Kamis, 01 Januari 2009

SEKILAS SEJARAH MAKAM SYEKH QURO


Makam Waliyullah Syekh Qurotul’ain,terletak di Kampung Pulobata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Karawang.bangunan yang berdiri megah itu,pada saat sekarang menjadi tempat berkunjung
Para penziarah dan PARIWISATA RELIGIUS dari berbagai pelosok Nusantara.mereka datang,khususnya setiap Jum’at malam Sabtu atau sering,orang-orang menyebutnya istilah Sabtuan.Karamat Pulobata adalah,Situs sejarah Isalam yang merupakan asset kabuapten karawang dalam bab Paraiwisata dan menjadikan suatu aset penting dan berharga bagi desa Pulobata yang utama.

Konon kabarnya,Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin.beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ualam yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya.Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah,penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali Ra.dan Siti
Fatimah putri Rosulullah SAW.

Pada waktu itu tanah Jawa masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran dan masih menganut agama Hindu,dengan seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang,Kekuasannya pabu tersebut meliputi wilayah Karawang.sebelumnya datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi,Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa berawal ,lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon.disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati,yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan, oleh masyarakat sekitar.mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.

Penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa,rupanya sangat mencemaskan raja Pajaran Prabu Anggalarang,sehingga pada waktu itu,penyebaran agama Islam agar dihentikan.Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro.namun,kepada utusan dari Raja Pajaran
yang mendatangi Syekh Quro,beliau mengingatkan,meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya tapi kelak, dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Waliyullah.

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa,di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang,untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro.Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya,dengan menggunakan Perahu dagang.dan serta didalam rombongan adalah,Nyi Mas Subang Larang,Syekh Abdul Rahman.Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.

Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum,yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran,akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut,Pura Dalem.mereka masuk Karawang sekitar 1416 M.yang mungkin dimaksud Tangjung Pura,dimana kegiatan Pemerintaahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem..Karena rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan,sehingga aparat setempat sangat menghormati dan,memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.Setelah beberapa waktu berada di pelabuahan Karawang,Syekh Quro menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ).dari urainnya mudah dipahami dan mudah diamalkan,ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya,Nyi Subang Larang,Syekh Abdul Rohman,Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti ,Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).

Berita kedatangan kembali Syekh Quro,rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa,sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya.untuk menutup pesantren Syekh Quro.utusan yang datang itu adalah Putra Mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. sesampainya di pesantren putra mahkota tersebut hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang,”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,”

Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut.Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa,menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya.Lalu,akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya.Pinangan tersebut diterima tapi,dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus,yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid.

Selain itu,Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu,agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja.seterusnya menurut cerita,semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa.Atas petunjuk Syekh Quro,Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.

Di tanah suci Mekkah,Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik.Prabu Pamanah Rasa merasa keget,ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek.Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan,Dua Kalimah Syahadat.yang makna pengakuan pada Allah SWT,sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan, Muhammad adalah utusannya.

Semenjak itulah,Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh,mulai dari itu,Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya.Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran,Untuk melangsungkan pernikahannya denga Nyi Subang Larang waktu ters berjalan maka pada tahun 1422 M,pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro.setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.

Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3anak yaitu:
1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)
2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).

Setelah melewati usia remaja,Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur Jati di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.

Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji,maka Raden Walang Sungsang
Menjadi Pangerang Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih.Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke Mekkah diperisteri oleh Sultan Mesir yang bernama Sarif Abdulah (Raja Mesir),sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan raja Mesir,Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim,dari hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra.masing-masing bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.Setelah ayahnya meninggal dunia,jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah,sedangkan Syarif Hidayatullah meneruskan menimba ilmu agama islam
dari ulam Mekkah dan Bagdad.

