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gelap.<br />Yen tan bisa ndunungena, kajedegan ingkang diri, mestine dadi sakitan, ora kena sira mukir, meloke wus pinanggih, teka ngendi asalipun, yen asale tan wikan, matanira loro kuwi, ora kena angukuhi matanira.<br />Sakehing reh lakonana, yen tan manut sun-gitiki, jalaran sira wus salah, kajedegan sira maling, lah iku duwek-mami sira-anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk jaman gaib, ingsun-simpen ana satengahing jagad.<br />Saksine si wujud ma’na, cirine rina lan wengi, ingsun-rebut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira ingkang nyimpeni, santri pada tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun-lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pengadilan.<br />Mesti sira kokum peksa, yen wengi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, saben bengi den kandangi, beda kalawan, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daja seja-mami, agal alus kasar lembut ingsun-nalar.<br />Murih aja dadi salah, Ahmad ‘Arif anauri, guneman karo wong edan. Gatoloco amangsuli, edanku awit cilik, kongsi mangke prapteng umur, ingsun tan bisa waras, saben dina owah gingsir, nampik milih panganan kang enak-enak.<br />Panganggo kang sarwa endah, ingsun edan urut margi, nurut margane kamulyan. ‘Abdul’jabar muring-muring, astu sumaur bengis rembugan lan asu buntung. Gatoloco angucap, bener olehmu ngarani, sakrabatku bapa kaki buyut canggah.<br />Dasare buntung sadaya, tan ana buntut sawiji, basa asu ma’na asal, buntut iku wus ngarani, ingsun jinising janmi ora buntut lir awakmu, balik sira wong apa, sira gundul anjedindil, apa Landa apa Koja apa Cina?<br />Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, ingsun iki bangsa Jawa, Muchammad agama-mami, Gatoloco nauri, sira wong kapir satuhu, Kristen agamanira, lamun sira bangsa Jawi dene sira tan nebut Dewa Batara.<br />Agama Rasul Muchammad, agamane wong ing ‘Arbi, sira nebut liya bangsa, tegese sinipat kapir, tan sebutmu pribadi, anggawe rusak uripmu, mulane tanah Jawa, kabawah mring liya jinis, krana rusak agamane kuna-kuna.<br />Wiwit biyen jaman Purwa, Pajajaran Majapahit, wong Jawa agama Buddha, jaman Demak iku salin, nebut Rasulu’llahi, sebute wong ‘Arab iku, saiki sira-tular, anilar agama lami, tegesira iku Kristen bangsa ‘Arab.<br />Guru tiga duk miyarsa, sru nyentak sarwi nudingi Gatoloco sira gila, Gatoloco anauri, ingsun gila sayekti, yen weruh kaya dapurmu, wedi bok katularan, ora duwe mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.<br />Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, nyata sira anak jalang. Gatoloco amangsuli, iku bener tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kena ing pejah, lamun wis tumekeng jangji, yekti mulih mring asale pada ilang.<br />Kiraku manawa sira, metu saking reca wesi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru nauri, samya misuh trukbyangamu, Gatoloco angucap, iku banget trima-mami, krana sira telu pisan misuh mring wang.<br />Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring wang, iku ingkang sun-sungkemi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.<br />Iya iku bapa biyang, ingkang weruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngendi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau weruh iku ujar ambelasar.<br />Krana ingsun nora wikan, wujude ingsun saiki, mujud dewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng ’alam dunya, ana satengahing bumi, lawan sira kala karya raganira.<br />Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pendak pasar ratri siyang, saejam sawidak menit, ora kurang tan luwih, wukune mung telung puluh, raganingsun duk daja, sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.<br />Badanku kena ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulu’llah andandani, krana ingsun kekasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggesangaken saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muchammad.<br />Guru tiga asru mojar, sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatoloco nauri, ngrawuhi dadine lebur, kalawan peparengan, karsane Kang Maha Suci, ingsun dewe tan kuwasa apa-apa.<br />Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya mami, Muchammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan diri, kabeh iku kagungane Rasulu’llah.<br />Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi, duwekingsun mung sepi, basa sepi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung dadi, tetep suwung ora weruh siji apa.<br />‘Abdu’ljabar nulya mojar, sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kena rusak bilahi, ora langgeng sira wutuh, Gatoloco angucap, ingkang rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.<br />Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kena rusak bilahi, ingkang langgeng swarga mulya, Kyai Guru ananuri, yen mangkono sireki, weruh pestine Hyang Agung, kang durung kalampahan, Gatoloco anauri, weruh pisan pestine mring raganingwang.<br />Ingsun-pesti awakingwang, wayah iki dina iki, jejagongan lawan sira, mengko gawe pesti maning, kang durung den lakoni, kanggone mengko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.<br />Kalawan ngrusak gulungan, iku banget wedi-mami, wedi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe pesti aja kliru. Kyai Guru angucap, kang durung sira-lakoni, beja sarta cilakamu besuk apa.<br />Aneng ngendi kuburira, Gatoloco anauri, kuburan wus ingsun-gawa, saben dina urip-mami, kalawan ngudaneni, ning sawates umuringsun, kalamun parek ‘ajal, sajroning rolas jam mami, lagya milih dina sarta wayahira.<br />Yen gawe pesti samangkya, papestene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki pesti, becike saben lawan ari, anggawe papesthen iku, manut senenging driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ara cidra ing semaya.<br />Kyai ‘Abdu’ljabar ngucap, pestine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatoloco anauri, iku pestening Widdhi, dudu pesti saking ingsun, Allahku saben dina, anggawe papesten-mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.<br />Guru tiga sareng ngucap, Gatoloco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatoloco anauri, bener pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing ‘alam samar, tumeka ing jaman mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.<br />Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun durung mangreti, iya iku asal-ingsun, purwa saking sudarma, tumeka kalamu’llahi, sayektine ingsun asal kama petak.<br />Menek Guru telu sira, kama ireng ingkang dadi, dene buntet tanpa nalar, ‘Abdu’lmanap duk miyarsi, mojar mring Ahmad ‘Arif, ‘Abdu’ljabar yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak syara’ Rasulu’llah.<br />Iku wong mbubrah agama, akarya sepining masjid. Gatoloco asru ngucap, den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindo batang sira-suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira mung lega rasaning driya.<br />Krana sira ngrusak syara’, Gatoloco anauri, syara’ tan kena rinusak, pinesti dening Hyang Widdhi, syara’e, yen mangan lebokna silit, iku tetep aran janma ngrusak syara’.<br />Dene bangsane agama, sasenengane wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun terus lair batin, yekti katrima ugi, Guru telu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku kang aran agama rasa.<br />Tegese agama rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning legi gurih, pedes asin sepet kecut, pait getir sadaya, sira agama punapi, saurira agamaku Rasulu’llah.<br />Gatoloco asru ngucap, patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sepi, sul asal tegesneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa pamit, sakancane garundelan urut marga.<br />Sanget dennya nguman-uman, Ahmad ‘Arif muwus aris, ‘Abdul’ljabar ‘Abdu’lmanap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata, jroning ngimpi ingsun sengit, yen kapetuk sun mingkar tan sudi panggya.<br />Gatoloco Rumasa Menang Bantahe<br />Gatoloco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen menang bantah, mangkana osiking galih, banget kepati-pati, angekul sameng tumuwuh, sun-kira luwih mana pangrawuhe Guru santri, dene iku isih bodo kurang nalar.<br />Durung pada durung timbang, yen tinanding kawruh-mami, durung nganti ingsun-gelar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang minda janma.<br />Lamun wulange manusa, mesthine pada mangreti, mring duga lawan prayoga, aywa karem karya serik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanen den kapanggih, yen pinanggih padang terang sagang nalar.<br />Yen padang tegese gesang, lamun peteng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sajati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodone kepati-pati, cupet kawruh peteng nalar ma’nanira.<br />Wangsalan Pangura-urane Gatoloco<br />Gatoloco gya lumampah, tetembangan urut margi, kebo bang kagok (sapi) upama, sapisan maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora mundur bantah kawruh, pelem gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang minda warni (slira), becik ingsun ngenteni lan ura-ura.<br />Gude rambat (kara) puspa kresna (tlasih), manira pan isih wani, witing pari (dami) entong palwa (welah), ora neja kalah mami, araning wisma paksi (susuh), mungsuh sira guru pengung, parikan uler kambang (lintah), ingsun seneng bantah ilmi, welut wisa (ula) tininggal atiku gela.<br />Mendung petak (mega) kunir pita (temu), muga-muga temu maning, tepi wastra rinumpaka (kemada), banjur pada maring ngendi, kayu rineka janmi (golek), apa golek guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den adu lan mami, wadung rema (cukur) malah sokur yen mangkana.<br />Jangkrik gung wismeng kebonan (gangsir), manira ora gumingsir, bebasan putrane menda (cempe), sakarepe sun-ladeni, jamang wakul (wengku) upami, angajak apa sireku, duh lae puter wisma (dara), nganggo sira mejanani, kentang rambat (katela) sanajan rupaku ala.<br />Menyawak kang sabeng toya (slira), prakara mung bantah ‘ilmi, wulu bauning kukila (elar), kabeh nalar sun tan wedi, sayekti pinter mami, tinimbang lan sira guru, kaca tumraping netra (tesmak), ora jamak mejanani, mulwa rengka (srikaya) yen sira luru saraya.<br />Kemaduh rujit godongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngendi srayanira najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yektine darma kewala.<br />Gatoloco sukeng driya, rerepen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandut, saglinding dipun untal, ngrusak badan anyegeri, kraos gatel astane ngukur sarira.<br />Kyai Hasan Besari Ing Pondok Cepekan<br />PUPUH IV<br />Pangkur<br />Kacarita ing Cepekan, pondok ageng panggenan santri ngaji, punika sampun misuwur, kawentar manca praja, wonten Kyai pinunjul jumeneng Guru, ‘alim jamhur tanpa sama, kang nama Hasan Besari.<br />Kajuwara yen ‘ulama, mila unggul ginuron para santri, muridipun tigang atus, ing wanci bakdha ‘isya’, wus salat neng langgar ngaji sadarum, Kyai Guru arsa mulang, kitab Pekih miwah Tafsir.<br />Unda usuk warna-warna, wonten santri ingkang lagya niteni, ma’na lapal Kuranipun, ngasil-ingasil ika, samya taken-tinaken mring kancanipun, wonten ingkang sampun paham, ngapalaken kitab Sitin.<br />Tanapi sagunging kitab, sasenenge santri sawiji-wiji, santri ingkang sampun putus, ing ma’na lapal Kuran, mencil mencul madoni mring Kyai Guru, ma’nanira lapal Kuran, angambil sagunging misil.<br />Ingkang sampun kinawruhan, kang saweneh ana santri pradondi, ing lapal ma’na Kur’an, mencil-mencul madoni mring Kyai Guru, ma’nanira lapal Kur’an, angambil sagunging misil.<br />Ingkang sampun kinawuhan, kang saweneh ana santri pradondi, ing lapal ma’na puniku, udreg paben grejegan, santri kalih mara merak marang Guru, gya kasaru tamu prapta, “Abdul’ljabar ‘Ahmad Arif. “<br />Miwah Kyai ‘Abdul manap sabat nenem datan pisah tut wuri, sinauran salamipun, kang ngaji tutub kitab, tamu wau nulya minggah nglanggar gupuh, apan samya sesalaman, jawat tangan genti-enti.<br />Sawustru sesalaman, sampun warata sadaya para santri, munggeng langgar tata lungguh, Hasan Besari mojar, dene gati kados wonten karsanipun, pukul pinten mangkatira, saking pondok Rejasari.<br />Angling Kyai ‘Abdu’ljabar, bakda subuh mangkat wanci byar enjing, milahipun ngantos dalu, kedangon wonten marga, mandeg bantah kawon mengsah tiyang kupur, Gatoloco namanira, dapure mboten mejaji.<br />Punika setan katingal, anak belis ambekta wadung linggis, pan kinarya ngrusak ngremuk, ing syara’ Rasulu’llah , ingkang leres dipun wadung lemah putung, yen pokah rebah binubrah, agami den obrak-abrik.<br />Sadaya syara’ tinerak, morak-marik sirik den orak-arik, amung nekad gasruh rusuh, jinawab mung sakecap, gulagepan kula tan bangkit sumaur, sagung haram rinampasan ambubrah syara’ lan sirik.<br />Wungkul akal mokal nakal, sanget ngrengkel ngungkil nyrekal metakil, sakeh kawruh kabarubuh, sagung pasal kasingsal, dalil-dalil katail ing misilipun, kula mapan mung kasoran, kula nyingkring boten mlangkring.<br />Panggah bantah meksa kalah, boten betah isin den iwi-iwi, sakeh padu dipun buru, sakeh jawab tan menang, salin pisuh boten pasah saya rusuh, malah munggah ngarah sirah, lir maling neja anjiling.<br />Kula tansah kaungkulan, pijer kojur boten saged ngungkuh, kula-suwun mring Hyang Agung, salami-kula gesang, sampun ngantos kepranggul tiyang kajeku, yen kapetuk kula nyimpang, jejera kula sumingkir.<br />Manah-kula sampun jinja, krana saking kapok den iwi-iwi. Hasan Besari duk ngrungu, mring nalar kang mangkana, sanalika dennya ngontor asru bendu, jaja bang mawinga-winga, muring-muring waja gatik.<br />Netra andik angatirah, Kyai Hasan Besari ngucap bengis, patut kang kaya dapurmu, santri remeh kewala, bener sira mantolos endasmu gundul, buntu buntet tanpa nalar, mung jakat kang sira-incih.<br />Durung patut ginuronan, guru bodo kawruhmu mung sanyari, ora liya kabisanmu, marani angger wisma, kang ginawa kasang wadah karag sekul, bisane ndonga kabula, ngaji kulhu lamyakunil.<br />Ora pada kaya ingwang, marma gundul kasundul ing agami, mila putih surbaningsun, titih teteh micara, kalah iki mesti ngambil saking biku, mila ketu tarancangan, panjalin ingkang kinardi.<br />Kerigen santri ‘ulama, ora kewran kawruhku salin-salin, nrawang putus ngisor duwur, mila klambi kebayak, bisa miyak marang kawruh agal alus, sabuk poleng manca warna, kawruh-ingsun warni-warni.<br />‘Ilmu Jawa Landa, Cina, Turki Koja Hindu Benggala Keling, kabeh iku wus kacakup, sun-simpen aneng kasang, kawruh ‘Arab awit timur nganti lamur, kawruh Jawa tan kuciwa, dasar ingsun bangsa Jawi.<br />Mila bebed sarung amba, omber jembar ngungkuli ingkang dakik, kabeh ‘ilmu ingsun weruh, nganggo tesbeh sanyata, kabeh kawruh ingkang luwih saking alus, ora nana bisa mada, amadani marang mami.<br />Mulane nganggo gamparan, saparanku angungkuli sasami, mulane cis tekeningsun, kumecis nora cidra, anerawang jaba jero ngisor duwur, upamane ingsun kalah, mungsuh janma tanpa budi.<br />Sayektine ingsun wirang, golekana saiki ana ngendi, si Gatoloco wong kumprung, ingsun arsa uninga, mring warnane janma ingkang kurang urus, Ahmad ‘Arif ujarira, duk wau sapungkur-mami.<br />Tut wingking lampah-kawula, kinten-kinten dalu punika ugi, nyipeng wonten kita Pungkur, Hasan Besari ngucap, lamun mrene sun-jewere kupingipun, mungsuh janma ngrusak syara’, kalah lambene sun-juwing.<br />Sun-karya pangewan-ewan, duk samana dupi sampun byar enjing, wanci bakda salat subuh, prentah mring santri tiga, golekana Gatoloco den katemu, tekakna mring ngarsaningwang, santri tiga gya lumaris.<br />Gatoloco Dibutuhake Kyai Guru<br />Datan winarna ing marga, santri tiga lampahnya sampun prapti, ing pacandon kuta Pungkur, nulya manjing ngepakan, santri tiga pramana samya andulu, ing pacandon wonten janma, endek cilik bokong cantik.<br />Tinakenan namanira, gya sumaur yen sira takon mami, Gatoloco araningsun, santri tiga tuturnya, katimbalan sireku mring ngarsanipun, Guruning santri Cepekan, Kiyai Hasan Besari.<br />Kinen sareng lampah-kula, Gatoloco maleleng ngiwi-iwi, gela-gelo manggut-manggut, nanging kendel kewala, cangkemipun macucu boten sumaur, nulya nembang ura-ura, larase mung angger muni.<br />Gatoloco Ngura-ura Wangsalan<br />Piyik anak manuk dara, pedet iku jarene anak sapi, cempe cilik anak wedus, gudel anak maesa, kirik cilik iku jare anak asu, belo kepel anak jaran, genjik cilik anak babi.<br />Sekar pucang jare mayang, sekar mlati jarene sekar mlati, kembang gedang jare jantung, yen kembang klapa manggar, duh lae duh kembang menur kembang menur, kembang pacar kembang pacar, kembang sruni kembang sruni.<br />Gatoloco Panggil<br />Santri murid kang dinuta, samya eram sadaya tyasnya geli, kapingkel-pingkel gumuyu, wacana jroning driya, apa baya pancen duwe lara gemblung, dene pijer ura-ura, becik kudu diasori.<br />Murid tiga angrerepa, sanjang malih sarana ngarih-arih, ingarah mung murih purun, mangga tumunten mangkat, mring Cepekan manggihana Kyai Guru, manawi den arsa-arsa, kedangon kula ngentosi.<br />Gatoloco klewa-klewa, sarwi ngucap apa sira tan uning, ingsun iki lagya ewuh, lan banget ketagihan, lamun sira pari-paksa ngundang mring sun, ketumu bae sun-selang, prelu kanggo gaden dingin.<br />Candu rong timbang kewala, nanging jangji sira-tebus pribadi, mengko yen wus mendem ingsun, tumuli mangkat mrana, lamun sira ora lila ketu iku, ingsun wegah lunga-lunga, moh nemoni Kayi Haji.<br />Santri tiga duk miyarsa, rerembugan lawan rowange sami, lamun ora sigung ketu, sayekti tan lumampah, ora wurung Kyai Guru mengko bendu, upama ingsun-wenehna, luwih becik den turuti.<br />Santri duta kang satunggal, amangsuli mangkana dennya angling, wus tetela nalar kojur, iku pada kewala, ketu-mami uga anyar oleh tuku, lawase satengah wulan, regane srupiyah putih.<br />Kang satunggal tumut ngucap, ora beda anyare ketu-mami, lagi nganggo patang taun, mangka utang pitung wang, bayar nicil seteng seteng saben esuk, sun-lowongi durung esah, isih kurang limang ketip.<br />Najan camah awakingwang, waton oleh aleme guru-mami, santri tiga samya muwus, niki ketu-kawula, tampenana Gus Nganten sampeyan-pundut, gadekna kula sumangga, saknana dipun tampeni.<br />Wusnya ketu tinampenan, santri duta malah den iwi-iwi, ngisin-isin sarwi muwus, sireku ngentenana, ketu tiga dipun ngantosaken candu, rong timbang cinukit ngingkrang, sineret bantalan dingklik.<br />Gatoloco Ngura-ura Wangsalan Maneh<br />Wus tuwuk panyeretira, bedudane nulya dipun sangkelit, Gatoloco gya lumaku, den iring santri tiga, sadangune lumampah urut dalanggung, ngupaya senenging driya, rerepen sinawung gending.<br />Bismi’llah sun-ura-ura, sun-wangsalan petis apyun (candu) upami, ana ketu dadi candu, candu dadi gelengan, patek tungkak (bubul) gelengane dadi kebul, kebule mrasuk mring badan, sumrambah dadi nyegeri.<br />Jenang sobrah (ager-ager) ancur kaca (rasa), balung tipis munggeng pucuk dariji (kuku), seger dadi rosa mlaku, nanging ingkang kelangan, paribasan sabet kuda (cemeti) mesti getun, aranira tirta maya (wisuhan), misuh-misuh jroning batin.<br />Duh bakul sotya kencana (para), sela ingkang kinarya ngasah lading (ungkal), manira bakal katemu Guru santri Cepekan, paksi alit kang dadya sasmiteng tamu (prenjak), petel panjang tanpa sangkal (tatah), neja ngajak bantah ‘ilmi.<br />Kadal gung wismeng bangawan (bajul), jambu ingkang isi lir mirah edi (dlima), sanajan guru pinunjul, alim jamhur ‘ulama, wadung pari (ani-ani) ingsun uga wani mungsuh, mrica kecut dedompolan (wuni), sagendinge sun-ladeni.<br />Gatoloco Tumeka Ing Pondok Cepekan<br />Dumugi pondok Cepekan, kacarita ing pondok para santri, miwah sagung para guru, mulat kang lagya prapta, maksih wonten plataran ngandap wit jeruk, Kyai ‘Abdu’ljabar ngucap, mring Kyai Hasan Besari.<br />Tiyang makaten punika, najis mekruh tan pantes minggah mriki. Hasan Besari sumaur, najan mekruh najisa, nanging iku tekane saking karepmu, becik kinen munggah langgar, dimene tumuli linggih.<br />Reged ora dadi ngapa, yen wus lunga tilase disirami, Hasan Besari gya dawuh, uwong ala lungguha, kono bae ing jrambah lor-wetan iku, Gatoloco sigra minggah, marang langgar mapan linggih.<br />Sendeyan prenah lor-wetan, bedudane maksih dipun sangkelit, nulya nitik karya latu, ngakep rokok tegesan, tegesane sadriji kebule mabul, mratani sajroning langgar, ambetipun sengang sangit.<br />Para santri tutup grana, wonten ingkang ngalih denira linggih, Hasan Besari amuwus, sira jenengmu sapa, wangsulane Gatoloco araningsun, Hasan Besari tetanya, apa kang sira-sangkelit.<br />Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang ening, ana dene pentolipun, iki arane cupak, prelu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron awar-awar kinardi.<br />Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kena bendu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat, sentile napas kang lungid.<br />Cetute aran dzatu’llah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cetutipun, rumasuk jroning badan, sumarambah kukit daging balung sungsum, tyasingsun padang nerawang, ora kewran kabeh pikir.<br />Bebantahan Falsafah<br />Hasan Besari ngandika, sira wani mapaki kawruh-mami, nganggo sira wani nglebur, mring syara’ Rasulu’llah, apa sira nampik urip demen lampus, ora wedi manjing nraka, ora melik munggah swargi.<br />Gatoloco alon ngucap, kaya apa bisane nampik milih, wus pinesti mring Hyang Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.<br />Yen wong urip iku susah, metu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku, dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar, ora keno tinon lair.<br />Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira-rasani, suwarga naraka iku, mangka katon wus ceta, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing swarga, sapa mlarat manjing geni.<br />Ya iku manjing naraka, Kyai Hasan Besari amangsuli, suwarga naraka iku, besuk aneng achirat, Gatoloco sumaur sarwi gumuyu, lamun besuk ora nana, anane namung saiki.<br />Kyai Guru saurira, nyata nakal rembuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan syara’ Rasulu’llah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gesang akarya sepining masjid.<br />Gatoloco alon ngucap, ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak duwung, saiki ingsun pejah, Kyai Hasan Besari asru sumaur, iku lagi tatanira, wong mati cangkeme criwis.<br />Awake wutuh lir reca, Gatoloco alon dennya nauri, yen patine kewan iku, nganti gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya awak-mami.<br />Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku nepsuku, mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya tundaning lair.<br />Iku ingkang aran sadat, pisahira kawula lawan Gusti, lunga pisah tegesipun, dadi roh Rasulu’llah, yen wis pisah ragane lan Suksma iku, rasa pangrasa lan cahya, panggonane ana ngendi.<br />Kyai Guru saurira, bener ingsun luluh awor lan siti, rasa lan pangrasa iku, kalawan cahya gesang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga, Sang ‘Ijrail ingkang ngirid.<br />Lamun Suksmane wong Islam, kang netepi salat limang prakawis, sarta akeh pujinipun, rina wengi tan owah, anetepi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen katrima ing Hyang Widdhi.<br />Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jeng Nabi, kabeh oleh-olehingsun, kang wus kasebut syara’, yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dawuhe Jeng Rasulu’llah, pinanjingaken yumani.