- - SERAT GATOLOCO - -

FALSAFAH GATOLOCO
Ngemot Falsafah Kawruh Kawaskitan
Miturut babon aslinipun
Kagubah dening : Prawirataruna
Ing awale abad 20 Masehi
Katiti-pariksa
Sarta kasalinan aksara Latin
Dening : R. Tanoyo
Penerbit S. Mulyo, Solo
————————————————————————————————–
Purwaka
PUPUH I
Mijil
Prana putek kapetek ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kekese, taman bangkit upami nyelaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.
Yroning kingkin sinalamur nulis, serat Gatoloco, cipteng nala ngupaya leyare, tar len muhung mrih ayeming galih, ywa kalatur sedih, minangka panglipur.
Kyai Guru Tetelu Ing Pondok Rejasari
Kang kinarya bebukaning rawi, Reyasari pondok, wonten Kyai yumeneng Gurune, tiga pisan wasis muruk ilmi, katah para santri, kapencut maguru.
Bakda subuh wau tiga Kyai, ruyuk casnya condong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar enying, sareng angkatipun.
Murid nenem umiring tut wuri, samya anggegendong, kang ginendong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iyi, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.
Ingkang ugi dadya guru santri, ing Cepekan pondok, Kyai Hasan Besari namane, wus misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra guru maguru.
Datan wonten ingkang animbangi, pinunyul kinaot, langkung ageng pondokan santrine, krana saking katahipun murid, uyaring pawarti, pinten-pinten atus.
Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, sepi mendung sumilak langite, saya siyang lampahnya wus tebih, sunaring hyang rawi, saget benteripun.
Marma reren sapinggiring margi, ngandap wringin ayom, ayem samya anyereng kacune, tinamakken ayoming waringin, pan kinarya linggih, yengkeng semu timpuh.
Ecisira cinublesken siti, murid sami lunggoh, munggeng angarsa ayeyer lungguhe, kasiliring samirana ngidid, pating clumik muyi, tesbehnya den etung.
Murid nenem ambelani muyi, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedeg-gedeg, dereng dangu nulya aningal, mring sayuga nyanmi, lir dandang lumaku.
Gatoloco Lan Candrane
PUPUH II
Dandanggula
Endek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut tepung, irung sunti cangkeme nguplik, waja gingsul tur petak, lambe kandel biru, janggut goleng semu nyentang, pipi klungsur kupingira anjepiping, gulu panggel tur cendak.
Pundak broyol semune angempis, punang asta cendak tur kuwaga, ting carentik dariyine, alekik dadanipun, weteng bekel bokongnya cantik, semu ekor dengkulnya, lampahipun impur, kulit ambesisik mangkak, ambengkerok napasira kempas-kempis, sayak lesu kewala.
Bedudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge semu bang, asungsun tiga pontange, bongkot tengah lan pucuk, timah budeng ingkang kinardi, cupak ireng tur tuwa, gripis nyenyepipun, meleng-meleng semu nglenga, labet saking kenging kukus saben ari, pangoturik den asta.
Kandutane klelet gangsal glinding, alon lenggah caket Guru tiga, sarwi angempos napase, kapyarsa senguk-senguk, gandanira prengus asangit, tumanduk mring panggenan, santri ingkang lungguh, Gatoloco ngambil sigra, kandutane tegesan kang aneng kendit, gya nitik karya brama.
Nulya udut kebulya ngebuli, para santri kawratan sedaya, asengak sanget sangite, murid nenem tumungkul, mergo sarwi atutup rai, saweneh mites grana, kang saweneh watuk, mingser saking palenggahan, samya pindah neng wurine guruneki, nyingkiri punang ganda.
Guru tiga waspada ningali, mring wujuja ingkang lagya prapta, kawuryan mesum ulate, sareng denira nebut, astagafiru’llah hal ‘adlim, dubi’llah minas setan, ilaha la’llahu lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.
Janma ingkang rupane kajeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, pada tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan weruh sakehing nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng achirat, rikel sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wekasingwang.
Ingkang petel sinauwa ngaji, amrih weruh syara’ Rasulu’llah, slamet dunya achirate, sapa kang neja manut, ing sari’at Andika’ Nabi, mesti oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nemu cilaka, Ahmad ‘Arif mangkana denira eling, janma iku sunkira.
Dudu anak manusa sayekti, anak belis setan brekasakan, turune memedi wewe, Gatoloco duk ngrungu, den wastani yen anak belis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawetu ngungkapi gembolanira, kleletipun sajebug sigra ingambil, den untal babar pisan.
Pan sakala endeme mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung kalawan sungsum, kekiyatan sadaya pulih, kawistara njrebabak, cahyanipun santun, Guru tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.
Abdu’l Jabar ngucap mring Mad ‘Arif, lah ta mara age takonana, apa kang den untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngendi, apa panggotanira, ing sadinanipun lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.
Ora ngreti nyara’ lawan sirik, najis mekruh batal lawan haram, mung nganggo senenge dewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, angger doyan pinangan, ora nduwe gigu, tan pisan wedi duraka, Ahmad Arif mrepeki gya muwus aris, wong ala ingsun tannya.
Bebantahan Ilmu
Lah ta sapa aranira yekti, sarta maneh ngendi wismanira, kang tinannya lon saure, Gatoloco aranku, ingsun janma lanang sajati, omahku tengah jagad, Guru tiga ngrungu, sareng denya latah-latah, bedes buset aran nora lumrah janmi, jenengmu iku haram.
Gatoloco ngucap tannya aris, dene sira pada latah-latah, anggeguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, krana saking tyasingsun geli, gumun mring jenengira, Gatoloco muwus, ing mangka jeneng utama, gato iku tegese sirah kang wadi, loco pranti gosokan.
Marma kabeh pada sun-lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun-sauri bae, tetelu araningsun, kang sawiji Barang kinisik, siji Barang panglusan, nanging kang misuwur, manca pat manca lelima, iya iku Gatoloco aran-mami, prasaja tandha priya.
Kyai Guru mangsuli tan becik, jenengira iku luwih ala, jalaran banget sarune, haram, najis lan mekruh, iku jeneng anyilakani, jeneng dadi duraka, jeneng ora patut, wus kasebut jroning kitab, nyirik haram yen mati munggah suwargi, kang haram manjing nraka.
Gatoloco menjep ngiwi-iwi, gya gumujeng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana ujare, syara’ira kang kliru, sapa bisa angelus wadi, yekti janma utama, iku apesipun priyayi kang lungguh demang, myang panewu wadana kliwon bupati, liyane ora bisa.
Rehning ingsun tan dadi priyayi, mung jenengku jeneng wadi mulya, supaya turunku tembe, dadi priyayi agung, ‘Abdu’ljabar angucap bengis, dapurmu kaya luwak, nganggo sira ngaku, lamun sajatine lanang, Gatoloco gumujeng alon nauri, ucapku nora salah.
Ingsun ngaku wong lanang sajati, basa lanang sajati temenan, wadiku apa dapure, sajati tegesipun, ingsun urip tan neja mati, Guru tiga angucap, dapurmu lir antu, sajege tan kambon toya, Gatoloco macucu nulya mangsuli, ewuh kinarya siram.
Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus genine, jro badan isi latu, yen resika sun-gosok siti, asline saking lemah, sun-dusana lesus, badanku sumber maruta, tuduhena kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.
Asal banyu yekti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatoloco sru saure, sira santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh, satemene bae iya, ingsun adus tirta tekad suci ening, ing tyas datan kaworan.
Bangsa salah kang kalebu ciri, iya iku adusing manusa, ingkang sabener-benere, Kyai Guru sumaur, wong dapure lir kirik gering, sapa ingkang pracaya, nduwe pikir jujur, sira iku ingsun-duga, ora nduwe batal haram mekruh najis, weruhmu amung halal.
Najan arak iwak celeng babi, angger doyan mesti sira-pangan, ora wedi durakane, Gatoloco sumaur, iku bener tan nganggo sisip, kaja pambatangira, najan iwak asu, sun-titik asale purwa, lamun becik tan dadi seriking janmi, najan babi celenga.
Ngingu dewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang, halale ngungkuli cempe, sanajan iwak wedus, yen asale srana tan becik, haram, lir iwak sona, najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dewe awit genjik, luwih saking maenda.
Najan wedus nanging nggonmu maling, luwih babi iku haramira, najan mangan iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dewe marang wanadri, dudu celeng colongan, halale kalangkung sanajan iwak maesa. Yen colongan luwih haram saking babi, ujarnya Guru tiga.
Luwih halal padune si belis, pantes temen uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan duwe beras pantun, sandangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajege tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake legi gurih, kuru tan darbe wisma.
Gatoloco ngujap anauri, ingkang sugih sandang lawan pangan pirang keti momohane, kalawan pirang tumpuk, najis ingkang sira-simpeni, Guru tiga duk myarsa, gumuyu angguguk, sandangan ingkang wus rusak, awor lemah najisku kang tibeng bumi, kabeh wus awor kisma.
Gatoloco anauri malih, yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda kalawan ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurebing akasa, dadi darbekingsun, kang anyar sarwa gumebyar, sun-kon nganggo marang sanak-sanak-mami, ngong trima nganggo ala.
Apan ingsun trima nganggo iki, pepanganan ingkang enak-enak, kang legi gurih rasane, pedes asin sadarum, sun-kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat gesang, dene ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, sun-tulisi sastrane salikur iji, sun simpen jroning manah.
Ingsun dewe mangan saben ari, ingsung milih ingkang luwih panas, sarta ingkang pait dewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang kaeksi, mulane kang bawana, pada metu kukus, tumuse geni sun-pangan, ingkang dadi padas watu lawan curi, klelet ingkang sun-pangan.
Sadurunge ingsun ngising najis, gunung iku yekti durung ana, benjang bakal sirna maneh, lamun ingsun wus mantun, ngising tai metu teka silit, titenana kewala, iki tuturingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, layak kuru tan pakra.
Gatoloco sigra anauri, mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti Jeng Nabi rasul, saben ari ingsun turuti, tindak menyang ngepaken, awan sore esuk, mundhut candu lawan madat, dipun dahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan.
Kanjeng Rasul yen tan den turuti, muring-muring banget anggone duka, sarta banget paniksane, ingsun tan bisa turu, Guru tiga samya nauri, mung lagi tatanira, Kanjeng Nabi Rasul, karsa tindak mring ngepaken, Kangjeng Rasul pepundene wong sabumi, aneng nagara Mekah.
Gatoloco anauri aris, Rasul Mekah ingkang sira-sembah, ora nana ing wujude, wus seda sewu taun, panggonane ing tanah ‘Arbi, lelakon pitung wulan, tur kadangan laut, mung kari kubur kewala, sira sembah jungkar-jungkir saben ari, apa bisa tumeka.
Sembahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nembah Rasule dewe, siya marang uripmu, nembah Rasul jabaning diri, kabeh sabangsanira, iku nora urus, nebut Allah siya-siya, pating brengok Allah ora kober guling, kabebregen suwara.
Rasulu’llah seda sewu warsi, sira-bengok saking wisma-nira, bok kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas kesel tur tanpa kasil, Guru tiga angucap, ujare cocotmu, layak mesum ora lumrah, anyampahi pepundene wong sabumi, Gatoloco manabda.
Bener mesum saking susah-mami, kadunungan barang ingkang gelap, awit cilik tekeng mangke, kewuhan jawab-ingsun, yen konangan ingkang darbeni, supaya bisa luwar, ingsun njaluk rembug, kapriye bisane jawab, aywa nganti kena ukum awak-mami, Guru tiga miyarsa.