<br />Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatoloco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.<br />Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika, sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya beja cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.<br />Upama Allah duweya, satru kapir, murtat marang Hyang Widdhi, becik sadurunge wujud, tinitah aneng dunia, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mengkono Allahira, iku ora duwe budi.<br />Demen karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku, mepeki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang agami.<br />Tegese aran agama, panggonane ngabekti mring Hyang Widdhi, ing sasebut-sebutipun, waton terus kewala, tanpa salin agamane langgeng terus, sapa kang salin agama, nampik agama lami.<br />Iku kapir aranira, krana nampik papestene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur, nampik leluhurira, sasat nampik papestenira Hyang Agung, panyebutmu siya-siya, anebut namaning Widdhi.<br />Sira iku bisa kanda, lamun kapir Suksmane manjing geni, Suksmane wong Islam iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, weruh suwarga naraka, panggonane aneng ngendi.<br />Hasan Besari angucap, kang kasebut sajroning kitab-mami, Gatoloco sru gumuyu, sira santri keparat, ngandel marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu tinggalane naluri.<br />Buku tembung cara ‘Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayektine kabisanmu, mung kitab sembarangan, sira-gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah, bali ingkang duwe maning.<br />Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira-aturena, bali marang kang ndarbeni.<br />Apa ora nemu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kepriye olehmu matur, Kyai Guru saurnya, sira iku maido kitabing Rasul, Gatoloco alon ngucap, tan pisan maido mami.<br />Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landaten kanyatahanmu, rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pejah, anggawa sanguning brangti.<br />PUPUH V<br />Asmaradana<br />Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pejah, rasakna badanmu kuwe, kalawan cahyamu gesang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring suwarga loka.<br />Sang ‘Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng achirat dadi pandung, anggawa dudu duweknya.<br />Sira aneng dunya iki, kadunungan barang gelap, ora tuku ora nyileh, sira-anggo saben dina, ing mangka aneng achirat, anggawa dudu duwekmu, dunya achirat dadi bangsat.<br />Tanpa gawe jungkar-jungkir, nembah salat madep keblat, clumak-clumik kumecape, angapalake alip lam, tegese iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.<br />Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan bakda ‘isya, sayekti tanpa guna, sipat urip duwe irung, pada weruh marang wayah.<br />Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bengi sarta awan, pijer ketungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip prapteng kailangan.<br />Rasane badanmu kuwi kagungane Rasulu’llah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira Pangeran, obah-osiking manah, Muchammad kang nggawa iku, duwekmu amung pangrasa.<br />Mangka sira-gawa kuwi, ora sira-ulihena, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.<br />Ketune binanting siti, muring-muring ngucap sora, mring ngendi nggonku ngulihke, ingsun tan rumasa nyelang, titipan tri prakara, Gatoloco gya gumuyu, sira urip tanpa mata.<br />Upama padanging rawi, asalira saking surya, sirna kalawan srengenge, kalamun padange wulan, asale saking wulan, sirnane kalawan santun, bali maneh asalira.<br />Hasan Besari nauri, krana ngapa rasanira, lan cahyamu urip kuwe, myang obah-osiking manah, tan sira-ulihena, marang Kang Kagungan iku, Gatoloco asru nyentak.<br />Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundute, ingsun wedi bok kinira, anampik sihireng Hyang manawa nemu sesiku, sireku kaliru tampa.<br />Kang kasebut kitab-mami, saking Nabi Muchammad, Kyai Guru pangucape, salat witri iku iya, salat sakoberira, Gatoloco alon muwus, sireku kaliru tampa.<br />Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulu’llah, dene sira ngestokake, sari’ate nabi lima, endi panembahira, mring nabi Muchammad iku, Kyai Guru saurira.<br />Sembahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatoloco pamuwuse, sira iku santri blasar, mangka Nabi Muchammad tetela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.<br />Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dewe, kinen sujud kaping lima, rina wengi mangkana, esuk-esuk wayah subuh, sujud tumrap maring Adam.<br />Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgeng anane, marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake peteng iku, kagenten padanging surya.<br />Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muchammad parentah.<br />Marang umatira sami, supaya pada sujuda, marang Kang Murbeng ‘alame, tatkala patang raka’at, kabeh pada nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.<br />Lan pada nuwuna maning, linanggengna kaluhuran, kaya luhure srengenge, pramilane lama-lama, tumurun saya andap, daja asrep panasipun, wong akeh ngarani ‘asar.<br />Nabi Muchammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta pada nenuwuna, langgeng ananing Suksma, lan pada nuwuna iku, linanggengna kaluhuran.<br />Pangeran kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggengna kamulyane, dadine bisa kalakyan, tumurun saya andap, mulane ngaranan surup, sira pada sumurupa.<br />Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe peteng padang, gawe unggul lan asore, kang padang tegese gesang, kang peteng iku pejah, Nabi Muchammad andulu, parentah mring umatira.<br />Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng ‘alam, dene luwih kuwasane, bisa gawe peteng padang, lan gawe pejah gesang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang baskara.<br />Jagade datan kaeksi, petenge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane ‘alam dunya, rumasa kasusahan, krana saking petengipun, amarga suruping surya.<br />Sagunge umat nuruti, nenuwun marang Pangeran, kanti nangis panuwune, mulane ngaranan ‘isya, tegese anangisa, marang Ingkang Murbeng luhur, nenuwun supaya padang.<br />Kagenten padanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padang sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna saben dina.<br />Tegese sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa patokane, Gatoloco angandika, Baru’lkalbi arannya, mangretine barul: laut, dene kalbi iku manah.<br />Ati kang kaya jaladri, tanpa wates jero jembar, lan maneh akeh isine, Hasan Besari tetannya, sira ora sembahyang, Gatoloco aris muwus, sembahyang langgeng tan pegat.<br />Sujud-mami sujud eling, keblatku tengahing jagad, bareng napasku sujude, napasku metu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, metu saking utekingsung, sembahyangku mring Hyang Suksma.<br />Ingkang metu lesan-mami, sembahyang mring Rasulu’llah, kang metu irungku kiye, ingkang dzat pratandanira, iku taline gesang, kabeh saking napasingsun, sebutku Allahu Allah.<br />Sira pada ora ngreti, Rasulu’llah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan surya, ‘alam dunya wus ana, yekti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.<br />Kang tinitahake dingin, dening Hyang cahya Muchammad, iku lawan sahabate, nanging wujud eroh samya, neng jroning lintang johar, mangka lintang johar iku, wadahe roh sadaya.<br />Babonira saking urip, dadi saking Nur Muchammad, lintang rembulan srengenge, ora liya asalira, pan saking Nur Muchammad, mangka lintang johar iku, dadi pusere Muchammad.<br />Yen sira maido mami, dadi nampikaken sira, mring Kuran sesebutane, Hasan Besari miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, wis Gatoloco minggata.<br />Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabeneran panggonane, iki aneng tengah jagad, ingsun seneng kapenak, linggih langgar karo udut, ngenteni prentahing Allah.<br />Hasan Besari Kalah Bantahe<br />Sakala Hasan Besari, sidakep kendel kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasetyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.<br />Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh, santri murid ing Cepekan, ingkang seneng ngawula, mara sira anggeguru, wulangen ‘ilmu utama.<br />Para Kyai mitra-mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki uga, neja lunga lelana, kabeh keriya, rahayu, Hasan Besari gya mangkat.<br />Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang kantun ing Cepekan, Gatoloco sineba, para murid tigang atus, ander samya munggeng ngarsa.<br />Gatoloco Pepeling Marang Para Sahabat<br />Gatoloco sukeng galih, angandika mring sahabat, sanak-sanakingsun kabeh, yen sira arsa raharja, poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggepe sawenang-wenang.<br />Kang mangkono ora becik, ngina-ina mring sasama, umat iku pada bae, pinter bodo becik ala, beja lawan cilaka, wong kuli tani priyantun, lanang wadon ora beda.<br />Wus pinesti mring Hyang Widdhi, tan kena ingowahana, papestene dewe-dewe, mulane becik narima, aywa katungkul sira, urip iku bakal lampus, aneng dunya ngelingana.<br />Aja jubriya lan kibir, sumengah nggunggung sarira, open dahwen panastene, karem dora pitenahan, jail silib melikan, angapusi agal alus, anggluweh demen sikara.<br />Aja pisan ladak edir, watak angkuh nguja hawa, aja wareg mangan sare, nglakonana sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang sumeh aja nepsu, ngajeni marang sasama.<br />Aja sira gawe serik, aja sira gawe gela, aja gawe wedi kaget, iku aran najis haram, nyandang mangan ingkang sah, iku lakune wong ‘ilmu, tan kena kanti sembrana.<br />Gatoloco Apitutur Soal Pasemoning ‘Ilmu<br />PUPUH VI<br />Kinanti<br />Kudu ingkang nrimeng pandum, sumarah karsaning Widdhi, manusa darma kewala, saikine sun-takoni, apa mantep trusing driya, ngaku bapa marang mami.<br />Lamun sira wus tuwajuh, gugunen pitutur iki, nanging sira aja samar, tan kena maido ‘ilmi, yen maido kena cendak, uripe kamulyanneki.<br />Kabeh sira anakingsun, badenen pasemon iki, lamun bengi ana apa, yen awan ingkang ngebeki, apa ingkang ora nana, satuhune iya endi.<br />Adoh tanpa wangen iku, cedak tan senggolan iki, yen adoh katon gumawang, yen cedak datan kaeksi, lamun isi ana apa, yen suwung luwih mratani.<br />Lembut tan kena jinumput, agal tan kena tinapsir, ingkang amba langkung rupak, kang ciyut wiyar nglangkungi, bumbung wungwang isi apa, sapa neng ngarepmu kuwi.<br />Yen lanang tan nduwe jalu, yen wadon tan duwe belik, iya kene iya kana, iya ngarep iya buri, iya kering iya kanan, iya ngandap iya nginggil.<br />Baitane ngemot laut, kuda ngrap pandengan nenggih, tapaking kuntul ngalayang, pambarep adine ragil, si welut ngeleng ing parang, kodok ngemuli lengneki.<br />Wong bisu asru calatu, jago kluruk jro ndogneki, wong picak amilang lintang, wong cebol anggayuh langit, wong lumpuh ngideri jagad, aneng ngendi susuh angin.<br />Aneng ngendi wohing banyu, myang atine kangkung kuwi, golek geni nggawa diyan, wong ngangsu pikulan warih, kampuh putih tumpal petak, kampuh ireng tumpal langking.<br />Tumbar isi tompo iku, randu alas angrambati, mring uwit sembukan ika, sagara kang tanpa tepi, rambut ireng dadi petak, ingkang petak saking ngendi.<br />Irenge mring ngendi iku, kalawan kang diyan mati, urube mring ngendi ika, golekana kang pinanggih, yen tan weruh siya-siya, durung sampurna kang ‘ilmi.<br />Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul ika, si gagak ana ing ngendi, gagak iku nulya teka, si kuntul miber mring ngendi.<br />Prayoga kudu sumurup, kabeh sira anak-mami, pralambang iku rasakna, kang katemu pada jati, sajatining rasa ika, rasa jroning jalanidi.