Asru ngucap nyata sira maling, ora pantes rembugan lan ingwang, sira iku wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun gelem mulangi, pakartine dursila; mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun datan angklakoni maling, yen gelem mulangana.
Nalar bangsat paturane maling, yekti dadi melu kena siksa, Gatoloco pamuwuse, yen sireku tan purun, amulangi mring jawab maling, payo pada cangkriman, nanging pamitengsun, badenen ingkang sanyata, lamun sira telu pisan tan mangreti, guru tanpa paedah.
Kyai Guru samya anauri, mara age saiki pasalna, cangkrimane kaya priye, manira arsa ngrungu, yen wus ngrungu sayekti bangkit, masa bakal luputa, ucapna den gupuh, angajak cangriman apa, sun-batange dimen pada den sekseni, santri murid nom noman.
Cangkriman Endi Kang Tuwa Dalang Wayang Kelir Balencong
PUPUH III
Sinom
Gatoloco nulya ngucap, dalang wayang lawan kelir, balencong endi kang tuwa, badenen cangriman iki, yen sira nyata wasis, mesti weruh ingkang sepuh, Ahmad ‘Arif ambatang, kelir kang tuwa pribadi, sadurunge ana dalang miwah wayang.
Balencong durung pinasang, kelir ingkang wujud dingin, wus jumeneng keblat-papat, ngisor tengah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, ‘Abdu’ljabar asru muwus, heh Ahmad ‘Arif salah, pambatangmu iku sisip, panemuku tuwa dewe kaki dalang.
Anane kelir lan wayang, kang masang balencong sami, wayang gaweyane dalang, mulane tuwa pribadi, tan ana kang madani, anane dalang puniku, ingkang karya lampahan, nyritakake ala becik, asor unggul tan liya saking ki dalang.
Nulya Kyai ‘Abdulmanap, nambungi wacana aris, karo pisan iki salah, pada uga durung ngerti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih gampang, ora susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dewe wayangira.
Upama wong nanggap wayang, isih kurang telung sasi, dalange pan durung ana, panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap ringgit, tutur mitra karuhipun, sun arsa nanggap wayang, ora ngucap nanggap kelir, ora ngucap nanggap balencong lan dalang.
Wus mupakat janma katah, kang tinanggap apan ringgit, durung paja-paja gatra, wus muni ananggap ringgit, mila tuwa pribadi, Gatoloco alon muwus, ‘Abdu’ljabar Du’lmanap, tanapi si Ahmad ‘Arif, telu pisan pambatange pada salah.
Batanganing Cangkriman Kang Bener
Yen mungguh pametekingwang, balencong tuwa pribadi, sanajan kelir pinasang, gamelan wus miranti, dalang niyaga linggih, yen maksih peteng nggenipun, sayekti durung bisa, dalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining wayang.
Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira ringgit, margane isih petengan, ora kena den tingali, yen balencong wus urip, kantar-kantar katon murub, kelire kawistara, ing ngandap miwah ing nginggil, kanan kering Pandawa miwah Kurawa.
Ki Dalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gede cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh ringgit, pinates pangucapipun, awit pituduhira, balencong ingkang madangi, pramilane balencong kang luwih tuwa.
Dene unining gamelan, wayange kang den gameli, dalange mung dharma ngucap, si wayang kang darbe uni, prayoga gede cilik, manut marang dalangipun, sinigeg gangsa ika, kaki dalang masesani, nanging darma ngucap molahake wayang.
Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Sepi, basa sepi tanpa ana, anane ginelar yekti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape ki dalang.
Ingkang mesti nglakonana, ingkang ala ingkang becik, kang nonton mung ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung lair, tetap suwung ora ana siji apa.
Basa kelir iku raga, wayange Suksma sajati, dalange Rasul Muchammad, balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, cahyane urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jero ngandap nginggil, wujudira wujude Allah kang murba.
Yen wayang mari tinanggap, wayange kalawan kelir, sinimpen sajroning kotak, balencong pisah lan kelir, dalang pisah lan ringgit, marang ngendi paranipun, sirnane blencong wayang, upayanen den kepanggih, yen tan weruh sira urip kaya reca.
Benjang yen sira palastra, uripmu ana ing ngendi, saikine sira gesang, patimu ana ing ngendi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngendi kuburira, sira-gawa wira-wiri, tuduhena dunungge panggonanira.
Banjure Bebantahan ‘Ilmu
Guru tiga duk miyarsa, anyentak sarwi macicil, rembug gunem ujarira, iku ora lumrah janmi, Gatoloco nauri, dasar sun-karepken iku, aja lumrah wong katah, ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira.
Santri pada ambek lintah, ora duwe mata kuping, anggere amis kewala, cinucap nganti malenti, ora ngreti yen getih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus wareg mangan getih, amalengker tan metu nganti sawarsa.
Wekasan kaliru tampa, tan weruh temah ndurakani, manut kitab mengkap-mengkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa ni’mating ilat, lan rasane langen resmi, rasanira ing kawruh ora tinasa.
Tetep urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah, matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, apa sira tan wikan mring mataku loro iki, Gatoloco sinaur sireku beja.
Dene pada duwe mata, loro-loro guru siji, apa sira wani sumpah, yen duwe mata kekalih, Guru tiga nauri, dasar sayektine ingsun tetela duwe mata, tetep loro mata-mami, Gatoloco gumujeng sarwi anyentak.
Sireku wani gumampang, sayekti balak bilahi, ngaku dudu matanira, sun-lapurken pulisi, mesthine den taleni, angaku loro matamu, yen nyata matanira, konen gilir genti-genti, prentahana siji melek siji nendra.
Dadi salawasmu gesang, ora kena dimalingi, Guru tiga samya ngucap, endi ana mata gilir, Gatoloco nauri, tandane nyata matamu, sira wenang masesa, saprentahmu den turuti, yen tan manut yekti dudu matanira.
Guru tiga samya mojar, aku wani sumpah yekti, awit cilik prapteng tuwa, tan pisah lan rai-mami, Gatoloco mangsuli, dene-sira wani ngaku, matamu ora pisah, mata olehmu ing ngendi, apa tuku apa gawe apa nyelang.
Apa sira winewehan, iya sapa kang menehi, kalawan saksine sapa, dina apa aneng ngendi, Guru tiga miyarsi, deleg-deleg datan muwus, wasana samya ngucap gaweyane bapa bibi, Gatoloco gumuyu alatah-latah.
Kiraku wong-tuwanira, loro pisan pada mukir, karone ora rumasa, gawe irung mata kuping, lanang wadon mung sami, ngrasakake ni’matipun, iku daja jalaran, wujude ragamu kuwi, ora neja gawe rambut kuping mata.
Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya-raganingwang. Gatoloco anauri, prenah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta pinaringan, mata loro kanan-kering, telu pisan pinaringan grana lesan.
Guru tiga saurira, katrima pamuji-mami, Gatoloco asru nyentak, pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang gelap.
Yen tan bisa ndunungena, kajedegan ingkang diri, mestine dadi sakitan, ora kena sira mukir, meloke wus pinanggih, teka ngendi asalipun, yen asale tan wikan, matanira loro kuwi, ora kena angukuhi matanira.
Sakehing reh lakonana, yen tan manut sun-gitiki, jalaran sira wus salah, kajedegan sira maling, lah iku duwek-mami sira-anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk jaman gaib, ingsun-simpen ana satengahing jagad.
Saksine si wujud ma’na, cirine rina lan wengi, ingsun-rebut tanpa ana, saiki lagya pinanggih, sira ingkang nyimpeni, santri pada tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun-lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pengadilan.
Mesti sira kokum peksa, yen wengi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, saben bengi den kandangi, beda kalawan, salawase ngong tumuwuh, sadurunge tumindak, ingkang daja seja-mami, agal alus kasar lembut ingsun-nalar.
Murih aja dadi salah, Ahmad ‘Arif anauri, guneman karo wong edan. Gatoloco amangsuli, edanku awit cilik, kongsi mangke prapteng umur, ingsun tan bisa waras, saben dina owah gingsir, nampik milih panganan kang enak-enak.
Panganggo kang sarwa endah, ingsun edan urut margi, nurut margane kamulyan. ‘Abdul’jabar muring-muring, astu sumaur bengis rembugan lan asu buntung. Gatoloco angucap, bener olehmu ngarani, sakrabatku bapa kaki buyut canggah.
Dasare buntung sadaya, tan ana buntut sawiji, basa asu ma’na asal, buntut iku wus ngarani, ingsun jinising janmi ora buntut lir awakmu, balik sira wong apa, sira gundul anjedindil, apa Landa apa Koja apa Cina?
Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, ingsun iki bangsa Jawa, Muchammad agama-mami, Gatoloco nauri, sira wong kapir satuhu, Kristen agamanira, lamun sira bangsa Jawi dene sira tan nebut Dewa Batara.
Agama Rasul Muchammad, agamane wong ing ‘Arbi, sira nebut liya bangsa, tegese sinipat kapir, tan sebutmu pribadi, anggawe rusak uripmu, mulane tanah Jawa, kabawah mring liya jinis, krana rusak agamane kuna-kuna.
Wiwit biyen jaman Purwa, Pajajaran Majapahit, wong Jawa agama Buddha, jaman Demak iku salin, nebut Rasulu’llahi, sebute wong ‘Arab iku, saiki sira-tular, anilar agama lami, tegesira iku Kristen bangsa ‘Arab.
Guru tiga duk miyarsa, sru nyentak sarwi nudingi Gatoloco sira gila, Gatoloco anauri, ingsun gila sayekti, yen weruh kaya dapurmu, wedi bok katularan, ora duwe mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.
Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, nyata sira anak jalang. Gatoloco amangsuli, iku bener tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kena ing pejah, lamun wis tumekeng jangji, yekti mulih mring asale pada ilang.
Kiraku manawa sira, metu saking reca wesi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe budi, Kyai Guru nauri, samya misuh trukbyangamu, Gatoloco angucap, iku banget trima-mami, krana sira telu pisan misuh mring wang.
Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring wang, iku ingkang sun-sungkemi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.
Iya iku bapa biyang, ingkang weruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngendi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau weruh iku ujar ambelasar.
Krana ingsun nora wikan, wujude ingsun saiki, mujud dewe tanpa lawan, Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng ’alam dunya, ana satengahing bumi, lawan sira kala karya raganira.
Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pendak pasar ratri siyang, saejam sawidak menit, ora kurang tan luwih, wukune mung telung puluh, raganingsun duk daja, sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.
Badanku kena ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulu’llah andandani, krana ingsun kekasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat, nggesangaken saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muchammad.
Guru tiga asru mojar, sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa kuwasamu kuwi, Gatoloco nauri, ngrawuhi dadine lebur, kalawan peparengan, karsane Kang Maha Suci, ingsun dewe tan kuwasa apa-apa.
Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira Hyang, aweh mosik liya mami, Muchammad kang nduweni, pangucap paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan diri, kabeh iku kagungane Rasulu’llah.
Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan ana sihing Widdhi, duwekingsun mung sepi, basa sepi iku suwung, tan ana apa-apa, lir ingsun duk durung dadi, tetep suwung ora weruh siji apa.
‘Abdu’ljabar nulya mojar, sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka ragamu kuwi, kena rusak bilahi, ora langgeng sira wutuh, Gatoloco angucap, ingkang rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.
Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kena rusak bilahi, ingkang langgeng swarga mulya, Kyai Guru ananuri, yen mangkono sireki, weruh pestine Hyang Agung, kang durung kalampahan, Gatoloco anauri, weruh pisan pestine mring raganingwang.
Ingsun-pesti awakingwang, wayah iki dina iki, jejagongan lawan sira, mengko gawe pesti maning, kang durung den lakoni, kanggone mengko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.
Kalawan ngrusak gulungan, iku banget wedi-mami, wedi manawa dinukan, marang ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe pesti aja kliru. Kyai Guru angucap, kang durung sira-lakoni, beja sarta cilakamu besuk apa.
Aneng ngendi kuburira, Gatoloco anauri, kuburan wus ingsun-gawa, saben dina urip-mami, kalawan ngudaneni, ning sawates umuringsun, kalamun parek ‘ajal, sajroning rolas jam mami, lagya milih dina sarta wayahira.
Yen gawe pesti samangkya, papestene awak-mami, bokmanawa luwih kurang, susah anggoleki pesti, becike saben lawan ari, anggawe papesthen iku, manut senenging driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ara cidra ing semaya.
Kyai ‘Abdu’ljabar ngucap, pestine marang Hyang Widdhi, ingkang durung kalampahan, Gatoloco anauri, iku pestening Widdhi, dudu pesti saking ingsun, Allahku saben dina, anggawe papesten-mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.
Guru tiga sareng ngucap, Gatoloco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatoloco anauri, bener pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing ‘alam samar, tumeka ing jaman mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.
Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale putih, lamun durung mangreti, iya iku asal-ingsun, purwa saking sudarma, tumeka kalamu’llahi, sayektine ingsun asal kama petak.
Menek Guru telu sira, kama ireng ingkang dadi, dene buntet tanpa nalar, ‘Abdu’lmanap duk miyarsi, mojar mring Ahmad ‘Arif, ‘Abdu’ljabar yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak syara’ Rasulu’llah.
Iku wong mbubrah agama, akarya sepining masjid. Gatoloco asru ngucap, den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindo batang sira-suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira mung lega rasaning driya.
Krana sira ngrusak syara’, Gatoloco anauri, syara’ tan kena rinusak, pinesti dening Hyang Widdhi, syara’e, yen mangan lebokna silit, iku tetep aran janma ngrusak syara’.
Dene bangsane agama, sasenengane wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun terus lair batin, yekti katrima ugi, Guru telu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang suci, iya iku kang aran agama rasa.
Tegese agama rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti, rasaning legi gurih, pedes asin sepet kecut, pait getir sadaya, sira agama punapi, saurira agamaku Rasulu’llah.
Gatoloco asru ngucap, patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang sepi, sul asal tegesneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa pamit, sakancane garundelan urut marga.
Sanget dennya nguman-uman, Ahmad ‘Arif muwus aris, ‘Abdul’ljabar ‘Abdu’lmanap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan wruh tata, jroning ngimpi ingsun sengit, yen kapetuk sun mingkar tan sudi panggya.
Gatoloco Rumasa Menang Bantahe
Gatoloco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen menang bantah, mangkana osiking galih, banget kepati-pati, angekul sameng tumuwuh, sun-kira luwih mana pangrawuhe Guru santri, dene iku isih bodo kurang nalar.
Durung pada durung timbang, yen tinanding kawruh-mami, durung nganti ingsun-gelar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang minda janma.
Lamun wulange manusa, mesthine pada mangreti, mring duga lawan prayoga, aywa karem karya serik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayanen den kapanggih, yen pinanggih padang terang sagang nalar.
Yen padang tegese gesang, lamun peteng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran manusa sajati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga, bodone kepati-pati, cupet kawruh peteng nalar ma’nanira.
Wangsalan Pangura-urane Gatoloco
Gatoloco gya lumampah, tetembangan urut margi, kebo bang kagok (sapi) upama, sapisan maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora mundur bantah kawruh, pelem gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang minda warni (slira), becik ingsun ngenteni lan ura-ura.
Gude rambat (kara) puspa kresna (tlasih), manira pan isih wani, witing pari (dami) entong palwa (welah), ora neja kalah mami, araning wisma paksi (susuh), mungsuh sira guru pengung, parikan uler kambang (lintah), ingsun seneng bantah ilmi, welut wisa (ula) tininggal atiku gela.
Mendung petak (mega) kunir pita (temu), muga-muga temu maning, tepi wastra rinumpaka (kemada), banjur pada maring ngendi, kayu rineka janmi (golek), apa golek guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den adu lan mami, wadung rema (cukur) malah sokur yen mangkana.
Jangkrik gung wismeng kebonan (gangsir), manira ora gumingsir, bebasan putrane menda (cempe), sakarepe sun-ladeni, jamang wakul (wengku) upami, angajak apa sireku, duh lae puter wisma (dara), nganggo sira mejanani, kentang rambat (katela) sanajan rupaku ala.
Menyawak kang sabeng toya (slira), prakara mung bantah ‘ilmi, wulu bauning kukila (elar), kabeh nalar sun tan wedi, sayekti pinter mami, tinimbang lan sira guru, kaca tumraping netra (tesmak), ora jamak mejanani, mulwa rengka (srikaya) yen sira luru saraya.
Kemaduh rujit godongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngendi srayanira najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yektine darma kewala.
Gatoloco sukeng driya, rerepen alon lumaris, miling-miling mung priyangga, dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandut, saglinding dipun untal, ngrusak badan anyegeri, kraos gatel astane ngukur sarira.
Kyai Hasan Besari Ing Pondok Cepekan
PUPUH IV
Pangkur
Kacarita ing Cepekan, pondok ageng panggenan santri ngaji, punika sampun misuwur, kawentar manca praja, wonten Kyai pinunjul jumeneng Guru, ‘alim jamhur tanpa sama, kang nama Hasan Besari.
Kajuwara yen ‘ulama, mila unggul ginuron para santri, muridipun tigang atus, ing wanci bakdha ‘isya’, wus salat neng langgar ngaji sadarum, Kyai Guru arsa mulang, kitab Pekih miwah Tafsir.
Unda usuk warna-warna, wonten santri ingkang lagya niteni, ma’na lapal Kuranipun, ngasil-ingasil ika, samya taken-tinaken mring kancanipun, wonten ingkang sampun paham, ngapalaken kitab Sitin.
Tanapi sagunging kitab, sasenenge santri sawiji-wiji, santri ingkang sampun putus, ing ma’na lapal Kuran, mencil mencul madoni mring Kyai Guru, ma’nanira lapal Kuran, angambil sagunging misil.
Ingkang sampun kinawruhan, kang saweneh ana santri pradondi, ing lapal ma’na Kur’an, mencil-mencul madoni mring Kyai Guru, ma’nanira lapal Kur’an, angambil sagunging misil.
Ingkang sampun kinawuhan, kang saweneh ana santri pradondi, ing lapal ma’na puniku, udreg paben grejegan, santri kalih mara merak marang Guru, gya kasaru tamu prapta, “Abdul’ljabar ‘Ahmad Arif. “
Miwah Kyai ‘Abdul manap sabat nenem datan pisah tut wuri, sinauran salamipun, kang ngaji tutub kitab, tamu wau nulya minggah nglanggar gupuh, apan samya sesalaman, jawat tangan genti-enti.
Sawustru sesalaman, sampun warata sadaya para santri, munggeng langgar tata lungguh, Hasan Besari mojar, dene gati kados wonten karsanipun, pukul pinten mangkatira, saking pondok Rejasari.
Angling Kyai ‘Abdu’ljabar, bakda subuh mangkat wanci byar enjing, milahipun ngantos dalu, kedangon wonten marga, mandeg bantah kawon mengsah tiyang kupur, Gatoloco namanira, dapure mboten mejaji.
Punika setan katingal, anak belis ambekta wadung linggis, pan kinarya ngrusak ngremuk, ing syara’ Rasulu’llah , ingkang leres dipun wadung lemah putung, yen pokah rebah binubrah, agami den obrak-abrik.
Sadaya syara’ tinerak, morak-marik sirik den orak-arik, amung nekad gasruh rusuh, jinawab mung sakecap, gulagepan kula tan bangkit sumaur, sagung haram rinampasan ambubrah syara’ lan sirik.
Wungkul akal mokal nakal, sanget ngrengkel ngungkil nyrekal metakil, sakeh kawruh kabarubuh, sagung pasal kasingsal, dalil-dalil katail ing misilipun, kula mapan mung kasoran, kula nyingkring boten mlangkring.
Panggah bantah meksa kalah, boten betah isin den iwi-iwi, sakeh padu dipun buru, sakeh jawab tan menang, salin pisuh boten pasah saya rusuh, malah munggah ngarah sirah, lir maling neja anjiling.
Kula tansah kaungkulan, pijer kojur boten saged ngungkuh, kula-suwun mring Hyang Agung, salami-kula gesang, sampun ngantos kepranggul tiyang kajeku, yen kapetuk kula nyimpang, jejera kula sumingkir.
Manah-kula sampun jinja, krana saking kapok den iwi-iwi. Hasan Besari duk ngrungu, mring nalar kang mangkana, sanalika dennya ngontor asru bendu, jaja bang mawinga-winga, muring-muring waja gatik.
Netra andik angatirah, Kyai Hasan Besari ngucap bengis, patut kang kaya dapurmu, santri remeh kewala, bener sira mantolos endasmu gundul, buntu buntet tanpa nalar, mung jakat kang sira-incih.
Durung patut ginuronan, guru bodo kawruhmu mung sanyari, ora liya kabisanmu, marani angger wisma, kang ginawa kasang wadah karag sekul, bisane ndonga kabula, ngaji kulhu lamyakunil.
Ora pada kaya ingwang, marma gundul kasundul ing agami, mila putih surbaningsun, titih teteh micara, kalah iki mesti ngambil saking biku, mila ketu tarancangan, panjalin ingkang kinardi.
Kerigen santri ‘ulama, ora kewran kawruhku salin-salin, nrawang putus ngisor duwur, mila klambi kebayak, bisa miyak marang kawruh agal alus, sabuk poleng manca warna, kawruh-ingsun warni-warni.
‘Ilmu Jawa Landa, Cina, Turki Koja Hindu Benggala Keling, kabeh iku wus kacakup, sun-simpen aneng kasang, kawruh ‘Arab awit timur nganti lamur, kawruh Jawa tan kuciwa, dasar ingsun bangsa Jawi.
Mila bebed sarung amba, omber jembar ngungkuli ingkang dakik, kabeh ‘ilmu ingsun weruh, nganggo tesbeh sanyata, kabeh kawruh ingkang luwih saking alus, ora nana bisa mada, amadani marang mami.
Mulane nganggo gamparan, saparanku angungkuli sasami, mulane cis tekeningsun, kumecis nora cidra, anerawang jaba jero ngisor duwur, upamane ingsun kalah, mungsuh janma tanpa budi.
Sayektine ingsun wirang, golekana saiki ana ngendi, si Gatoloco wong kumprung, ingsun arsa uninga, mring warnane janma ingkang kurang urus, Ahmad ‘Arif ujarira, duk wau sapungkur-mami.
Tut wingking lampah-kawula, kinten-kinten dalu punika ugi, nyipeng wonten kita Pungkur, Hasan Besari ngucap, lamun mrene sun-jewere kupingipun, mungsuh janma ngrusak syara’, kalah lambene sun-juwing.
Sun-karya pangewan-ewan, duk samana dupi sampun byar enjing, wanci bakda salat subuh, prentah mring santri tiga, golekana Gatoloco den katemu, tekakna mring ngarsaningwang, santri tiga gya lumaris.
Gatoloco Dibutuhake Kyai Guru
Datan winarna ing marga, santri tiga lampahnya sampun prapti, ing pacandon kuta Pungkur, nulya manjing ngepakan, santri tiga pramana samya andulu, ing pacandon wonten janma, endek cilik bokong cantik.
Tinakenan namanira, gya sumaur yen sira takon mami, Gatoloco araningsun, santri tiga tuturnya, katimbalan sireku mring ngarsanipun, Guruning santri Cepekan, Kiyai Hasan Besari.
Kinen sareng lampah-kula, Gatoloco maleleng ngiwi-iwi, gela-gelo manggut-manggut, nanging kendel kewala, cangkemipun macucu boten sumaur, nulya nembang ura-ura, larase mung angger muni.
Gatoloco Ngura-ura Wangsalan
Piyik anak manuk dara, pedet iku jarene anak sapi, cempe cilik anak wedus, gudel anak maesa, kirik cilik iku jare anak asu, belo kepel anak jaran, genjik cilik anak babi.