<br />Sasmitanen ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki, kalawan pangrungunira, sarta paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika dadi solah-tingkaneki.<br />Ora sak tan serik iku, tan tesbehmu dzatu’llahi, kang krasa yen datan mangan, den krasa yen minum nenggih, sembahyanga den karasa. Den krasa dzatu’llah kuwi.<br />Gatoloco Medarake Soal-jawabing ‘Ilmu<br />Kang wus sawural Allahu, iku aran salat daim, ana maneh ingaranan, martabate kasdu kuwi, lawan ta’rul ta’yin ika, mangretine kasdu kuwi.<br />Pikarepe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene ta’rul tegesira, pamekasing niyat nenggih, dumadine panggraita, mangreteni ingkang ta’yin.<br />Iku nyata yen satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cetane iku sayekti, ingkang kasdu kuwi iman, ingkang ta’rul iku tohid.<br />Kang ta’yin makrifat iku, kang iman yen ana kuwi, ing niyat ingkang gumletak, yekti iku ora serik, tansah ningali ing Allah kang tohid nenge myang osik.<br />Gleteke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angen-angenira, ingkang nggletakaken Widdhi, myarsa ngucapken pestinya, Allah ta’ala ngimbuhi.<br />Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi, ana dene kang ma’rifat, iku nenge lawan mosik, anenggih paningalira, pangrungu pangucapneki.<br />Dadi lan ing dewekipun, tegese iku sayekti, bila: tesbeh lire ika, tan loro kahananneki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik meneng kuwi.<br />Pamiyarsa lan pandulu, nyatane kahanan iki, poma aja sak srik, sasmita sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang Maha Suci.<br />Kudu ingkang awas emut, ora nana liya maning, lamun sira tinakonan, apa pangajape Widdhi, mangkene wangsulanira, pangawruhingsun mring Widdhi.<br />Kawimbuhan ‘ilmunipun, Pangeran kang Maha Suci, ana maneh soalira, apa ingkang den arani, sakecap sarta satindak meneng mung sagokan kuwi.<br />Nulya saurana gupuh, ujar sakecap puniki, kang ngucap nenggih Hyang Suksma, kang mlaku satindak Widdhi, kang meneng sagokan ika, ingkang wus angel nggoleki.<br />Hyang Suksma ya dirinipun, sarta lamun den takoni, pira martabating tingal, saurana tri prakawis, tasnip ingkang kaping pisan, insan-kamil kaping kalih.<br />Kadil-kapri kaping telu, tasnip: idep tegesneki, insan-kamil: kang sampurna. Iku kaya roh idlafi, utawa tasnip semunya, tingal luluh sampurnaning.<br />Wahyu iku tegesipun, ingkang paningale sidik, iku tetep wahyunira, pramilane samya wajib, den weninga prabedanya, anggenira aningali.<br />Mring nabi wali mukminu, nabi tetep tingalneki, dene para mundur ika, ing tingale wali mukmin, pira martabating lampah, wangsulana dwi prakawis.<br />Dingin kaya geni iku, kaping kalih kaya angin, semune kang kaya brama, penet panase pribadi, tegese sira mrih enggal, panrima kasuwen dening.<br />Ingkang angin tegesipun, penet tan kena pinurih, tegese wus ora pisan, susah angulati malih, pira martabating badan, saurana tri prakawis.<br />Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping pat nenggih, ping dwi kaya tanggal sanga, tanggal ping patbelas ping tri, tegese tanggal kaping pat, tulis lair tulis batin.<br />Kaya tanggal sanga iku, luluh sirna tegesneki, kahananira Pangeran, tanggal ping patbelas kuwi, dene sasejane sama, kaya Kang nDadekken nenggih.<br />Wus tumeka wangenipun, tekane kawula kuwi, ora naja yen dadiya, dadi Gusti kang sayekti, nanging yekti dadi uga, pira mastabat pamanggih.<br />Saurana lima iku, kang dingin kleteking ati, ingkang kaping kalihira, katepeking lampah nenggih, panjriting tangis ping tiga, ketuk nutu ping pat neggih.<br />Cleret ngantih ping limeku, dene pajriting wong nangis, lawan kleteking wardaya, myang tepeking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun achir kadi.<br />Kaja kapilaku iku, ing tekade kang wus tampi, calereting ngantih ika, lir sipat jamalu’llahi, ketuking nutu upama, wedale pangucapneki.<br />Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung Kang Maha Mulya, kang ngucap iku Allahi, poma aja pindo karya, puniku ingkang sajati.<br />Martabate bumi iku, saurana tri prakawis, dzating roh idlafi ika, kaping pindo roh jasmani, kaping telu tanpa prenah, tanpa tuduh tanpa yekti.<br />Kang aran Muchammad iku, kang hakiki kang majaji, iku nuli saurana, kang aran Muchammad nabi, dene kang hakiki iku, iya dzatu’llah idlafi.<br />Nabi Muchammad puniku, anenggih ingkang majaji, dzatu’llah jasadi ika, kang hakiki kang majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi.<br />Ingkang tanpa prenah iku, lawan tanpa tuduh kuwi, ing hakekate dzatu’llah, tan liya pesti sireki, krana sajatine sira, poma aja pindo kardi.<br />Martabat nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning sadat, saurana tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, ngeningake imanneki.<br />Ping dwi ngeningken tyasipun, ana dene kang kaping tri, nglampahake panggaotan, nugrahaning salat nenggih, saurana tri prakara, megat karsa ingkang dingin.<br />Tinggal cipta kalihipun, amadep ingkang kaping tri, nugrahaning takbir pira, saurana tri prakawis, dingin kawruh dwi kawruhnya, jatining weruh kaping tri.<br />Pituturku durung rampung, nanging iku bae disik, krana ingsun arsa lunga, ora lawas ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh mangreti.<br />Gatoloco Lunga Andarung Lakune<br />PUPUH VII<br />Gambuh<br />Anak murid sireku, kabeh pada keriya rahayu, lilanana saiki manira pamit, Gatoloco mangkat gupuh, lumampah ijen kemawon.<br />Mider-mider ngelantur, sejanira angupaya mungsuh, sagung pondok guru santri den lurugi, binantah ing kawruhipun, yen kalah dipun pepoyok.<br />Ana ingkang gumuyu, kapok kawus santri kang tan urus, wus dilalah karsaning Kang Maha Luwih, Gatoloco tyas kalimput, mengku takabur ing batos.<br />Pangrasanira iku, sapa menang padon karo aku, padu kawruh ingsun punjul sasami, marmane manggih sesiku, kasiku dening Hyang Manon.<br />Kang sipat samar iku, Gatoloco tan rumasa luput, yen andulu, ingkang bangsa lair batin, kaelokaning Hyang Agung, karya lakon langkung elok.<br />Gatoloco andarung, lampahipun terus minggah gunung, Endragiri wastanira ingkang wukir, sadaya santri ing gunung binantah kawruhnya kawon.<br />Jejanggan para wiku, resi buyut wasi lan manguyu, den lurugi bantah kawruh syara’ ‘ilmi, ingkang kawon den geguyu, Gatoloco asru moyok.<br />Solah tingkah kumlungkung, ngrengkel nakal remen nyrekal digung, watak edir ‘ilmu syara’ den pabeni, mila saya camahipun, ya ta genti winiraos.<br />Endang Retna Dewi Lupitwati Ing Depok Cemarajamus<br />Ing Endragiri gunung, wonten endang gentur tapanipun, apeparab Retna Dewi Lupitwati, sadaya punggawanipun, samya estri maksih anom.<br />Satunggal wastanipun, apeparab Dewi Mlenukgembuk, nama Dewi Dudulmendut, kang satunggil, merak-ati dasar ayu, cantrik kalih ugi wadon.<br />Satunggal namanipun, akekasih Dewi Rara Bawuk, kang satunggal Dewi Bleweh kang wewangi, grapyak sumeh kaduk cucut, neng ngarsa gusti tan adoh.<br />Sang Retna depokipun, yeku depok ing Cemarajamus, pratapane ing guwa Seluman werit, angker sinengker barukut, boten sembarangan wong.<br />Bangkit uningen ngriku, yen tan antuk lilane Sang Ayu, dene lamun wus kepareng den ideni, kaiden ingkang amengku, sinome guwa katongton.<br />Gatoloco Manjing Depok Cemarajamus<br />PUPUH VIII<br />Sinom<br />Ingkang samnya neng asrama, Retna Dewi Lupitwati, lagya sakeca ngandikan, lawan ceti emban cantrik, kaget dupi umeksi, dumateng wau kang rawuh, sajuga janma priya, lenggah sanding para estri, Mlenukgembuk sigra nabda atetannya.<br />Lah sira iku wong apa, wani malbeng Endragiri, rupamu ala tur kiwa, pinangkanira ing ngendi, lan sapa kang wewangi, angakuwa mumpung durung, cilaka siya-siya, apa tan kulak pawarti, lamun kene larangan katekan priya.<br />Gatoloco tansah nyawang, boten pisan amangsuli, mendongong kendel kewala, lir bisu mung clumak-clumik, malah angiwi-iwi, lingak-linguk kukur-kukur, dereng purun cantenan, nudingi mring cantrik estri, dandu-dangu sumaur ngucap mangkono.<br />Sun iki janma utama, nyata yen lanang sajati, kekasih Barangpanglusan, lan aran Barangkinisik, tetelu jeneng-mami, ananging ingkang misuwur, manca pat manca lina, tanapi manca nagari, Gatoloco puniku aran-manira.<br />Omahku ing tengah jagad, pinangkane saking wuri, nuruti sejaning karsa, pramilane prapteng ngriki, prelu arsa pinangggih, marang sireku wong ayu, duh mirah pujaningwang, lamun condong sun-rabeni, Mlenukgembuk muring-muring asru sabda.<br />Gumendung si asu ala, lancang pangucap kumaki, deksura tindak sembrana, adol bagus marang mami, ingsun tan pisan sudi, andeleng marang dapurmu, becik sira minggata, aja katon aneng ngriki, eman-eman panggonan den ambah sira.<br />Wangsulane gemang lunga, malah sira mirah nuli, nurutana karsaningwang, duh wong ayu sun-rabeni, mangsuli manas ati, wuwuse saya dalurung, si anjing kena sibat, tan kena ginawe becik, mara age tutugna dak-kepruk bata.<br />Gatoloco Nrerepi Wangsalan<br />Gatoloco saurira, wideng galeng (yuyu) duh maskwari, wong ayu bok aja duka, kuwuk mangsa kolang-kaling (luwak), ron kang kinarya kikir (rempelas), welasana awakingsun, parikan jenang sela (apu), apuranen sisip-mami, jalak pita (kapodang) sun-cadang dadiya garwa.<br />Baita kandeg samudra (labuh), lara wirang sun-labuhi, terong alit dedompolan (ranti), bok iya nganti sawarsi, bibis kulineng tasik (undur-undur), sayekti tan neja mundur, isih cuwa atiku pan durung lega.<br />Lan maneh ngong ngrungu warta, gustimu Sang Lupitwati, misuwur lamun waskita, pinter mring sabarang ‘ilmi, tan ana kang ngungkuli, sarta wus jumeneng wiku, lamun kapata nyata, manira arsa nandingi, bantah kawruh sakarsane ‘ilmu apa.<br />Ambatang Cangkrimane Dewi Mlenukgembuk<br />Mlenukgembuk saurira, badenen cangkriman-mami, lan soale gustiningwang, Retna Dewi Lupitwati, soale emban cantrik, yen sira ngreti sadarum, najan rupamu ala, gustiku Sang Lupitwati, apa dene para ceti cantrikira.<br />Mestine nurut kewala, kabeh gelem anglakoni, Gatoloco alon mojar, apa temen tan nyidrani, upamane ngapusi, apa sira wani tanggung, yen sira ora dora, sun-jawabe ing samangkin, lah ucapna cangkrimane kaya apa.<br />Mlenukgembuk alon mojar, ana wit agung siji, pang papat godonge rolas, kembange tanpa winilis, wohe amung kekalih, mung sawiji trubusipun, mubeng wolu pangira, puniku ingkang sawiji, ana dene ingkang satunggal.<br />Ingsun ningali maesa, katahe amung kekalih, nanging telu sirahira, badenen cangkriman kuwi, Gatoloco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong palingukan, kecap-kecap ketip-ketip, Mlenukgembuk gumujeng alatah-latah.<br />Kowe maneh yen bisaa, ambatang cangkriman iki, dapurmu ala tur kiwa, Gatoloco anauri, mengko disik pinikir, supaya bisa katemu, mara pada rungokna, wong kabeh aneng ngriki, sun-badene bener luput saksenana.<br />Ananging kalamun salah, aja padha ngisin-isin, bismi’llah mbade cangkriman, cangkrimane wong mrak-ati, wit agung mung sawiji, iku jagad tegesipun, pang papat iku keblat, godong rolas iku sasi, trubus siji epang wolu iku warsa,<br />Kembang tanpa wilang lintang, minangka woh loro kuwi, anane surya rembulan, lan maneh ingkang sawiji, sira niku ningali, kebo loro ndase telu, iku wus dadi lumrah, kebo ‘alam dunya iki, lanang wadon ketel wulu sirahira.<br />Gatoloco alon ngucap, apa bener apa sisip, mangkono pambatangingwang, mring cangkriman iki. Mlenukgembuk miyarsi wus kabatang soalipun, rumasa yen kasoran, sedot mundur sarwi nglirik, alon ngucap saiki narima kalah.<br />Ambatang Cangkrimane Dewi Dudulmendut<br />Dudulmendut sigra mapan, mesem-mesem angesemi, wus ayun-ayunan lenggah, Gatoloco nukya angling, soal apa sireki, sun-badene cangkrimanmu, Dudulmendut angucap, mangkene cangkriman-mami, mara age badenen ingkang pratela.<br />Ing ngendi prenahe iman, ing ngendi prenahe budi, ing ngendi prenahe kuwat, apa kang luwih pait, lan ingkang luwih manis, luwih atos saking watu, apa kang luwih jembar ngungkuli jembaring bumi, apa ingkang luwih duwur saking wiyat.<br />Apa ingkang luwih panas, ngungkuli panasing geni, luwih adem saking toya, luwih peteng saking wengi, endi aran ningali, lan endi kang luwih duwur, endi kang luwih andap, apa ingkang luwih gelis, akeh endi wong gesang karo wong pejah.<br />Wong sugih lawan wong nista, wong jalu lawan wong estri, wong kapir lawan wong estri, wong kapir lawan wong Islam, mara badenen saiki, Gatoloco nauri, prenahe iman puniku aneng jantung nggonira, ing utek prenahe budi, otot balung prenah panggonane kuwat.<br />Prenahe wirang ing mata, ing dunya kang luwih pait, batine wong malarat, dene ingkang luwih manis, batine wong kang sugih, lamun wong kang luwih lumuh, kang blilu tan weruh sastra, ingkang aran aningali, iku janma ingkang wruh ‘ilmuning Allah.<br />Ing ngendi kang luwih perak, ing dunya kang luwih gelis, ingkang luwih bungahira, iku marmaning Hyang Widdhi, kang amba luwih bumi, yekti pandeleng puniku, landep luwih kang braja, iku nalare wong lantip, ingkang adem luwih toya ati sabar.<br />Luwih atos saking sela, atine wong dangkal pikir, atine wong kang brangasan, panase ngungkuli ngungkuli geni, wong jalu lan wong estri, yekti akeh wadonipun, sanajan wujud lanang, tan weruh tegese estri, kena uga sinebut sasat wanita.<br />Wong urip lan wong palastra, temene akeh kang mati, sanajan wujude gesang, kalamun wong tanpa budi iku prasasat mati, wong sugih lan wong nisteku, mesti akeh kang nista, sanajan sugih mas picis, lamun bodo tanpa budi tanpa nalar.<br />Kena sinebut wong nista, tan duwe pakarti benjing, kalamun ing rahmatu’llah, wong Islam lawan wong kapir, Islam kapir mung lair, yen tan ana anggitipun, menawa datan wikan, pranatanira agami, tetep kapir yektine janma punika.<br />Wong iku nyata pinteran, tan kena den mejanani, Dudulmendut mundur sigra, sarwi awacana aris, wus bener ora sisip, saikine ingsun teluk.<br />Ambatang Cangkrimane Dewi Rara Bawuk<br />Rara Bawuk gya mapan, mangkana denira angling, ndika-bedek Gus Nganten cangkriman-kula.<br />Kabeh ingkang sipat gesang, kang ana ing dunya iki, pangucape pirang kecap, mangka leklu iku klimis, Gatoloco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong palingukan, gedeg-gedeg angucemil, Rara Bawuk gumujeng alatah-latah.<br />Sarwi keplok bokongira, angencepi ngisin-ngisin, sira maneh yen bisaa, anjawab cangkriman-mami, dapurmu anjejinggis kaya antu lara ngelu, Gatoloco angucap, mbuh bener mbuh luput iki, sun-badenen diajeng cangkrimanira.<br />Ucape kang sipat gesang, kang ana ing dunya iki, panamung salikur kecap, nora kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur, kabeh ucaping jalma, kang ana ing dunya iki, leklu klimis iya iku tegesira.<br />Telek neng alu lesungan, yen dicekel yekti amis, salawase durung ana, telek ingkang mambu wangi, Rara Bawuk miyarsi, yen kajawab soalipun, rumasa katiwasan, ora wurung dirabeni, sentot mundur sumingkir semu kisinan.<br />Angucap ingsun wus kalah, saprentahmu sun-lakoni.<br />Ambatang Cangkrimane Dewi Bleweh<br />Gantya Dewi Bleweh mapan, lenggah neja bantah ‘ilmi. Sang Dewi Bleweh angling, badenen cangkrimaningsun, isine ‘alam dunya, kabeh ana pirang warni, lawan pira rasane lamun pinangan.<br />Sun andulu wujudira, adege wolung prakawis, pikukuhe raga tunggal, sipat papat keblat kalih, patbelas ingkang keri, kang loro tutup-tinutup, samya manjer bandera, kekalih pating karingkih, lan badenen, mangretine dadi paran.<br />Gatoloco duk miyarsa, reka-reka tan mangreti, mung deleg-deleg kewala, Dewi Bleweh ngisin-isin, lenggak-lenggok nudingi malerok sarwi gumuyu, sira masa bisaa, ambatang cangkriman-mami, wong dapurmu saru kiwa ireng mangkak.<br />Gatoloco saurira, mengko sun-pikire disik, bismi’llah mbade cangkriman, cangkrimane genduk kuwi, isine dunya amung sanga katahipun, ingkang kinarya ngetang, angkane mung sangang iji, ora nana ingkang luwih saking sanga.<br />Sawuse jangkep sadasa, bali marang siji maning, iku tandane mung sanga, isine dunya iki, kabeh mung sanga kuwi, kahanane rupa iku, yektine nem prakara, wijange sawiji-wiji, ireng biru putih kuning ijo abang.<br />Liya iku ora nana, rupa ingkang manca warni iku pada ngemu rasa, dene kabeh kang binukti, ing ‘alam dunya iki, rasane mung ana wolu, legi gurih kalawan, pait getir pedes asin, sepet kecut ganepe wolung prakara.<br />Adu bokong tegesira, genah lamun asu ganjing, pada adu bokongira, ngadeg suku wolung iji, keblatira kekalih, madep ngalor lawan ngidul, sipate iku papat, matanira patang iji, lawangane bolongan ana patbelas.<br />Cangkem irung miwah karna, silite kalawan preji, gung-gunge kabeh patbelas, kang tutup-tinutup sami, panjine dakar preji, pating krengih endemipun, dene umbul puletan, bandera buntute kalih, ting jalentir lir bandera karo pisah.<br />Apa bener apa ora mangkono pambatang-mami, mara age wangsulana, Dewi Bleweh duk miyarsi, kajawab soalneki, sakalangkung getun ngungun, nggarjita jroning nala, pinasti kalawan takdir, awakingsun kinanti wong kaya sira.<br />PUPUH IX<br />Kinanti<br />Dewi Bleweh nulya mundur, sarwi awacana manis, ingsun wus rumasa kalah, sakarepmu sun-lakoni, manira manut kewala, ora sumeja nyelaki.<br />Ambatang Cangkrimane Retna Dewi Lupitwati<br />Namun kantun kusuma yu, Retna Dewi Lupitwati mapan lenggah arsa bantah, Gatoloco nabda aris, sireku keri priyangga, embane kalawan cantrik.<br />Kalah bantah pada mundur, sira Dewi Lupitwati, apa nutut apa bangga, sabudimu sun-kembari, Retna Dewi angandika, apa saujarmu kuwi.<br />Yen sira ngarani teluk, yektine teluk wak-mami, yen sira ngarani bangga, sabenere ingsun wani, mung iki cangkrimaning-wang, katahe telung prakawis.<br />Badenen ingkang dumunung, tegese wong laki rabi, lan tegese wadon lanang, tegese sajodho kuwi, Gatoloco saurira, ora susah nganggo mikir.<br />Prakara cangkriman iku, tegese wong laki rabi, ingkang aran wadon lanang, ingsun uga wus mangreti, mung remeh gampang kewala, rungokna pambatang-mami.<br />Tegese wong lanang iku, ala kang temenan kuwi iya iku ananingwang, rupane ala ngluwihi, wadon iku tegesira genah panggonane wadi.<br />Wadine wong wadon iku, wujude wujudmu kuwi, sabenere luwih ala, dunung sarta asalneki, acampur kalawan priya, tuduhna akang ala iki.<br />Mula rabi aranipun, wong lanang amengku estri, rahab ngrahabi sadaya, kang ala lawan kang becik, mula lanang aranira, aja nglendot marang estri.<br />Mung iku pambatangingsun, apa bener apa sisip, Lupitwati aturira, pukulun pepunden-mami, saestu leres sadaya, marmane amba samangkin.<br />Nrimah kawon sampun teluk, sumanggeng karsa nglampahi, muhung asrah jiwa raga, tan pisan neja gumingsir, ing dunya prapteng delahan, tetep mantep lair batin.<br />Gatoloco Mulang Para Garwa<br />Gatoloco sukeng kalbu, gumujeng sarwi mangsuli, tuturira sun-tarima, lan maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, tetep dadi garwa-mami.<br />Mulane sira sadarum, kudu manut gurulaki, sabarang parentahingwang, abot enteng aywa nampik, lamun nampik siya-siya, tan wurung sida bilahi.<br />Wus lumrah wong lanang iku, wajibe mengkoni rabi, sanajan rupane ala, nanging pantes den ajeni, sinembah mring garwanira, krana aran gurulaki.<br />Solah tingkah murih patut, satiti angati-ati, tan kena kanti sembrana, yen sira sembrana ora becik, sanajan lunga sadela, kudu pamit marang mami.<br />Kajaba kang kadi iku, rungokna pitutur-mami, amurih salametira, aywa karem karya serik, den sabar aywa brangasan, ngajenana mring sesami.<br />Upama sira katemu, marang pamitranmu yayi, kalamun sira micara, kudu ingkang sarwa manis, dimene rena kang myarsa, aywa nganti den ewani.<br />Yen sira micara saru, utawa demen ngrasani, mring alane liyan janma, sayekti akeh kang sengit, datan seneng malah ewa, sinebut wong kurang budi.<br />Upamane ana tamu, deng enggal sira nemoni, kang sreseh nuli bagekna, linggihane ingkang resik, sireku kang lembah manah, sokur bisa nyugatani.<br />Sanajan tan bisa nyuguh, nanging sumeh ulat manis, tembunge grapyak sumanak, rumaket sajak gresepi, supaya tamune suka, seneng ora gelis mulih.<br />Yen sira semu marengut, kang mradayoh yekti wedi, kinira kalamun ladak, utawa kinira edir, den arani ora lumrah, datan kurmat mring sesami.<br />Watak andap asor iku, wekasane nemu becik, raharja sugih tepungan, kineringan mring sesami, linulutan pawong mitra, akeh ingkang tresna asih.<br />Kang garwa samya tumungkul, sadaya matur wot sari, duh pukulun kasinggihan, wulangipun gurulaki, sliring dawuh-paduka, sayekti kawula-pundi.<br />Tetenger Sajatining Wadon Lan Sajatining Lanang<br />Gatoloco alon muwus, rehning sira wus ngantepi, dharma saking karsaningwang, kepengin arsa udani, pratandane kang sanyata, apa bener sira estri.<br />Samengko mrih genahipun, manira arsa nontoni, mring prenah tetengerira, wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya ceta kaeksi.<br />Para garwa alon matur, duh pukulun kadi pundi, dene paring dawuh lukar, kawula lumuh nglampahi krana saking boten limrah, nalar saru tan prayogi.<br />Gatoloco asru bendu, tuturmu pada ngantepi, mantep lair batinira, mituhu mring gurulaki, kaya paran ing samangkya, tan miturut prentah-mami.<br />Lamun rewel datan manut, sireku bakal bilahi, sidane nemu cilaka, katiban gitik panjalin, wong siji kaping limalas, lan maneh sun-sepatani.<br />Ananging yen pada manut nurut marang karep-mami, sawuse lukar busana, nuli marang tilam sari, awakingsun pijetana, supaya kesele mari.<br />Para garwa samya manut, tyas ajrih den supatani, sadaya lukar busana, Gatoloco duk umeksi, gumujeng alatah-latah, sarwi ngingkrang munggeng kursi.<br />Mangkana denira muwus, saiki katon sajati, wus ceta nyata wanita, tengere wadon kaeksi, warna-warna datan pada, ana gede ana cilik.<br />Rehning ceta wus kadulu, wujudnya sawiji-wiji, akarya renaning driya, ing samengko sun-lilani, kabeh pada tutupana, ngagema busana maning.<br />Yen sireku arsa weruh, marang sajatining laki, duwekingsun tingalana, becike apa saiki, utawa mengko kewala, sakarepmu sun-turuti.<br />Lamun sira ngajak ngadu, duwekmu lan duwek-mami, manira manut sakarsa, gelem bae ingsun wani, sira ngajak kaping pira, manira saguh ngladeni.<br />Retna Dewi alon matur, pukulun pepunden-mami, prakawis nalar punika, amba tan kapengin uning, dumateng wujuding priya, nuwun gunging pangaksami.<br />Kang awit pamanggih-ulun, kirang prelu angingali, kawula datang mentala, lan malih boten prayogi, pramilane boten susah, paduka paring udani.<br />Gatoloco alon muwus, duh wong ayu merak ati, sumeh semune prasaja, susileng solah respati, wangsalan iki rungokna, wulang mring sira wong manis.<br />Wangsalan Wulang Wanodya<br />PUPUH X<br />Dandanggula<br />Jayeng sastra empaning lelungid (carik), sirik ageng jenenging wanuja, luput barang reh wurine, wruh ing wekasanipun, teja panjang kang ngemu warih (kluwung), sinjang ageming priya (bebed), kang kedah sinawung, pawestri katah rubednya, taji sawung (jalu) ganda pangusaping lati (lenga krawang), kalupute kawangwang.<br />Putran-denta (pratima) ron aglar ing siti (uwuh), pelem agung kang galak gandanya (kuweni), ewuh-aya pratikele, wanita tindak dudu, kuda mijil ing Tamansari (Kalisahak), piring siti (cowek) upama, dadyan dewekipun, angrusak badan priyanggan sari tala (malam) dadaking ron (talutuh) sun-wastani, nalutuh ‘alam dunya.<br />Kisma rempu (lebu) atmaja Jumiril (Umarmaya), marma estri tan kalebu weca, Nata Prabu ing Tasmiten (Geniyara), kaca kang tanpa ancur (ram), gawe eram ingkang ningali, pantes yen piniyara, talatahing laut (muwara), ing tekad angayawara, jamang wastra (tepi) ojating wong awewarti (kaloka), netepi ing saloka.