Sekar pucang jare mayang, sekar mlati jarene sekar mlati, kembang gedang jare jantung, yen kembang klapa manggar, duh lae duh kembang menur kembang menur, kembang pacar kembang pacar, kembang sruni kembang sruni.
Gatoloco Panggil
Santri murid kang dinuta, samya eram sadaya tyasnya geli, kapingkel-pingkel gumuyu, wacana jroning driya, apa baya pancen duwe lara gemblung, dene pijer ura-ura, becik kudu diasori.
Murid tiga angrerepa, sanjang malih sarana ngarih-arih, ingarah mung murih purun, mangga tumunten mangkat, mring Cepekan manggihana Kyai Guru, manawi den arsa-arsa, kedangon kula ngentosi.
Gatoloco klewa-klewa, sarwi ngucap apa sira tan uning, ingsun iki lagya ewuh, lan banget ketagihan, lamun sira pari-paksa ngundang mring sun, ketumu bae sun-selang, prelu kanggo gaden dingin.
Candu rong timbang kewala, nanging jangji sira-tebus pribadi, mengko yen wus mendem ingsun, tumuli mangkat mrana, lamun sira ora lila ketu iku, ingsun wegah lunga-lunga, moh nemoni Kayi Haji.
Santri tiga duk miyarsa, rerembugan lawan rowange sami, lamun ora sigung ketu, sayekti tan lumampah, ora wurung Kyai Guru mengko bendu, upama ingsun-wenehna, luwih becik den turuti.
Santri duta kang satunggal, amangsuli mangkana dennya angling, wus tetela nalar kojur, iku pada kewala, ketu-mami uga anyar oleh tuku, lawase satengah wulan, regane srupiyah putih.
Kang satunggal tumut ngucap, ora beda anyare ketu-mami, lagi nganggo patang taun, mangka utang pitung wang, bayar nicil seteng seteng saben esuk, sun-lowongi durung esah, isih kurang limang ketip.
Najan camah awakingwang, waton oleh aleme guru-mami, santri tiga samya muwus, niki ketu-kawula, tampenana Gus Nganten sampeyan-pundut, gadekna kula sumangga, saknana dipun tampeni.
Wusnya ketu tinampenan, santri duta malah den iwi-iwi, ngisin-isin sarwi muwus, sireku ngentenana, ketu tiga dipun ngantosaken candu, rong timbang cinukit ngingkrang, sineret bantalan dingklik.
Gatoloco Ngura-ura Wangsalan Maneh
Wus tuwuk panyeretira, bedudane nulya dipun sangkelit, Gatoloco gya lumaku, den iring santri tiga, sadangune lumampah urut dalanggung, ngupaya senenging driya, rerepen sinawung gending.
Bismi’llah sun-ura-ura, sun-wangsalan petis apyun (candu) upami, ana ketu dadi candu, candu dadi gelengan, patek tungkak (bubul) gelengane dadi kebul, kebule mrasuk mring badan, sumrambah dadi nyegeri.
Jenang sobrah (ager-ager) ancur kaca (rasa), balung tipis munggeng pucuk dariji (kuku), seger dadi rosa mlaku, nanging ingkang kelangan, paribasan sabet kuda (cemeti) mesti getun, aranira tirta maya (wisuhan), misuh-misuh jroning batin.
Duh bakul sotya kencana (para), sela ingkang kinarya ngasah lading (ungkal), manira bakal katemu Guru santri Cepekan, paksi alit kang dadya sasmiteng tamu (prenjak), petel panjang tanpa sangkal (tatah), neja ngajak bantah ‘ilmi.
Kadal gung wismeng bangawan (bajul), jambu ingkang isi lir mirah edi (dlima), sanajan guru pinunjul, alim jamhur ‘ulama, wadung pari (ani-ani) ingsun uga wani mungsuh, mrica kecut dedompolan (wuni), sagendinge sun-ladeni.
Gatoloco Tumeka Ing Pondok Cepekan
Dumugi pondok Cepekan, kacarita ing pondok para santri, miwah sagung para guru, mulat kang lagya prapta, maksih wonten plataran ngandap wit jeruk, Kyai ‘Abdu’ljabar ngucap, mring Kyai Hasan Besari.
Tiyang makaten punika, najis mekruh tan pantes minggah mriki. Hasan Besari sumaur, najan mekruh najisa, nanging iku tekane saking karepmu, becik kinen munggah langgar, dimene tumuli linggih.
Reged ora dadi ngapa, yen wus lunga tilase disirami, Hasan Besari gya dawuh, uwong ala lungguha, kono bae ing jrambah lor-wetan iku, Gatoloco sigra minggah, marang langgar mapan linggih.
Sendeyan prenah lor-wetan, bedudane maksih dipun sangkelit, nulya nitik karya latu, ngakep rokok tegesan, tegesane sadriji kebule mabul, mratani sajroning langgar, ambetipun sengang sangit.
Para santri tutup grana, wonten ingkang ngalih denira linggih, Hasan Besari amuwus, sira jenengmu sapa, wangsulane Gatoloco araningsun, Hasan Besari tetanya, apa kang sira-sangkelit.
Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang ening, ana dene pentolipun, iki arane cupak, prelu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron awar-awar kinardi.
Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kena bendu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat, sentile napas kang lungid.
Cetute aran dzatu’llah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cetutipun, rumasuk jroning badan, sumarambah kukit daging balung sungsum, tyasingsun padang nerawang, ora kewran kabeh pikir.
Bebantahan Falsafah
Hasan Besari ngandika, sira wani mapaki kawruh-mami, nganggo sira wani nglebur, mring syara’ Rasulu’llah, apa sira nampik urip demen lampus, ora wedi manjing nraka, ora melik munggah swargi.
Gatoloco alon ngucap, kaya apa bisane nampik milih, wus pinesti mring Hyang Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.
Yen wong urip iku susah, metu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku, dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar, ora keno tinon lair.
Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira-rasani, suwarga naraka iku, mangka katon wus ceta, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing swarga, sapa mlarat manjing geni.
Ya iku manjing naraka, Kyai Hasan Besari amangsuli, suwarga naraka iku, besuk aneng achirat, Gatoloco sumaur sarwi gumuyu, lamun besuk ora nana, anane namung saiki.
Kyai Guru saurira, nyata nakal rembuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan syara’ Rasulu’llah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gesang akarya sepining masjid.
Gatoloco alon ngucap, ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak duwung, saiki ingsun pejah, Kyai Hasan Besari asru sumaur, iku lagi tatanira, wong mati cangkeme criwis.
Awake wutuh lir reca, Gatoloco alon dennya nauri, yen patine kewan iku, nganti gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya awak-mami.
Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku nepsuku, mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya tundaning lair.
Iku ingkang aran sadat, pisahira kawula lawan Gusti, lunga pisah tegesipun, dadi roh Rasulu’llah, yen wis pisah ragane lan Suksma iku, rasa pangrasa lan cahya, panggonane ana ngendi.
Kyai Guru saurira, bener ingsun luluh awor lan siti, rasa lan pangrasa iku, kalawan cahya gesang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga, Sang ‘Ijrail ingkang ngirid.
Lamun Suksmane wong Islam, kang netepi salat limang prakawis, sarta akeh pujinipun, rina wengi tan owah, anetepi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen katrima ing Hyang Widdhi.
Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jeng Nabi, kabeh oleh-olehingsun, kang wus kasebut syara’, yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dawuhe Jeng Rasulu’llah, pinanjingaken yumani.
Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatoloco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.
Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika, sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya beja cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.
Upama Allah duweya, satru kapir, murtat marang Hyang Widdhi, becik sadurunge wujud, tinitah aneng dunia, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mengkono Allahira, iku ora duwe budi.
Demen karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku, mepeki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang agami.
Tegese aran agama, panggonane ngabekti mring Hyang Widdhi, ing sasebut-sebutipun, waton terus kewala, tanpa salin agamane langgeng terus, sapa kang salin agama, nampik agama lami.
Iku kapir aranira, krana nampik papestene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur, nampik leluhurira, sasat nampik papestenira Hyang Agung, panyebutmu siya-siya, anebut namaning Widdhi.
Sira iku bisa kanda, lamun kapir Suksmane manjing geni, Suksmane wong Islam iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, weruh suwarga naraka, panggonane aneng ngendi.
Hasan Besari angucap, kang kasebut sajroning kitab-mami, Gatoloco sru gumuyu, sira santri keparat, ngandel marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong sabrang, dudu tinggalane naluri.
Buku tembung cara ‘Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayektine kabisanmu, mung kitab sembarangan, sira-gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah, bali ingkang duwe maning.
Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira-aturena, bali marang kang ndarbeni.
Apa ora nemu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kepriye olehmu matur, Kyai Guru saurnya, sira iku maido kitabing Rasul, Gatoloco alon ngucap, tan pisan maido mami.
Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landaten kanyatahanmu, rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pejah, anggawa sanguning brangti.
PUPUH V
Asmaradana
Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pejah, rasakna badanmu kuwe, kalawan cahyamu gesang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring suwarga loka.
Sang ‘Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng achirat dadi pandung, anggawa dudu duweknya.
Sira aneng dunya iki, kadunungan barang gelap, ora tuku ora nyileh, sira-anggo saben dina, ing mangka aneng achirat, anggawa dudu duwekmu, dunya achirat dadi bangsat.
Tanpa gawe jungkar-jungkir, nembah salat madep keblat, clumak-clumik kumecape, angapalake alip lam, tegese iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.
Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan bakda ‘isya, sayekti tanpa guna, sipat urip duwe irung, pada weruh marang wayah.
Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bengi sarta awan, pijer ketungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip prapteng kailangan.
Rasane badanmu kuwi kagungane Rasulu’llah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira Pangeran, obah-osiking manah, Muchammad kang nggawa iku, duwekmu amung pangrasa.
Mangka sira-gawa kuwi, ora sira-ulihena, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.
Ketune binanting siti, muring-muring ngucap sora, mring ngendi nggonku ngulihke, ingsun tan rumasa nyelang, titipan tri prakara, Gatoloco gya gumuyu, sira urip tanpa mata.
Upama padanging rawi, asalira saking surya, sirna kalawan srengenge, kalamun padange wulan, asale saking wulan, sirnane kalawan santun, bali maneh asalira.
Hasan Besari nauri, krana ngapa rasanira, lan cahyamu urip kuwe, myang obah-osiking manah, tan sira-ulihena, marang Kang Kagungan iku, Gatoloco asru nyentak.
Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundute, ingsun wedi bok kinira, anampik sihireng Hyang manawa nemu sesiku, sireku kaliru tampa.
Kang kasebut kitab-mami, saking Nabi Muchammad, Kyai Guru pangucape, salat witri iku iya, salat sakoberira, Gatoloco alon muwus, sireku kaliru tampa.
Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulu’llah, dene sira ngestokake, sari’ate nabi lima, endi panembahira, mring nabi Muchammad iku, Kyai Guru saurira.
Sembahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatoloco pamuwuse, sira iku santri blasar, mangka Nabi Muchammad tetela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.
Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dewe, kinen sujud kaping lima, rina wengi mangkana, esuk-esuk wayah subuh, sujud tumrap maring Adam.
Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgeng anane, marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake peteng iku, kagenten padanging surya.
Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muchammad parentah.
Marang umatira sami, supaya pada sujuda, marang Kang Murbeng ‘alame, tatkala patang raka’at, kabeh pada nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.
Lan pada nuwuna maning, linanggengna kaluhuran, kaya luhure srengenge, pramilane lama-lama, tumurun saya andap, daja asrep panasipun, wong akeh ngarani ‘asar.
Nabi Muchammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta pada nenuwuna, langgeng ananing Suksma, lan pada nuwuna iku, linanggengna kaluhuran.
Pangeran kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggengna kamulyane, dadine bisa kalakyan, tumurun saya andap, mulane ngaranan surup, sira pada sumurupa.
Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe peteng padang, gawe unggul lan asore, kang padang tegese gesang, kang peteng iku pejah, Nabi Muchammad andulu, parentah mring umatira.
Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng ‘alam, dene luwih kuwasane, bisa gawe peteng padang, lan gawe pejah gesang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang baskara.
Jagade datan kaeksi, petenge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane ‘alam dunya, rumasa kasusahan, krana saking petengipun, amarga suruping surya.
Sagunge umat nuruti, nenuwun marang Pangeran, kanti nangis panuwune, mulane ngaranan ‘isya, tegese anangisa, marang Ingkang Murbeng luhur, nenuwun supaya padang.
Kagenten padanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padang sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna saben dina.
Tegese sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa patokane, Gatoloco angandika, Baru’lkalbi arannya, mangretine barul: laut, dene kalbi iku manah.
Ati kang kaya jaladri, tanpa wates jero jembar, lan maneh akeh isine, Hasan Besari tetannya, sira ora sembahyang, Gatoloco aris muwus, sembahyang langgeng tan pegat.
Sujud-mami sujud eling, keblatku tengahing jagad, bareng napasku sujude, napasku metu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, metu saking utekingsung, sembahyangku mring Hyang Suksma.
Ingkang metu lesan-mami, sembahyang mring Rasulu’llah, kang metu irungku kiye, ingkang dzat pratandanira, iku taline gesang, kabeh saking napasingsun, sebutku Allahu Allah.
Sira pada ora ngreti, Rasulu’llah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan surya, ‘alam dunya wus ana, yekti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.
Kang tinitahake dingin, dening Hyang cahya Muchammad, iku lawan sahabate, nanging wujud eroh samya, neng jroning lintang johar, mangka lintang johar iku, wadahe roh sadaya.
Babonira saking urip, dadi saking Nur Muchammad, lintang rembulan srengenge, ora liya asalira, pan saking Nur Muchammad, mangka lintang johar iku, dadi pusere Muchammad.
Yen sira maido mami, dadi nampikaken sira, mring Kuran sesebutane, Hasan Besari miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, wis Gatoloco minggata.
Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabeneran panggonane, iki aneng tengah jagad, ingsun seneng kapenak, linggih langgar karo udut, ngenteni prentahing Allah.
Hasan Besari Kalah Bantahe
Sakala Hasan Besari, sidakep kendel kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasetyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.
Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh, santri murid ing Cepekan, ingkang seneng ngawula, mara sira anggeguru, wulangen ‘ilmu utama.
Para Kyai mitra-mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki uga, neja lunga lelana, kabeh keriya, rahayu, Hasan Besari gya mangkat.
Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang kantun ing Cepekan, Gatoloco sineba, para murid tigang atus, ander samya munggeng ngarsa.
Gatoloco Pepeling Marang Para Sahabat
Gatoloco sukeng galih, angandika mring sahabat, sanak-sanakingsun kabeh, yen sira arsa raharja, poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggepe sawenang-wenang.
Kang mangkono ora becik, ngina-ina mring sasama, umat iku pada bae, pinter bodo becik ala, beja lawan cilaka, wong kuli tani priyantun, lanang wadon ora beda.
Wus pinesti mring Hyang Widdhi, tan kena ingowahana, papestene dewe-dewe, mulane becik narima, aywa katungkul sira, urip iku bakal lampus, aneng dunya ngelingana.
Aja jubriya lan kibir, sumengah nggunggung sarira, open dahwen panastene, karem dora pitenahan, jail silib melikan, angapusi agal alus, anggluweh demen sikara.
Aja pisan ladak edir, watak angkuh nguja hawa, aja wareg mangan sare, nglakonana sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang sumeh aja nepsu, ngajeni marang sasama.
Aja sira gawe serik, aja sira gawe gela, aja gawe wedi kaget, iku aran najis haram, nyandang mangan ingkang sah, iku lakune wong ‘ilmu, tan kena kanti sembrana.
Gatoloco Apitutur Soal Pasemoning ‘Ilmu
PUPUH VI
Kinanti
Kudu ingkang nrimeng pandum, sumarah karsaning Widdhi, manusa darma kewala, saikine sun-takoni, apa mantep trusing driya, ngaku bapa marang mami.
Lamun sira wus tuwajuh, gugunen pitutur iki, nanging sira aja samar, tan kena maido ‘ilmi, yen maido kena cendak, uripe kamulyanneki.
Kabeh sira anakingsun, badenen pasemon iki, lamun bengi ana apa, yen awan ingkang ngebeki, apa ingkang ora nana, satuhune iya endi.
Adoh tanpa wangen iku, cedak tan senggolan iki, yen adoh katon gumawang, yen cedak datan kaeksi, lamun isi ana apa, yen suwung luwih mratani.
Lembut tan kena jinumput, agal tan kena tinapsir, ingkang amba langkung rupak, kang ciyut wiyar nglangkungi, bumbung wungwang isi apa, sapa neng ngarepmu kuwi.
Yen lanang tan nduwe jalu, yen wadon tan duwe belik, iya kene iya kana, iya ngarep iya buri, iya kering iya kanan, iya ngandap iya nginggil.
Baitane ngemot laut, kuda ngrap pandengan nenggih, tapaking kuntul ngalayang, pambarep adine ragil, si welut ngeleng ing parang, kodok ngemuli lengneki.
Wong bisu asru calatu, jago kluruk jro ndogneki, wong picak amilang lintang, wong cebol anggayuh langit, wong lumpuh ngideri jagad, aneng ngendi susuh angin.
Aneng ngendi wohing banyu, myang atine kangkung kuwi, golek geni nggawa diyan, wong ngangsu pikulan warih, kampuh putih tumpal petak, kampuh ireng tumpal langking.
Tumbar isi tompo iku, randu alas angrambati, mring uwit sembukan ika, sagara kang tanpa tepi, rambut ireng dadi petak, ingkang petak saking ngendi.
Irenge mring ngendi iku, kalawan kang diyan mati, urube mring ngendi ika, golekana kang pinanggih, yen tan weruh siya-siya, durung sampurna kang ‘ilmi.
Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul ika, si gagak ana ing ngendi, gagak iku nulya teka, si kuntul miber mring ngendi.
Prayoga kudu sumurup, kabeh sira anak-mami, pralambang iku rasakna, kang katemu pada jati, sajatining rasa ika, rasa jroning jalanidi.
Sasmitanen ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki, kalawan pangrungunira, sarta paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika dadi solah-tingkaneki.
Ora sak tan serik iku, tan tesbehmu dzatu’llahi, kang krasa yen datan mangan, den krasa yen minum nenggih, sembahyanga den karasa. Den krasa dzatu’llah kuwi.
Gatoloco Medarake Soal-jawabing ‘Ilmu
Kang wus sawural Allahu, iku aran salat daim, ana maneh ingaranan, martabate kasdu kuwi, lawan ta’rul ta’yin ika, mangretine kasdu kuwi.
Pikarepe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene ta’rul tegesira, pamekasing niyat nenggih, dumadine panggraita, mangreteni ingkang ta’yin.
Iku nyata yen satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cetane iku sayekti, ingkang kasdu kuwi iman, ingkang ta’rul iku tohid.
Kang ta’yin makrifat iku, kang iman yen ana kuwi, ing niyat ingkang gumletak, yekti iku ora serik, tansah ningali ing Allah kang tohid nenge myang osik.
Gleteke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angen-angenira, ingkang nggletakaken Widdhi, myarsa ngucapken pestinya, Allah ta’ala ngimbuhi.
Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi, ana dene kang ma’rifat, iku nenge lawan mosik, anenggih paningalira, pangrungu pangucapneki.
Dadi lan ing dewekipun, tegese iku sayekti, bila: tesbeh lire ika, tan loro kahananneki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik meneng kuwi.
Pamiyarsa lan pandulu, nyatane kahanan iki, poma aja sak srik, sasmita sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang Maha Suci.
Kudu ingkang awas emut, ora nana liya maning, lamun sira tinakonan, apa pangajape Widdhi, mangkene wangsulanira, pangawruhingsun mring Widdhi.
Kawimbuhan ‘ilmunipun, Pangeran kang Maha Suci, ana maneh soalira, apa ingkang den arani, sakecap sarta satindak meneng mung sagokan kuwi.
Nulya saurana gupuh, ujar sakecap puniki, kang ngucap nenggih Hyang Suksma, kang mlaku satindak Widdhi, kang meneng sagokan ika, ingkang wus angel nggoleki.
Hyang Suksma ya dirinipun, sarta lamun den takoni, pira martabating tingal, saurana tri prakawis, tasnip ingkang kaping pisan, insan-kamil kaping kalih.
Kadil-kapri kaping telu, tasnip: idep tegesneki, insan-kamil: kang sampurna. Iku kaya roh idlafi, utawa tasnip semunya, tingal luluh sampurnaning.
Wahyu iku tegesipun, ingkang paningale sidik, iku tetep wahyunira, pramilane samya wajib, den weninga prabedanya, anggenira aningali.
Mring nabi wali mukminu, nabi tetep tingalneki, dene para mundur ika, ing tingale wali mukmin, pira martabating lampah, wangsulana dwi prakawis.
Dingin kaya geni iku, kaping kalih kaya angin, semune kang kaya brama, penet panase pribadi, tegese sira mrih enggal, panrima kasuwen dening.
Ingkang angin tegesipun, penet tan kena pinurih, tegese wus ora pisan, susah angulati malih, pira martabating badan, saurana tri prakawis.
Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping pat nenggih, ping dwi kaya tanggal sanga, tanggal ping patbelas ping tri, tegese tanggal kaping pat, tulis lair tulis batin.
Kaya tanggal sanga iku, luluh sirna tegesneki, kahananira Pangeran, tanggal ping patbelas kuwi, dene sasejane sama, kaya Kang nDadekken nenggih.
Wus tumeka wangenipun, tekane kawula kuwi, ora naja yen dadiya, dadi Gusti kang sayekti, nanging yekti dadi uga, pira mastabat pamanggih.
Saurana lima iku, kang dingin kleteking ati, ingkang kaping kalihira, katepeking lampah nenggih, panjriting tangis ping tiga, ketuk nutu ping pat neggih.
Cleret ngantih ping limeku, dene pajriting wong nangis, lawan kleteking wardaya, myang tepeking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun achir kadi.
Kaja kapilaku iku, ing tekade kang wus tampi, calereting ngantih ika, lir sipat jamalu’llahi, ketuking nutu upama, wedale pangucapneki.
Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung Kang Maha Mulya, kang ngucap iku Allahi, poma aja pindo karya, puniku ingkang sajati.
Martabate bumi iku, saurana tri prakawis, dzating roh idlafi ika, kaping pindo roh jasmani, kaping telu tanpa prenah, tanpa tuduh tanpa yekti.
Kang aran Muchammad iku, kang hakiki kang majaji, iku nuli saurana, kang aran Muchammad nabi, dene kang hakiki iku, iya dzatu’llah idlafi.
Nabi Muchammad puniku, anenggih ingkang majaji, dzatu’llah jasadi ika, kang hakiki kang majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi.
Ingkang tanpa prenah iku, lawan tanpa tuduh kuwi, ing hakekate dzatu’llah, tan liya pesti sireki, krana sajatine sira, poma aja pindo kardi.
Martabat nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning sadat, saurana tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, ngeningake imanneki.