<br />Gingsiring wulan purnama siddhi (grahana), bebayi sah kang saking tuntunan (puput), graitanen sauntase, ingkang tumibeng luput, tambang palwa (welah) ingsun-wastani, parikan jenu tawa (tungkul), pan aja katungkul, ing solah kang tanpa karya, menyan kuning (welirang) kang toya saking jasmani (kringet), engeta kawirangan.<br />Ing Ngajerak Papatih Nata Jin (Sannasal), pulas langking kang kinarya sastra (mangsi), keksi-eksi wekasane, tanpa asil ing laku, sembahyange janma minta sih (salat hajat), katrapaning manusa (denda), dendaning Hyang Agung, tanpa kajating panyipta, yasa ranu (bale kambang) Narendra Bojanagari (Suryawisesa), kumambang ing wisesa.<br />Janma wirya (mukti) salendro jroning pring (suling), dipun eling-eling wong ngagesang, aja manggung mukti bae, duh babo jamang wakul (wengku), sekar pandan mawur kasilir (pudak), najan tedaking Nata, sajagad winengku, barat gung mrataweng wreksa (prahara), jarot pisang (serat) ana mlarat ana sugih, wus kaprah ‘alam dunya.<br />Putri Mandura (Sumbadra) kang nyamang kudi (karah), najan trahing janma sudra papa, lamun becik pamarahe, aji Nata Salyeku (candrabirawa), puter alit ginantang nginggil (prekutut), patut sira-anggowa, condongna ing kalbu, Wiku Raja ing Kusniya (Bawadiman), Sarkap putra (Samardikaran) den gemi simpen wewadi, ywa kongsi kasamaran.<br />Tawon agung kang atala siti (tutur), wikan nugraha wulang achirat (swarga), yen siranggo tutur kiye, nyuwargakken bapa biyung, nyarambahi mring kaki nini, salawase raharja, mitra karuh lulut, yen kena godaning setan, sapu gamping (usar) garwa Hyang Guru Pramesti (Batari Durga), durgama karya sasar.<br />Wideng galeng (yuyu) Kumbayana siwi (Aswatama), tegese estri ayu utama, pratanda serat pangrembe (penget), cipta tyas tan kawetu (graita), kang wus lepas graita lantip, nget-enget ing kawignyan, pangumbaring puyuh (jajah), anjajah saruning badan, jala panjang (krakad) suluke wayang kalitik (sendon), yen kaledon ing tekad.<br />Kentang rambat (katela) gancaring wong ngringgit (lakon), tetelada estri kang utama, kang prayoga lelakone, singa lit munggeng kasur (kucing), kenya putri Kartanegari (Susilawati), yen tan susileng priya, pan kuciweng semu, dekunging sabda tanaga (taklim), gugur parlu (batal) nora batal ing wewadi, wong taklim sapadanya.<br />Gatoloco Pamit Lunga Marang Cepekan<br />Retna Dewi matur awot sari, saking dawuh piwulang-paduka, muhung nuwun pangestune, mugi-mugi jinurung, badan-kula bangkit nglampahi, Gatoloco ngandika, duh sira wong ayu, ayune ayu temenan, aywa kaget ingsun lilanana pamit, saiki ingsun lunga.<br />Krana prelu kangen arsa tilik, anak murid ing pondok Cepekan, besuk bali mrene maneh. sira keri rahayu, Gatoloco mangkat pribadi, ing marga tan winarna, kacarita sampun, dumugi pondok Cepekan, para murid dupi miyat ingkang prapti, sukeng tyas kanti kurmat.<br />Gatoloco Jumeneng Gurunadi<br />Gatoloco praptanipun, ing Cepekan pondok santri, langkung sukaning wardaya, aningali para murid, samya sanget kurmatira, dumateng Sang Gurunadi.<br />Nulya minggah ing langgar gupuh, sesalaman genti-genti, riwusnya samya salaman, para murid nilakrami, wilujeng rawuh-paduka, Gatoloco anauri.<br />Iya saking pandongamu, ingsun ginanjar basuki, sasuwene ingsun-tilar, sira kabeh anak murid, apa pada kawarasan, santri murid awot sari.<br />Pangestu brekah-pukulun, palimarmaning Hyang Widdhi, sadaya kawilujengan, maksih langgeng kados lami, Gatoloco angandika, kapriye wulangku nguni.<br />Apa sira isih emut, sokur lamun ora lali, aturnya maksih kemutan, kawula sanget kapengin, nuwun mugi kasambungan, lajengipun kados pundi.<br />Gatoloco alon muwus, panjalukmu sun-turuti, sireku aywa sumelang, uga bakal sun-sambungi, lah mara pada rungokna, manira tutur saiki.<br />Medarake Banjure Soal-jawabing ‘Ilmu<br />Nugrahaning budi iku, saurana tri prakawis, cipta ning kang kaping pisan, panggraita kaping kalih, sang panyipta kaping tiga, kanugrahaning roh kuwi.<br />Saurana iku telu, ana dene ingkang dingin, urip tan kalawan nyawa, ingkang kaping kalih kuwi, ora angen-angen liyan, Allah kewala kaping tri.<br />Tan ana woworanipun, ingkang wahdati’lmujudi, nugrahan sakarat pira, saurana tri prakawis, kang dingin adepanira, idep ingkang kaping kalih.<br />Madep ingkang kaping telu, lamun sira den takoni, nugrahaning iman pira, saurana tri prakawis, sokur ingkang kaping pisan, tawakal ingkang ping kalih.<br />Sabar ingkang kaping telu, pira nugrahaning tohid, saurana dwi prakara, krana tetep ingkang dingin, wedi kaping kalihira, nugrahan ma’rifat jati.<br />Sira sumaura gupuh, iku namun saprakawis, ana ing kahananira, anenggih karsa: rasaning, rasa wisesa prayoga, martabate kramat kuwi.<br />Mangretine ana telu, karem af’al para mukmin, para wali karem sifat, akarem dzat para nabi, lire karem ing dzatu’llah, ya sok ana asihaning.<br />Ingkang karem sifat iku, uga ana gumleteking, lire karem af’alu’llah, mila ana obah osik, yen sebit paningalira, ening kabuka sayekti.<br />Ing sifat jamal puniku, jamal kamal kahar nenggih, dumadine imanira, sakbul gumleteking ati, dadine oleh sampurna, sampurnaning gesang nenggih.<br />Martabate nyawa iku, lamun sira den takoni, katahe namung satunggal, iya iku roh idlafi, mung sawiji marganira, tegese urip puniki.<br />Ora nana urip telu, ingkang mesti mung sawiji, lamun sira tinakonan, endi Allah ing saiki, iku nuli saurana, sapa ingkang ngucap kuwi.<br />Aja ta sireku umyung, yen sira dudu Hyang Widdhi, yektine ingkang den ucap, kang ngucap tan liyan Widdhi, nanging kudu kawruhanana, ing panarima sayekti.<br />Ana ingkang nrima iku, kaja toya lawan siti, lawan ingkang kaya udan, apa dene kaya wesi, kalawan kaya samudra ingkang kaya lemah warih.<br />Den rumesep tegesipun, ora pegat kang rohani, tegese kang kaja udan, datan pegat tingalneki, ana maneh kaja tosan, sakarsanira mrentahi.<br />Ginaweya arit wedung, petel wadung kudi urik, ora owah sifatira, isih bae wujudneki, ingkang upama samudra, pituduh ingkang prayogi.<br />Puniku mestine antuk, ing ujar sakecap tuwin, ing laku satindak lawan, ameneng sagokan nenggih, lamun wis kaja samudra, ora owah tingalneki.<br />Sira andulu dinulu, ora nana tingal kalih, ora nana ucap tiga, dadi sampurna salating, weruh paraning sembahyang, weruh paraning ngabekti.<br />Nyata bener ora kusut, lan weruh paraning osik, weruh paraning nengira, weruh paraning miyarsi, weruh paraning pangucap, weruh paran ngadeg linggih.<br />Lan weruh paraning turu, weruh paranira tangi, weruh paraning memangan, weruh paran nginum warih, weruh paran ambebuwang, weruh paran sene nenggih.<br />Weruh parang seneng nepsu, weruh paraning prihatin, weruh paran ngidul ngetan, mangalor mangulon kuwi, weruh paraning mangandap, weruh paraning manginggil.<br />Weruh paran tengah iku, weruh paranira pinggir, weruh paraning palastra, weruh paranira urip, weruh kabeh kang gumelar, kang gumreget kang kumelip.<br />Tan samar weruh sadarum, anane samita iki, sira kabeh poma-poma, anakingsun para murid, sireku aywa sembrana, weruha rasaning tulis.<br />Dene sira yen wis weruh, kekerana ingkang werit, aywa umyung pagerana, aywa sembarangan kuwi, nganggo duga kira-kira, aywa dumeh bisa angling.<br />Lan maneh aywa kawetu, mring wong ahli syara’ nenggih, yen maido temah kopar, karana rerasan iki, ora amicara syara’, amung sajatining ‘ilmi.<br />Ingkang renteng ingkang racut, tan ana kaetang malih, caritane soal ika, pada anggiten ing batin, dadi wijange sadaya, sira ingkang ahli budi.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-62129423899199228552009-01-01T19:22:00.000-08:002010-08-13T19:41:08.360-07:00- - SULUK KADRESAN - -Karya Sunan Bonang<br /><br />1.<br />………………….<br />La ilaha puniku<br />amot isbat kalawan nafi<br />jatine ana ora<br />iku tegesipun<br />Paneran asipat ora<br />in orane sampun awit ananeki<br />ananeku nakirah.<br /><br />2.<br />Nafi nakirah lan nafi jinis<br />mapan iku jinisin Paneran<br />kan nafi naten isbate<br />nafi lan isbat iku<br />nora pisah pan ora tungil<br />nafi kalawan isbat<br />nafi karonipun.<br /><br />3.<br />Nafi roro winaleran<br />denin illa karone tan kena manjin<br />marin lapal illa ‘llah<br />hih ra Wujil kawruhana malih<br />kan isbat iku reke den-nata<br />atuduh marih musbate<br />dalil kalawan madlul<br />iku reke saminireki<br />inkan lapal illa ‘llah<br />musbat aranipun<br />mutlak iku isimullah<br />tan kena liyanena Paneran kalih<br />anin lapal illa ‘llah.<br /><br />4.<br />Panreneninsun inuni<br />in wretanira sah mulya<br />anataken in jatine<br />tafsirin nafi isbat<br />kan satuhune nora<br />nafi jinis aranipun<br />kapindo nafi nakirah.<br /><br />5.<br />Tegesin kan nafi jinis<br />sajati-jatinin ora<br />mapan tan ana anane<br />tegesin nafi nakirah<br />ana lawan pinurba<br />arane (r. anane) kalawan tuduh<br />iku jatinin nakirah.<br /><br />6.<br />Kan ibarat nafi jinis<br />atuduh in dawakira<br />mapan tan-ana deweke<br />yogya sama nawruhana<br />denin basa nakirah<br />nora mojud nora ma’dum<br />pan tan kena winicara.<br /><br />7.<br />Anin ta malih sireki<br />sampun ora amicara<br />in roro iku arahe<br />iku inaranan ora<br />jen tan anaa pisan<br />iku inaranan suwun<br />leyep datanpa temahan.<br /><br />8.<br />Sakatahin dumadi<br />inaran nafi nakirah<br />atuduh anane dewek<br />pan dudu anane dawak<br />nafi jinis inaran<br />tan ana amamadeku<br />lawan sifatin paneran.<br /><br />9.<br />Karone iku pan nafi<br />kalawan tegesin illa<br />illa iku wawalere<br />nafi jinis lan nakirah<br />wiwinalera illa<br />nafi roro aywa kumpul<br />lan isëbatin paneran.<br /><br />10.<br />Yen tan awalera malih<br />nafi roro lan isebat<br />yakti akumpul karone<br />karane sinelan illa<br />tanpa weh yan awora<br />tegesin illa ‘llah iku<br />yen isbat kalamiyah.<br /><br />11.<br />Tegesin mahiyah teki<br />isbatena balaka<br />narani arane dewek<br />lan isbat ma’arifat<br />anen anane dawak<br />sampune ujar puniku<br />aniri Paneran kan ana.<br /><br />12.<br />Wonten kapangih in tulis<br />lamon roro sifatin yan<br />sampun tan wikan tatane<br />tuhu sifatin paneran<br />nafi lawan isebat<br />sakin kitabilirumuj (?)<br />Paneran asifat nora.<br /><br />13.<br />Sifatin yan nafineki<br />nora johar nora ‘aral<br />mapan tan ana makame<br />ananin yan tanpa zaman<br />iku kan aran ora<br />nafi jinis aranipun<br />dudu paneran kan ana.<br /><br />14.<br />Kan aran nafi hakiki<br />masasiku in paneran<br />johar ‘aral makam reke<br />zaman kan inaran ora<br />rehe anin Paneran<br />sin anorakena kufur<br />iku in patan madahab.<br /><br />15.<br />Isbatin yan hakiki<br />iku sifat subutiyah<br />hayun alimun sakehe<br />masasiku in paneran<br />kan ajal la wan abad<br />ananin asiya iku<br />sabab manka kanataan.<br /><br />16.<br />Mankana ananireki<br />inaran wujud aba’ad<br />sakin Paneran anane<br />oranira pan saki(n) yan<br />tan anen dawakira<br />tegesin aba’ad iku<br />denih ana lawan ora.<br /><br />17.<br />Mankana kan nafi jinis<br />tan kinaranan aba’ad<br />denin tan ana anane<br />kunen anane Paneran<br />dudu wujud aba’ad<br />tan aba’ad ananeku<br />tan kaworan denin ora.<br /><br />18.<br />Mankana ananireki<br />dudu nafi tan islbat<br />karone iku deweke<br />yogya sama nawruhana<br />denin basa nakirah<br />nora mojud nora ma’dum<br />pan tan kena winicara.<br /><br />19.<br />Arin ta malih sireki<br />sampun ora amicara<br />in roro iku arahe<br />lamon wasilin wicara<br />ananin kan nakirah<br />ananin yan mahaluhür<br />iku arah kan sampurna.<br /><br />20.<br />Sampun ta sira misingih.<br />mapan iku sabdanin yan<br />den-wikan in patitise<br />kapin kalih ananira<br />tan anen dawakira<br />dati ra dawak pan suwun<br />sapisan-pisan tan ana.<br /><br />21.