Ping dwi ngeningken tyasipun, ana dene kang kaping tri, nglampahake panggaotan, nugrahaning salat nenggih, saurana tri prakara, megat karsa ingkang dingin.
Tinggal cipta kalihipun, amadep ingkang kaping tri, nugrahaning takbir pira, saurana tri prakawis, dingin kawruh dwi kawruhnya, jatining weruh kaping tri.
Pituturku durung rampung, nanging iku bae disik, krana ingsun arsa lunga, ora lawas ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh mangreti.
Gatoloco Lunga Andarung Lakune
PUPUH VII
Gambuh
Anak murid sireku, kabeh pada keriya rahayu, lilanana saiki manira pamit, Gatoloco mangkat gupuh, lumampah ijen kemawon.
Mider-mider ngelantur, sejanira angupaya mungsuh, sagung pondok guru santri den lurugi, binantah ing kawruhipun, yen kalah dipun pepoyok.
Ana ingkang gumuyu, kapok kawus santri kang tan urus, wus dilalah karsaning Kang Maha Luwih, Gatoloco tyas kalimput, mengku takabur ing batos.
Pangrasanira iku, sapa menang padon karo aku, padu kawruh ingsun punjul sasami, marmane manggih sesiku, kasiku dening Hyang Manon.
Kang sipat samar iku, Gatoloco tan rumasa luput, yen andulu, ingkang bangsa lair batin, kaelokaning Hyang Agung, karya lakon langkung elok.
Gatoloco andarung, lampahipun terus minggah gunung, Endragiri wastanira ingkang wukir, sadaya santri ing gunung binantah kawruhnya kawon.
Jejanggan para wiku, resi buyut wasi lan manguyu, den lurugi bantah kawruh syara’ ‘ilmi, ingkang kawon den geguyu, Gatoloco asru moyok.
Solah tingkah kumlungkung, ngrengkel nakal remen nyrekal digung, watak edir ‘ilmu syara’ den pabeni, mila saya camahipun, ya ta genti winiraos.
Endang Retna Dewi Lupitwati Ing Depok Cemarajamus
Ing Endragiri gunung, wonten endang gentur tapanipun, apeparab Retna Dewi Lupitwati, sadaya punggawanipun, samya estri maksih anom.
Satunggal wastanipun, apeparab Dewi Mlenukgembuk, nama Dewi Dudulmendut, kang satunggil, merak-ati dasar ayu, cantrik kalih ugi wadon.
Satunggal namanipun, akekasih Dewi Rara Bawuk, kang satunggal Dewi Bleweh kang wewangi, grapyak sumeh kaduk cucut, neng ngarsa gusti tan adoh.
Sang Retna depokipun, yeku depok ing Cemarajamus, pratapane ing guwa Seluman werit, angker sinengker barukut, boten sembarangan wong.
Bangkit uningen ngriku, yen tan antuk lilane Sang Ayu, dene lamun wus kepareng den ideni, kaiden ingkang amengku, sinome guwa katongton.
Gatoloco Manjing Depok Cemarajamus
PUPUH VIII
Sinom
Ingkang samnya neng asrama, Retna Dewi Lupitwati, lagya sakeca ngandikan, lawan ceti emban cantrik, kaget dupi umeksi, dumateng wau kang rawuh, sajuga janma priya, lenggah sanding para estri, Mlenukgembuk sigra nabda atetannya.
Lah sira iku wong apa, wani malbeng Endragiri, rupamu ala tur kiwa, pinangkanira ing ngendi, lan sapa kang wewangi, angakuwa mumpung durung, cilaka siya-siya, apa tan kulak pawarti, lamun kene larangan katekan priya.
Gatoloco tansah nyawang, boten pisan amangsuli, mendongong kendel kewala, lir bisu mung clumak-clumik, malah angiwi-iwi, lingak-linguk kukur-kukur, dereng purun cantenan, nudingi mring cantrik estri, dandu-dangu sumaur ngucap mangkono.
Sun iki janma utama, nyata yen lanang sajati, kekasih Barangpanglusan, lan aran Barangkinisik, tetelu jeneng-mami, ananging ingkang misuwur, manca pat manca lina, tanapi manca nagari, Gatoloco puniku aran-manira.
Omahku ing tengah jagad, pinangkane saking wuri, nuruti sejaning karsa, pramilane prapteng ngriki, prelu arsa pinangggih, marang sireku wong ayu, duh mirah pujaningwang, lamun condong sun-rabeni, Mlenukgembuk muring-muring asru sabda.
Gumendung si asu ala, lancang pangucap kumaki, deksura tindak sembrana, adol bagus marang mami, ingsun tan pisan sudi, andeleng marang dapurmu, becik sira minggata, aja katon aneng ngriki, eman-eman panggonan den ambah sira.
Wangsulane gemang lunga, malah sira mirah nuli, nurutana karsaningwang, duh wong ayu sun-rabeni, mangsuli manas ati, wuwuse saya dalurung, si anjing kena sibat, tan kena ginawe becik, mara age tutugna dak-kepruk bata.
Gatoloco Nrerepi Wangsalan
Gatoloco saurira, wideng galeng (yuyu) duh maskwari, wong ayu bok aja duka, kuwuk mangsa kolang-kaling (luwak), ron kang kinarya kikir (rempelas), welasana awakingsun, parikan jenang sela (apu), apuranen sisip-mami, jalak pita (kapodang) sun-cadang dadiya garwa.
Baita kandeg samudra (labuh), lara wirang sun-labuhi, terong alit dedompolan (ranti), bok iya nganti sawarsi, bibis kulineng tasik (undur-undur), sayekti tan neja mundur, isih cuwa atiku pan durung lega.
Lan maneh ngong ngrungu warta, gustimu Sang Lupitwati, misuwur lamun waskita, pinter mring sabarang ‘ilmi, tan ana kang ngungkuli, sarta wus jumeneng wiku, lamun kapata nyata, manira arsa nandingi, bantah kawruh sakarsane ‘ilmu apa.
Ambatang Cangkrimane Dewi Mlenukgembuk
Mlenukgembuk saurira, badenen cangkriman-mami, lan soale gustiningwang, Retna Dewi Lupitwati, soale emban cantrik, yen sira ngreti sadarum, najan rupamu ala, gustiku Sang Lupitwati, apa dene para ceti cantrikira.
Mestine nurut kewala, kabeh gelem anglakoni, Gatoloco alon mojar, apa temen tan nyidrani, upamane ngapusi, apa sira wani tanggung, yen sira ora dora, sun-jawabe ing samangkin, lah ucapna cangkrimane kaya apa.
Mlenukgembuk alon mojar, ana wit agung siji, pang papat godonge rolas, kembange tanpa winilis, wohe amung kekalih, mung sawiji trubusipun, mubeng wolu pangira, puniku ingkang sawiji, ana dene ingkang satunggal.
Ingsun ningali maesa, katahe amung kekalih, nanging telu sirahira, badenen cangkriman kuwi, Gatoloco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong palingukan, kecap-kecap ketip-ketip, Mlenukgembuk gumujeng alatah-latah.
Kowe maneh yen bisaa, ambatang cangkriman iki, dapurmu ala tur kiwa, Gatoloco anauri, mengko disik pinikir, supaya bisa katemu, mara pada rungokna, wong kabeh aneng ngriki, sun-badene bener luput saksenana.
Ananging kalamun salah, aja padha ngisin-isin, bismi’llah mbade cangkriman, cangkrimane wong mrak-ati, wit agung mung sawiji, iku jagad tegesipun, pang papat iku keblat, godong rolas iku sasi, trubus siji epang wolu iku warsa,
Kembang tanpa wilang lintang, minangka woh loro kuwi, anane surya rembulan, lan maneh ingkang sawiji, sira niku ningali, kebo loro ndase telu, iku wus dadi lumrah, kebo ‘alam dunya iki, lanang wadon ketel wulu sirahira.
Gatoloco alon ngucap, apa bener apa sisip, mangkono pambatangingwang, mring cangkriman iki. Mlenukgembuk miyarsi wus kabatang soalipun, rumasa yen kasoran, sedot mundur sarwi nglirik, alon ngucap saiki narima kalah.
Ambatang Cangkrimane Dewi Dudulmendut
Dudulmendut sigra mapan, mesem-mesem angesemi, wus ayun-ayunan lenggah, Gatoloco nukya angling, soal apa sireki, sun-badene cangkrimanmu, Dudulmendut angucap, mangkene cangkriman-mami, mara age badenen ingkang pratela.
Ing ngendi prenahe iman, ing ngendi prenahe budi, ing ngendi prenahe kuwat, apa kang luwih pait, lan ingkang luwih manis, luwih atos saking watu, apa kang luwih jembar ngungkuli jembaring bumi, apa ingkang luwih duwur saking wiyat.
Apa ingkang luwih panas, ngungkuli panasing geni, luwih adem saking toya, luwih peteng saking wengi, endi aran ningali, lan endi kang luwih duwur, endi kang luwih andap, apa ingkang luwih gelis, akeh endi wong gesang karo wong pejah.
Wong sugih lawan wong nista, wong jalu lawan wong estri, wong kapir lawan wong estri, wong kapir lawan wong Islam, mara badenen saiki, Gatoloco nauri, prenahe iman puniku aneng jantung nggonira, ing utek prenahe budi, otot balung prenah panggonane kuwat.
Prenahe wirang ing mata, ing dunya kang luwih pait, batine wong malarat, dene ingkang luwih manis, batine wong kang sugih, lamun wong kang luwih lumuh, kang blilu tan weruh sastra, ingkang aran aningali, iku janma ingkang wruh ‘ilmuning Allah.
Ing ngendi kang luwih perak, ing dunya kang luwih gelis, ingkang luwih bungahira, iku marmaning Hyang Widdhi, kang amba luwih bumi, yekti pandeleng puniku, landep luwih kang braja, iku nalare wong lantip, ingkang adem luwih toya ati sabar.
Luwih atos saking sela, atine wong dangkal pikir, atine wong kang brangasan, panase ngungkuli ngungkuli geni, wong jalu lan wong estri, yekti akeh wadonipun, sanajan wujud lanang, tan weruh tegese estri, kena uga sinebut sasat wanita.
Wong urip lan wong palastra, temene akeh kang mati, sanajan wujude gesang, kalamun wong tanpa budi iku prasasat mati, wong sugih lan wong nisteku, mesti akeh kang nista, sanajan sugih mas picis, lamun bodo tanpa budi tanpa nalar.
Kena sinebut wong nista, tan duwe pakarti benjing, kalamun ing rahmatu’llah, wong Islam lawan wong kapir, Islam kapir mung lair, yen tan ana anggitipun, menawa datan wikan, pranatanira agami, tetep kapir yektine janma punika.
Wong iku nyata pinteran, tan kena den mejanani, Dudulmendut mundur sigra, sarwi awacana aris, wus bener ora sisip, saikine ingsun teluk.
Ambatang Cangkrimane Dewi Rara Bawuk
Rara Bawuk gya mapan, mangkana denira angling, ndika-bedek Gus Nganten cangkriman-kula.
Kabeh ingkang sipat gesang, kang ana ing dunya iki, pangucape pirang kecap, mangka leklu iku klimis, Gatoloco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong palingukan, gedeg-gedeg angucemil, Rara Bawuk gumujeng alatah-latah.
Sarwi keplok bokongira, angencepi ngisin-ngisin, sira maneh yen bisaa, anjawab cangkriman-mami, dapurmu anjejinggis kaya antu lara ngelu, Gatoloco angucap, mbuh bener mbuh luput iki, sun-badenen diajeng cangkrimanira.
Ucape kang sipat gesang, kang ana ing dunya iki, panamung salikur kecap, nora kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur, kabeh ucaping jalma, kang ana ing dunya iki, leklu klimis iya iku tegesira.
Telek neng alu lesungan, yen dicekel yekti amis, salawase durung ana, telek ingkang mambu wangi, Rara Bawuk miyarsi, yen kajawab soalipun, rumasa katiwasan, ora wurung dirabeni, sentot mundur sumingkir semu kisinan.
Angucap ingsun wus kalah, saprentahmu sun-lakoni.
Ambatang Cangkrimane Dewi Bleweh
Gantya Dewi Bleweh mapan, lenggah neja bantah ‘ilmi. Sang Dewi Bleweh angling, badenen cangkrimaningsun, isine ‘alam dunya, kabeh ana pirang warni, lawan pira rasane lamun pinangan.
Sun andulu wujudira, adege wolung prakawis, pikukuhe raga tunggal, sipat papat keblat kalih, patbelas ingkang keri, kang loro tutup-tinutup, samya manjer bandera, kekalih pating karingkih, lan badenen, mangretine dadi paran.
Gatoloco duk miyarsa, reka-reka tan mangreti, mung deleg-deleg kewala, Dewi Bleweh ngisin-isin, lenggak-lenggok nudingi malerok sarwi gumuyu, sira masa bisaa, ambatang cangkriman-mami, wong dapurmu saru kiwa ireng mangkak.
Gatoloco saurira, mengko sun-pikire disik, bismi’llah mbade cangkriman, cangkrimane genduk kuwi, isine dunya amung sanga katahipun, ingkang kinarya ngetang, angkane mung sangang iji, ora nana ingkang luwih saking sanga.
Sawuse jangkep sadasa, bali marang siji maning, iku tandane mung sanga, isine dunya iki, kabeh mung sanga kuwi, kahanane rupa iku, yektine nem prakara, wijange sawiji-wiji, ireng biru putih kuning ijo abang.
Liya iku ora nana, rupa ingkang manca warni iku pada ngemu rasa, dene kabeh kang binukti, ing ‘alam dunya iki, rasane mung ana wolu, legi gurih kalawan, pait getir pedes asin, sepet kecut ganepe wolung prakara.
Adu bokong tegesira, genah lamun asu ganjing, pada adu bokongira, ngadeg suku wolung iji, keblatira kekalih, madep ngalor lawan ngidul, sipate iku papat, matanira patang iji, lawangane bolongan ana patbelas.
Cangkem irung miwah karna, silite kalawan preji, gung-gunge kabeh patbelas, kang tutup-tinutup sami, panjine dakar preji, pating krengih endemipun, dene umbul puletan, bandera buntute kalih, ting jalentir lir bandera karo pisah.