<br />Mapan kajatinireki<br />anane pada lan ora<br />pan pakone kan agawe<br />duk pinasiliyan tinal<br />ya ta iku kuwasa<br />aninali lan andulu<br />katon kan aduwe tinal.<br /><br />22.<br />Sakatahin kan dumadi<br />muhal yan anaa dawak<br />badane lawan nawane<br />iku minanka paesan<br />in sifat jamalullah<br />batinih manusya iku<br />mapan kinarya tuladan.<br /><br />23.<br />Ujare kan aninali<br />ki Jaed in dalem griya<br />norana won lanari reke<br />anen ki Jaed kan ana<br />ujare kan tuminal<br />saderah paninalipun<br />dudu ki Jaed kan ora.<br /><br />24.<br />Karane paninal iki<br />kan ora lan anakirah<br />lanan mubaham arane<br />dudu satuhunin lanan<br />inkan lanan mahiyat<br />anin ki Jaed kadulu<br />mapan lanan ma’arifat.<br /><br />…………………………<br />…………………………<br />…………………………<br /><br />27.<br />Uni insun aninali<br />in wayane ki ki dalan<br />duk Darmawansa akonkon<br />in Kresna marin Nastina<br />kinen anjabel pura<br />Korawa sata tan pasun<br />suka pnjahen payudan.<br /><br />28.<br />Pacehnisun aninali<br />in polahe san awayan<br />sakehe anane dewek<br />kan akon lan kan winekas<br />kan paranin konkonan<br />datan lyana kan kadulu<br />anin ujare ki dalan.<br /><br />29.<br />Pan tan ana bedaneki<br />kan amujya lan pamujya<br />karone anane dewek<br />pan tan kena pisahena<br />ananin saniskara<br />in manke lawan in danu<br />ya ananin kan in kuna.<br /><br />30.<br />Inkan rasa aninali<br />dipun sami amicara<br />kalingihana yaktine<br />takenakena den-nata<br />sampun amuhuri warta<br />den-wikan in wuwusipun<br />aja sira nankah-anka(h).<br /><br />31.<br />Anin ta malih sireki<br />sampun korup in wilapa<br />kewala iku dumahwe<br />animbalaken carita-<br />nira kan mahamulya<br />arsa analini pupuh<br />atëmban asmaradana.<br /><br />32.<br />Mankana inkan anulis<br />anama Ibraismara<br />kaya inugun polahe<br />datan anlirin kainan<br />kadi edan inumbar<br />kan ora-ora den-wuwus<br />saya nlayuh brantininwan.<br /><br />33.<br />Cumantaka milwen nawi<br />suka cacaden in para<br />denin wan kaya aname<br />marmanya anapus gita<br />denin anrena wreta<br />tan kuwasa nimpen wuwus<br />dadyatemah paguywan.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8086567183802465075.post-5171453239088683402009-01-01T18:58:00.000-08:002010-08-13T19:41:46.417-07:00- - SERAT RASA JATI - -LUKITANING RASA JATI<br /><br />Rasa sejati pinangkanipun saking Gusti Allah. Tanpa rasa sejati, manungsa boten leres wonten ngarsaning Pangeran.<br /><br />PUPUH I<br /><br />ASMARANDANA<br /><br />01<br /><br />Rasa sejatinya jalmi, kanggonan rasaning Allah, sejati temen tegese, manungsa ingkang kanggonan, mring temennya Pangeran, darbe rasa jatinipun, marma Allah temen pyambak.<br /><br />02<br /><br />Wateknya rasa sejati, kalangen mring katemenan, sengsem mring kanyataane, den pilalah lara lapa, tan arsa karya cidra, sengit mring catur andlurung, trisna mring catur kang nyata.<br /><br />03<br /><br />Embaning sukma sejati, yaiku rasa kang seca, sukma suci pangiride, kang nuntun mring kataan, tan arsa tetepungan, mring pakarya ingkang luput, malalah mijil pamelahnya.<br /><br />04<br /><br />Pitulunging sukma suci, marang sejatinya rasa, ngrowangi karya sirnane, rasa kang ala punika, ingkang sengsem mring dosa, supaya uripnya iku, anut sejatining rasa.<br /><br />05<br /><br />Wong anut rasa sejati, kalangkung suka pirena, mring pakarya becik kabeh, nyegah mring pakarya ala, siyang latri tan pegat, madhep mring tindak kang tuhu, ing ngabyantara Pangeran.<br /><br />06<br /><br />Sukma suci tansah kanthi, ngrowangi sejati rasa marma dahat ing trisnane, dennya atunggal karenan, siyang latri tan pisah, selaminya asih lulut, anut lan palastra.<br /><br />07<br /><br />Kang kalih saeka kapti, tegese nunggal ing karsa, saeka praya ciptane, karsanya sejati rasa, inguja saben dina, dahat dennya anjumurung, mring karsa sejati rasa.<br /><br />08<br /><br />Sarehning rasa sejati, ngembang sejatining sukma, sukma suci anut bae, kautus dening Gustinya, nulung sejati rasa, atas karsane Hyang Agung, tindaknya sukma kang mulya.<br /><br />09<br /><br />Wateking rasa sejati, sengit marang kadurjanan, mring becik dahat asihe, becik trus rasaning driya, tuhu suci ing karsa, siyang latri amanekung, mring Allah kang Maha Mulya.<br /><br />10<br /><br />Tan pegat muja semedi, lir pendah ilining tirta, siyang latri mili bae, lirnya mikir lan ambudya, engeting jati rasa, siyang latri ya lumintu, angesthi angestu pada.<br /><br />11<br /><br />Ngucap tobat ping sakethi, ngucap kapok ping sayuta, yen suwung rasa jatine, pangucapnya kadya ampas, liring ampas pan sepa, tan katrima mring Hyang Agung, wit Allah priksa meing cipta.<br /><br />12<br /><br />Salat gaib rasa jati, konjuk mring Gusti Allah, Hyang Widi mengku gaibe, tan arsa ginunggung jalma, ngesti nggunggung Pangeran, iku sujud kang satuhu, renaning sejati rasa.<br /><br />Suraosing gesang ingkang nunggil kaliyan suraosing Gusti Allah, punika kahurmatan lan pangabekti, saged langgeng wonten ing pejah saha gesang, punapa malih begja utawi cilaka.<br /><br />PUPUH II<br /><br />DHANDHANGGULA<br /><br />01<br /><br />Wateknya ingkang rasa sejati, asring sungkawa marang dosanya, dosa sajroning batine, dosa alus punika, lelabeting dosa ing uni, ingkang wus den apura, kalawan Hyang Agung, pan isih sumandhing tunggal, nging asring kagodha rasa sejati, marma asring sungkawa.<br /><br />02<br /><br />Rasa seca tan arsa mring sisip, lan tan arsa ngucap lalincutan, miwah catur mencla-mencle, ngesthi ngucap satuhu, lathi lidah ingkang ngladeni, karsanya ingkang seca, ywa manabda lunyu, lathi cidra singkirana, lamis lonyot ulas-ulas, tedheng aling-aling, binirata ywa eman!.<br /><br />03<br /><br />Lamun anut mring rasa sejati, masthi datan kena ing rencana, ing salaminya uripe, nadyan tumekeng lampus, maksih angantepi mring yekti, dyan mati : rasa gesang, ingetung puniki ; pametungnya rasa seca, sarta malih ambeging rasa sayekti, dyan miskin mantep seca.<br /><br />04<br /><br />Temen ing ngarsaning Maha Suci, temen ugi ing ngarsa pra janma, iku temen sanyatane, pun temen ngajak luhur, yen dhasar temen trus ing ati, apan seca wacana, rasa kang satuhu, njunjung sejatining sukma, aneng donya tinulung mring sukma suci, kang badan nulya pasrah.<br /><br />05<br /><br />Ati wekel ngirid marang mukti, tuhu temen anjunjung mring drajat, lumuntur mring sih gedhe, wondene langgeng tuhu, mijilaken asih ing ati, pan iku aran urmat sejatinya iku, urmat mijil saking driya, pan puniku ingaran urmat sejati, ing ngarsaning Hyang Suksma.<br /><br />06<br /><br />Barang karsa tinimbang rumiyin, apa karya arjaning sesama, apa dadya ing rusake, karya sukaning kalbu, punapi temahaning wuri, lereh lirih tinimbang, mring rasa kang tuhu, ywa ngarah nikmat pribadya, yen wus cocok karsanya Hyang Maha Suci, tumulya linakonan.<br /><br />07<br /><br />Surasa lan mirasa sejati, loro iku reringkesnya eca, dudu ecaning badane, dudu ecaning turu, dudu ecanya lamun sugih, dudu ecaning raga, eca rasa alus, surasa nunggal ing Allah, pan puniku surasa ingkang sejati, rasa jroning wardaya.<br /><br />08<br /><br />Rasa ayem lan tentrem jro ati, senadyan jroning kasusahan, rasa rena ing atine, rasa marem ing kalbu, cipta rasa tunggal Hyang Widi, iku rasa kang nyata, rasanya Hyang Agung, dudu rasa dhadhaharan, nanging iku rasa nikmat jroning ati, ing ngarsanya Hyang Suksma.<br /><br />Manungsa ingkang nampeni dhawuhing Gusti Allah punika ingkang kangenan rasa sejati. Gadhah kamukten salebetipun nandhang nistha, saha kabegjan salebetipun sangsara. Tindaking gesangipun mboten miturut raosing hawa napsu.<br /><br />PUPUN III<br /><br />S I N O M<br /><br />01<br /><br />Surasa kang sejatinya, mung dhawuhe Hyang Maha Suci, surasa ingkang mirasa, tegesnya nikmat pribadi, datan wonten kang nyami, sanadyan eca sadarum, nglangkungi samudaya, lamun tinimbang sayekti, dening janma ingkang wus bangkit pangrasa.<br /><br />02<br /><br />Janma kang durung angrasa, ecaning dhawuh Hyang Widi, durung weruh mring surasa, ingkang mirasa sayekti, mung surasaning daging, wus lumrah janma sadarum, mung eca aneng lidah, gula tukon lawan ngutil, rasanya mring lidah leginya pan samya.<br /><br />03<br /><br />Nging jro kalbu kraos beda, lamun den timbang sayekti, keh janma tan arsa nimbang, mung sengsem nikmating lathi, kang wus rasa sejati, pana niku datan kolu, rasa amin datan arsa, puniku rasa sejati, marma rasa sejati rasa sanyata.<br /><br />04<br /><br />Janma darbe rasa nyata, yen manggih baranging janmi, sanadyan agung artinya, apadene yen sathithik, tamtu tan kolu ngati, daruna rasaning kalbu, wus sejatining rasa, pan puniku rasa amin, rasa amin tumepung mring rasa Allah.<br /><br />05<br /><br />Tan ngucap dudu lan iya, yen “iya” pan “iya” yekti, tan arsa tedheng wacana, yen ngucap terus ing ngati, dudu sejati puniku, rasa jati tan arsa, yen dudu rasa sanyata.<br /><br />06<br /><br />Kena ginawa melarat, pan kena ginawa sugih, ya kena ginawa lara, kena ginawa ngemasi, mati marga sayekti, mati urip jatinipun, mati mungguh ing raga, sukma sejatinya urip, jroning pati sayektinya aneng gesang.<br /><br />07<br /><br />Aneng eca jroning lara, aneng mukti jroning pati, aneng sugih jroning mlarat, aneng suka jroning sedhih neng aji jroning isin, jroning asor aneng luhur, jro kalah ana menang, aneng wujud jroning gaib, baa gaib iku tegesenya samar.<br /><br />08<br /><br />Samar mring netranya janma, wujud netranya Hyang Widi, basa wujud iku : ana, samar ing netranya janmi, Allah ingkang nyimpeni, temennya janma sadarum, tamtu tan bisa musna, welasnya sawiji-wiji, sandyan ingkang becik lawan kang ala.<br /><br />Tiyang ingkang kanggenan rasa sejati punika mikir lan ngatos-atos menggah ing tindakaing gesangipun.<br /><br />PUPUH IV<br /><br />K I N A N T H I<br /><br />01<br /><br />Sejatining rasa iku, temen ing ngarsa Hyang Widi, marma den bangkit angrasa, mring dhawuhnya Maha Suci, pan iku surasa mulya, surasa ingkang linuwih.<br /><br />02<br /><br />Panindak ing donya iku, tumindaknya para janmi, mung eca raosing lidah kelawan ecaning lathi, lan eca priksanya tingal, tanpa rasa jroning ati.<br /><br />03<br /><br />Daruna atinya suwung, tan isi rasa sejati, kalindhih mring rasa ala, lan rasa peneuting daging, tuwin rasa drengki srakah, tebih mring rasanya Gusti.<br /><br />04<br /><br />beda lan rasa satuhu, tepung mring rasanya Gusti, andhap asor jroning driya, lereh lirih jroning pikir, sanadyan nabda sawanda, tinimbang lan jroning ati.<br /><br />05<br /><br />panabda kang mijil iku, condhong mring rasaning ati, aneng ngarsanya Hyang Suksma, tan nabda kang guru wani, tan anut enthenging lidhah, anut pikir kang sayekti.<br /><br />06<br /><br />Lamun wus mijil ing tembung, yen tan kanthi rasa yekti, pan dinuga wus kadosan, Mring Allah kang Maha Suci, iku watek rasa nyata, marma datan nulya angling.<br /><br />07<br /><br />Lah, punapi gunanipun, janma nabda mung kalahir, datan kanthi rasa nyata, pan duraka animbuhi, antuk dosa mring Hyang Suksma, ing donya mring akerat neki.<br /><br />08<br /><br />Rasa jati watekipun, karya becik sakeh janmi, kalawan mring kadang warga, suka becik anglangkungi, nadyan kinarya sungkawa, utawi winales serik.<br /><br />09<br /><br />Rinujita jroning kalbu, winuwus sajroning ati, wus tindaknya ngalam donya, arang kang eling mring asih, bobote Gusti piyambak, winales ala mring murid.<br /><br />10<br /><br />Tan ngamungaken puniku, nadyan Allah Maha suci, dahat asih tuwin murah, prandene arang kang eling, mring tresnanya Gusti Allah suprandene den sabari.<br /><br />11<br /><br />Mangkana rasanya kalbu, wong darbe rasa sejati, mring kuat sabaring driya, murih bangkit anglampahi, sirnaning durta angkara, tumanem angga pribadi.<br /><br />12<br /><br />Nglampahi karsa Hyang Agung, tumindak karsaning Gusti, sarasa mring Gusti Allah anunggal rasa mring Gusti, amrih tulus ing pamuja, kalawan rasa sayekti.<br /><br />13<br /><br />Puja tan mangkono iku, suwung ngarsaning Hyang Widi, endi aran kalakuwan, yen tan sabar marang juti, tan wurung anut mring dhustha, kena ginodha ing iblis.<br /><br />Gesang tanpa rasa sejati punika gesang tanpa guna, kados dene ukoraneki “urip iku minangka uyahing jagad, mangka manawa uyah iku ilang asine, kang kagawe mulihake asine apa? Wus ora ana paedahe apa-apa …. kajaba mung dibuwang lan kedakan dening wong”.<br /><br />PUPUH V<br /><br />P O C U N G<br /><br />01<br /><br />Munggweng sekar : piguna gandanya arum, dene munggweng uyah, migunani mring rasa asin, janma guna mring rasa ingkang sanyata.<br /><br />02<br /><br />Ngandel Allah : gunanya mring rasa terus nebut maring Allah, gunaning rasa sayekti, tyang sembahyang gunanya rasaning driya.<br /><br />03<br /><br />Sawarnanya : dhadharan pan sadarum, gunanya yen eca, gunanya gula yen legi, janma nabda : kang miguna kanyatan-nya.<br /><br />04<br /><br />Lamun janma : lawan suwung jroning kalbu, tan isi sanyata, kadya batinnya kang iblis, lamun nabda, mijil ingkang tembung ala.<br /><br />05<br /><br />Mugi eling : mring iblis kala rumuhun, mbujuk Ibu Kawa, akarya marganing pati, myang iblis dadya juru mateni janma.<br /><br />06<br /><br />Pan den emut : lamun mijil ing pamuwus, ywa nilar kang rasa, raos sajatining urip, marga urip iku sajatining sukma.<br /><br />07<br /><br />Ingkang rasa : emban-nya suksma puniku, yen lampus kang rasa, sukma jati anut mati, lirnya datan darbe urip ing klanggengan.<br /><br />08<br /><br />Rasa jati : yaiku urip satuhu, rasa temen driya, uga temen jroning ati, saranduning sarira ambantu samya.<br /><br />09<br /><br />Temen ingkang : ngajak trisna myang satuhu, mring becik sanyata, myang sabar ingkang sayekti, suci, adil, tuhu, temen lan prasaja.<br /><br />10<br /><br />Ngajak blaka : kalawan seca puniku, ing ngarsanya Allah, myang ngajengnya para janmi, kang supaya terang padhang lan pratela.<br /><br />11<br /><br />Rasa jati : tan uwas maras ing kalbu, sumangyeng mring Allah, nadyan lara tekeng pati, lamun lampus rumaseng mantuk mring suwarga.<br /><br />12<br /><br />Saben rina : sedyanya sajroning kalbu, bilih tekeng mangsa, pinundhut Hyang Maha Suci, tinggal raga, prasasat santun busana.<br /><br />13<br /><br />Pangrasanya : aneng donya mondhok namung akanthi sungkawa, marga godha warni-warni, saben ari myarsa swaranya dosa.<br /><br />14<br /><br />Rasa tuhu : bangkit, eling wijilipun, pan wijil ing swarga, nalika nunggal Hyang Widi, ing kono wijilnya sajatining rasa.<br /><br />Tiyang ingkang temen ing batos punika gadhah gesang langgeng, gesangipun rosa sarta mantep, boten kados dene baita ingkang kaoncat-ancitaken dening ombak.<br /><br />PUPUH VI<br /><br />P A N G K U R<br /><br />01<br /><br />Tyang kang wus temen batinya, gunging tindak lan manabda pan yekti, pangandelnya mring Hyang Agung, tan mandheg mangu ing tyas, pracayeng mring Gusti Hayang Agung, ing tyas tan araga-raga, mantep yekti jroning ati.<br /><br />02<br /><br />Trisnanya tan nganggang-anggang, nadyan mring Hyang Widi, tuwin mring sanak sadulur, akanthi kasucian, pan mangkono wateknya rasa satuhu, sadarum kalawan nyata, wijil saking temen ati.<br /><br />03<br /><br />Kathah tiyang sugih kencana, tuwin kathah janma asugih ngelmi, nanging tyang temen ing kalbu, punika awis arang, marma janma ingkang temen tuhu terus, iku sejatining janma, wus darbe urip sejati.<br /><br />04<br /><br />Lir urip satemennya, awit donya tumekeng akerat neki, urip langgeng wastanepun, iku uriping sukma, kang den wengku mring rasa sejatinipun, kang mawa bawa leksana, amijil labet syekti.<br /><br />05<br /><br />Tuhu temen darbe purba, amurwani dugeng wekasan neki, temen nanuntun mring tulus, myang darbe engetannya, bangkit tutug samubarang sedyaning laku, tinulung roh ing Allah, daruna temen ing ati.<br /><br />06<br /><br />Myang dora tan darbe purba, bangkit murwani, tan bangkit mungkasi, samubarang sedyanya wurung, sanadyan angawula, myang sanadyan atapabrata mring gunung, yen tan tumemen ing driya, sagung karsa tan dumadi.<br /><br />07<br /><br />Nadyan janma kang sembahyang, myang janma ngabekti mring Maha Suci, yen tan dhasar satuhu, pan iku tanpa guna, nadyan payah lathi, lidhah, badanipun, tan katrima mring Hyang Sukma, malah duraka mimbuhi.<br /><br />08<br /><br />Gusti Allah temen nyata, tan arsa milih mring sawiji janmi, tan milih mring para ratu, tan milih pra bupatya, nanging milih kang tumemen rasa tuhu, daruna Allah pribadya, dahat tuhu temen neki.<br /><br />09<br /><br />Gusti Allah munggweng swarga, nanging pra janma munggweng donya neki, yen darbe rasa satuhu, nunggal rasa mring Allah, Gusti Allah tetulung mring janma iku, lumantar rohnya pribadya, pan puniku sukma suci.<br /><br />10<br /><br />Upama yayah myang putra, lan malih ingkang bendara myang abdi, yen rasanya tunggal tuhu, yayah nulungi putra, myang bendara nulungi mring abdinipun, pang mangkono munggeng Allah, nulungi janma kang yekti.<br /><br />11<br /><br />Nyata tiyang sejati rasa, tan arsa jumurung mring kang tan yekti, mangkono wataknya kalbu, sandyan aneng ngabyantara Sang Prabu, tan molah-malih aturnya, panggah mantep atur neki.<br /><br />12<br /><br />Tan arsa dora manabda, nadyan tinandukan manabda manis, tyang tindak-tanduk kang alus, sanadyan ingopahan, tan arsa mring mangrapu basa puniku, nadyan malih ing ngajrihan, datan ngekes jroning ati.<br /><br />13<br /><br />Pangarjita ing wardaya, nadyan tekeng titimangsanya pati, yen marganing seca tuhu, iku sedyaning rasa, esthinya ssejatining uri puniku, sarana tekad sanyata, donya trusing akerat neki.<br /><br />14<br /><br />Sanadyan miskin myang kaya, urip kanthi tentrem marem ing ati, tan darbe murkaning kalbu, tansah gung panarima, tansah rumangsa sugih lir pendah ratu, myang badan kadya wit pisang, pisah sukma bosok nuli.<br /><br />15<br /><br />Prameswari lan Narendra, ing wuri tamtu basah lawan bacin, nadyan putri ayu langkung, wuri mangkono uga, saking dosa purwannya, tyang keneng lampus, wus tan kena sinelakan, dumrojog yen wus pinasthi.<br /><br />Wit kang becik iku ora bisa ngetokake woh kang ala, lan wit kang gering iku ora bisa ngetokake woh kang becik.<br /><br />PUPUH VII<br /><br />MASKUMAMBANG<br /><br />01<br /><br />Lamun janma kanggonan rasa sejati, datan alumah, anyaring karsaning budi, sanadyan mangan lan nyandhang.<br /><br />02<br /><br />Lan tinimbang lan praptanya ingkang bukti, nrima saananya, idhep-idhep nglakoni, mring karsanya Gusti Allah.<br /><br />03<br /><br />Yen wungu, ngadeg, lenggah, tansah ambudi, murih tinarima, mring Allah kang Maha Suci, mangkono ciptaning rasa.<br /><br />04<br /><br />Nambut karya kalawan tuhuning ati, ing saben arinya, antuk kedhik, nedha thithik, antuk agung, nedha kathah.<br /><br />05<br /><br />Lamun dakan mangkono ingkang pambudi, tan dadya tyang nyata, tan nrimeng pandumnya Widi, myang anggrangsang aluamah.<br /><br />06<br /><br />Lawan antuk pangonggronging para janmi, sembrana andadra, supaya myang karsa gusti, pan mimbuhi mring duraka.<br /><br />07<br /><br />Angel, ewuh, janma ngawulwng mring Gusti, myang ngawuleng Allah, ayun paraken mring Gusti, lumantara saking nyata.<br /><br />08<br /><br />Lamun ngaji unining Kitab kang Suci, parlu pan rinasa, surasanya kang sayekti, nulya sinimpen ing driya.<br /><br />09<br /><br />Lamun ngaji aliya Kitab kang Suci, myang tulis mawarna, becik rinasa sayekti, kang muni jroning tulisnya.<br /><br />10<br /><br />Sagung karsa, ngadeg, lenggah pan ambudi, supayeng tambahnya, kang dadya sektining batin, pamijilnya kanyataan.<br /><br />11<br /><br />Upami sekar gadhing, kenanga, melathi, mijil ingkang ganda, arunya pan angambari, myang tinariksa mirana.<br /><br />12<br /><br />Tuhuning tyas mijil ingkang ganda becik, ngambar mring manungsa, ingkang warta meratani, binekta sewaraning janma.<br /><br />13<br /><br />Umpaminya : wit blimbing pan awoh blimbing, janma tuhu seca, mring rasa ingkang sejati, tamtu awoh kanyataan.<br /><br />14<br /><br />Pan iku panengran ingkang sejati, tyang temen ing driya, tan kena binekten sisip, ing donya tekeng ngakerat.<br /><br />15<br /><br />Ati becik mijilken pakaryan becik, lamun ati ala, umijil pakarya sisip, tan becik donya myang kerat.<br /><br />16<br /><br />Gandanya lampus myang ganda ingkang urip, tamtu kawistara, ganda becik marang urip, ganda ala mring palastra.<br /><br />Sa-ngalam donya punika betah tiyang temen.<br /><br />PUPUH VIII<br /><br />M E G A T R U H<br /><br />01<br /><br />Sapa temen, tinemenan mring Hyang Agung, pamintanya kinabuli, ing donya myang keratipun, wus malbeng bebasan neki, jangka, prapta, cipta dados.<br /><br />02<br /><br />Pangarsaning paminta, yen kanthi laku, wus wajib bangkit anampi, yen mring laku kang satuhu, tan kekilapan Hyang Widi, mring tyang tuhu temen batos.<br /><br />03<br /><br />Lan malih janma kang tuhu, temen terus, yen nuju cinoba janmi, pan tinemu seca tuhu, nadyan awarni pawestri, myang busana ingkang mramong.<br /><br />04<br /><br />Watak temen pan kautaman kang punjul, datan mijil kang nyameni, sagunging piala luput, datan milik untung najis, mangkono wateking batos.<br /><br />05<br /><br />Watak kang tuhu seca kepengin wuwuh, mring tindak becik lan adil, ana ngarsane Hyang Agung, trisna, sabar, andhap budi, ngesthi karsanya Hyang Manon.<br /><br />06<br /><br />Watak temen ngungkuli kancana murub, nglengkungi inten kang adi, marga kanggep mring Hyang Agung, kang jumeneng ing suwardi, panggepnya datan pedhot.<br /><br />07<br /><br />Katemenan dhasarnya saking Hyang Agung, wijining rasa sejati, amung temenya Hyang Agung, kang tuhu, temen pribadi, iku temening Hyang Manon.<br /><br />08<br /><br />Marmanya janma kang tuhu temen terus, benjang kajen mring Hyang Widi, wondene ing donyanipun, ingajenan mring pra janmi, samya pracayeng ing batos.<br /><br />09<br /><br />Para manungsa, bangsa asor myang luhur, ngupaya tyang seca yekti, dadya tandha janma tuhu, ingajenan para janmi, lan malih para Sang katong.<br /><br />10<br /><br />Pana kawan kalawan gamel puniku, ngupaya tyang temen yekti, kinarya gamel puniku, juru pangon bebek ugi, ngupaya tyang temen yektos.<br /><br />11<br /><br />nadyan tyang ambeg ala jutimyang gemblung, yen ingapusan mring janmi, datan narimeng ing kalbu, tamtu mijil ingkang muring, terkadhang nulya anjotos.<br /><br />12<br /><br />iku pratandha yen arsa seca tuhu, nanging badanya pribadi, sungkan mring tindak kang tuhu, tyasnya ingkang dadya saksi, tindak mogok mring Hyang Manon.<br /><br />Tiyang ingkang temen dhumateng Pangeran, dipun welas temen.<br /><br />PUPUH IX<br /><br />M I J I L<br /><br />01<br /><br />Sapa anut rasa kang sayekti, rukun maring Hyang Manon, sapa anut gorohe, iku ngrojongi setan myang iblis, witing goroh iblis, nging yekti Hyang Agung.<br /><br />02<br /><br />Tyang miskin anut mring rasa yekti, begjanya kinaot, nglangkungi janma sugih wijile, marga lir tyang ginodha mring iblis, tan was nganti mati, upamanya iku.<br /><br />03<br /><br />Akeh janma ngawula mring iblis, pan datan rumaos, lamun janma arsa mring gorohe, anut mring sedyaning tyas kang sisip, salaminya urip, ngawuleng iblis iku.<br /><br />04<br /><br />Suprandene samya ngaku wasis, tan wruh yen kajlomprong, marga suwung ing rasa batine, datan darbe rasa kang sejati, pan samya ngapusi marang sukmanipun.<br /><br />05<br /><br />Beda tiyang anut rasa sejati, wus tepung Hyang Manon, Nabi Brahim myang Sarah garwane, kadya Nabi Yunus duk ing nguni, Nabi Dawud ugi.Wong Galurunghttp://www.blogger.com/profile/14819006600354462990noreply@blogger.com1