Apa bener apa ora mangkono pambatang-mami, mara age wangsulana, Dewi Bleweh duk miyarsi, kajawab soalneki, sakalangkung getun ngungun, nggarjita jroning nala, pinasti kalawan takdir, awakingsun kinanti wong kaya sira.
PUPUH IX
Kinanti
Dewi Bleweh nulya mundur, sarwi awacana manis, ingsun wus rumasa kalah, sakarepmu sun-lakoni, manira manut kewala, ora sumeja nyelaki.
Ambatang Cangkrimane Retna Dewi Lupitwati
Namun kantun kusuma yu, Retna Dewi Lupitwati mapan lenggah arsa bantah, Gatoloco nabda aris, sireku keri priyangga, embane kalawan cantrik.
Kalah bantah pada mundur, sira Dewi Lupitwati, apa nutut apa bangga, sabudimu sun-kembari, Retna Dewi angandika, apa saujarmu kuwi.
Yen sira ngarani teluk, yektine teluk wak-mami, yen sira ngarani bangga, sabenere ingsun wani, mung iki cangkrimaning-wang, katahe telung prakawis.
Badenen ingkang dumunung, tegese wong laki rabi, lan tegese wadon lanang, tegese sajodho kuwi, Gatoloco saurira, ora susah nganggo mikir.
Prakara cangkriman iku, tegese wong laki rabi, ingkang aran wadon lanang, ingsun uga wus mangreti, mung remeh gampang kewala, rungokna pambatang-mami.
Tegese wong lanang iku, ala kang temenan kuwi iya iku ananingwang, rupane ala ngluwihi, wadon iku tegesira genah panggonane wadi.
Wadine wong wadon iku, wujude wujudmu kuwi, sabenere luwih ala, dunung sarta asalneki, acampur kalawan priya, tuduhna akang ala iki.
Mula rabi aranipun, wong lanang amengku estri, rahab ngrahabi sadaya, kang ala lawan kang becik, mula lanang aranira, aja nglendot marang estri.
Mung iku pambatangingsun, apa bener apa sisip, Lupitwati aturira, pukulun pepunden-mami, saestu leres sadaya, marmane amba samangkin.
Nrimah kawon sampun teluk, sumanggeng karsa nglampahi, muhung asrah jiwa raga, tan pisan neja gumingsir, ing dunya prapteng delahan, tetep mantep lair batin.
Gatoloco Mulang Para Garwa
Gatoloco sukeng kalbu, gumujeng sarwi mangsuli, tuturira sun-tarima, lan maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, tetep dadi garwa-mami.
Mulane sira sadarum, kudu manut gurulaki, sabarang parentahingwang, abot enteng aywa nampik, lamun nampik siya-siya, tan wurung sida bilahi.
Wus lumrah wong lanang iku, wajibe mengkoni rabi, sanajan rupane ala, nanging pantes den ajeni, sinembah mring garwanira, krana aran gurulaki.
Solah tingkah murih patut, satiti angati-ati, tan kena kanti sembrana, yen sira sembrana ora becik, sanajan lunga sadela, kudu pamit marang mami.
Kajaba kang kadi iku, rungokna pitutur-mami, amurih salametira, aywa karem karya serik, den sabar aywa brangasan, ngajenana mring sesami.
Upama sira katemu, marang pamitranmu yayi, kalamun sira micara, kudu ingkang sarwa manis, dimene rena kang myarsa, aywa nganti den ewani.
Yen sira micara saru, utawa demen ngrasani, mring alane liyan janma, sayekti akeh kang sengit, datan seneng malah ewa, sinebut wong kurang budi.
Upamane ana tamu, deng enggal sira nemoni, kang sreseh nuli bagekna, linggihane ingkang resik, sireku kang lembah manah, sokur bisa nyugatani.
Sanajan tan bisa nyuguh, nanging sumeh ulat manis, tembunge grapyak sumanak, rumaket sajak gresepi, supaya tamune suka, seneng ora gelis mulih.
Yen sira semu marengut, kang mradayoh yekti wedi, kinira kalamun ladak, utawa kinira edir, den arani ora lumrah, datan kurmat mring sesami.
Watak andap asor iku, wekasane nemu becik, raharja sugih tepungan, kineringan mring sesami, linulutan pawong mitra, akeh ingkang tresna asih.
Kang garwa samya tumungkul, sadaya matur wot sari, duh pukulun kasinggihan, wulangipun gurulaki, sliring dawuh-paduka, sayekti kawula-pundi.
Tetenger Sajatining Wadon Lan Sajatining Lanang
Gatoloco alon muwus, rehning sira wus ngantepi, dharma saking karsaningwang, kepengin arsa udani, pratandane kang sanyata, apa bener sira estri.
Samengko mrih genahipun, manira arsa nontoni, mring prenah tetengerira, wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya ceta kaeksi.
Para garwa alon matur, duh pukulun kadi pundi, dene paring dawuh lukar, kawula lumuh nglampahi krana saking boten limrah, nalar saru tan prayogi.
Gatoloco asru bendu, tuturmu pada ngantepi, mantep lair batinira, mituhu mring gurulaki, kaya paran ing samangkya, tan miturut prentah-mami.
Lamun rewel datan manut, sireku bakal bilahi, sidane nemu cilaka, katiban gitik panjalin, wong siji kaping limalas, lan maneh sun-sepatani.
Ananging yen pada manut nurut marang karep-mami, sawuse lukar busana, nuli marang tilam sari, awakingsun pijetana, supaya kesele mari.
Para garwa samya manut, tyas ajrih den supatani, sadaya lukar busana, Gatoloco duk umeksi, gumujeng alatah-latah, sarwi ngingkrang munggeng kursi.
Mangkana denira muwus, saiki katon sajati, wus ceta nyata wanita, tengere wadon kaeksi, warna-warna datan pada, ana gede ana cilik.
Rehning ceta wus kadulu, wujudnya sawiji-wiji, akarya renaning driya, ing samengko sun-lilani, kabeh pada tutupana, ngagema busana maning.
Yen sireku arsa weruh, marang sajatining laki, duwekingsun tingalana, becike apa saiki, utawa mengko kewala, sakarepmu sun-turuti.
Lamun sira ngajak ngadu, duwekmu lan duwek-mami, manira manut sakarsa, gelem bae ingsun wani, sira ngajak kaping pira, manira saguh ngladeni.
Retna Dewi alon matur, pukulun pepunden-mami, prakawis nalar punika, amba tan kapengin uning, dumateng wujuding priya, nuwun gunging pangaksami.
Kang awit pamanggih-ulun, kirang prelu angingali, kawula datang mentala, lan malih boten prayogi, pramilane boten susah, paduka paring udani.
Gatoloco alon muwus, duh wong ayu merak ati, sumeh semune prasaja, susileng solah respati, wangsalan iki rungokna, wulang mring sira wong manis.
Wangsalan Wulang Wanodya
PUPUH X
Dandanggula
Jayeng sastra empaning lelungid (carik), sirik ageng jenenging wanuja, luput barang reh wurine, wruh ing wekasanipun, teja panjang kang ngemu warih (kluwung), sinjang ageming priya (bebed), kang kedah sinawung, pawestri katah rubednya, taji sawung (jalu) ganda pangusaping lati (lenga krawang), kalupute kawangwang.
Putran-denta (pratima) ron aglar ing siti (uwuh), pelem agung kang galak gandanya (kuweni), ewuh-aya pratikele, wanita tindak dudu, kuda mijil ing Tamansari (Kalisahak), piring siti (cowek) upama, dadyan dewekipun, angrusak badan priyanggan sari tala (malam) dadaking ron (talutuh) sun-wastani, nalutuh ‘alam dunya.
Kisma rempu (lebu) atmaja Jumiril (Umarmaya), marma estri tan kalebu weca, Nata Prabu ing Tasmiten (Geniyara), kaca kang tanpa ancur (ram), gawe eram ingkang ningali, pantes yen piniyara, talatahing laut (muwara), ing tekad angayawara, jamang wastra (tepi) ojating wong awewarti (kaloka), netepi ing saloka.
Gingsiring wulan purnama siddhi (grahana), bebayi sah kang saking tuntunan (puput), graitanen sauntase, ingkang tumibeng luput, tambang palwa (welah) ingsun-wastani, parikan jenu tawa (tungkul), pan aja katungkul, ing solah kang tanpa karya, menyan kuning (welirang) kang toya saking jasmani (kringet), engeta kawirangan.
Ing Ngajerak Papatih Nata Jin (Sannasal), pulas langking kang kinarya sastra (mangsi), keksi-eksi wekasane, tanpa asil ing laku, sembahyange janma minta sih (salat hajat), katrapaning manusa (denda), dendaning Hyang Agung, tanpa kajating panyipta, yasa ranu (bale kambang) Narendra Bojanagari (Suryawisesa), kumambang ing wisesa.
Janma wirya (mukti) salendro jroning pring (suling), dipun eling-eling wong ngagesang, aja manggung mukti bae, duh babo jamang wakul (wengku), sekar pandan mawur kasilir (pudak), najan tedaking Nata, sajagad winengku, barat gung mrataweng wreksa (prahara), jarot pisang (serat) ana mlarat ana sugih, wus kaprah ‘alam dunya.
Putri Mandura (Sumbadra) kang nyamang kudi (karah), najan trahing janma sudra papa, lamun becik pamarahe, aji Nata Salyeku (candrabirawa), puter alit ginantang nginggil (prekutut), patut sira-anggowa, condongna ing kalbu, Wiku Raja ing Kusniya (Bawadiman), Sarkap putra (Samardikaran) den gemi simpen wewadi, ywa kongsi kasamaran.
Tawon agung kang atala siti (tutur), wikan nugraha wulang achirat (swarga), yen siranggo tutur kiye, nyuwargakken bapa biyung, nyarambahi mring kaki nini, salawase raharja, mitra karuh lulut, yen kena godaning setan, sapu gamping (usar) garwa Hyang Guru Pramesti (Batari Durga), durgama karya sasar.
Wideng galeng (yuyu) Kumbayana siwi (Aswatama), tegese estri ayu utama, pratanda serat pangrembe (penget), cipta tyas tan kawetu (graita), kang wus lepas graita lantip, nget-enget ing kawignyan, pangumbaring puyuh (jajah), anjajah saruning badan, jala panjang (krakad) suluke wayang kalitik (sendon), yen kaledon ing tekad.
Kentang rambat (katela) gancaring wong ngringgit (lakon), tetelada estri kang utama, kang prayoga lelakone, singa lit munggeng kasur (kucing), kenya putri Kartanegari (Susilawati), yen tan susileng priya, pan kuciweng semu, dekunging sabda tanaga (taklim), gugur parlu (batal) nora batal ing wewadi, wong taklim sapadanya.
Gatoloco Pamit Lunga Marang Cepekan
Retna Dewi matur awot sari, saking dawuh piwulang-paduka, muhung nuwun pangestune, mugi-mugi jinurung, badan-kula bangkit nglampahi, Gatoloco ngandika, duh sira wong ayu, ayune ayu temenan, aywa kaget ingsun lilanana pamit, saiki ingsun lunga.
Krana prelu kangen arsa tilik, anak murid ing pondok Cepekan, besuk bali mrene maneh. sira keri rahayu, Gatoloco mangkat pribadi, ing marga tan winarna, kacarita sampun, dumugi pondok Cepekan, para murid dupi miyat ingkang prapti, sukeng tyas kanti kurmat.
Gatoloco Jumeneng Gurunadi
Gatoloco praptanipun, ing Cepekan pondok santri, langkung sukaning wardaya, aningali para murid, samya sanget kurmatira, dumateng Sang Gurunadi.
Nulya minggah ing langgar gupuh, sesalaman genti-genti, riwusnya samya salaman, para murid nilakrami, wilujeng rawuh-paduka, Gatoloco anauri.
Iya saking pandongamu, ingsun ginanjar basuki, sasuwene ingsun-tilar, sira kabeh anak murid, apa pada kawarasan, santri murid awot sari.
Pangestu brekah-pukulun, palimarmaning Hyang Widdhi, sadaya kawilujengan, maksih langgeng kados lami, Gatoloco angandika, kapriye wulangku nguni.
Apa sira isih emut, sokur lamun ora lali, aturnya maksih kemutan, kawula sanget kapengin, nuwun mugi kasambungan, lajengipun kados pundi.
Gatoloco alon muwus, panjalukmu sun-turuti, sireku aywa sumelang, uga bakal sun-sambungi, lah mara pada rungokna, manira tutur saiki.
Medarake Banjure Soal-jawabing ‘Ilmu
Nugrahaning budi iku, saurana tri prakawis, cipta ning kang kaping pisan, panggraita kaping kalih, sang panyipta kaping tiga, kanugrahaning roh kuwi.
Saurana iku telu, ana dene ingkang dingin, urip tan kalawan nyawa, ingkang kaping kalih kuwi, ora angen-angen liyan, Allah kewala kaping tri.
Tan ana woworanipun, ingkang wahdati’lmujudi, nugrahan sakarat pira, saurana tri prakawis, kang dingin adepanira, idep ingkang kaping kalih.
Madep ingkang kaping telu, lamun sira den takoni, nugrahaning iman pira, saurana tri prakawis, sokur ingkang kaping pisan, tawakal ingkang ping kalih.
Sabar ingkang kaping telu, pira nugrahaning tohid, saurana dwi prakara, krana tetep ingkang dingin, wedi kaping kalihira, nugrahan ma’rifat jati.
Sira sumaura gupuh, iku namun saprakawis, ana ing kahananira, anenggih karsa: rasaning, rasa wisesa prayoga, martabate kramat kuwi.
Mangretine ana telu, karem af’al para mukmin, para wali karem sifat, akarem dzat para nabi, lire karem ing dzatu’llah, ya sok ana asihaning.
Ingkang karem sifat iku, uga ana gumleteking, lire karem af’alu’llah, mila ana obah osik, yen sebit paningalira, ening kabuka sayekti.
Ing sifat jamal puniku, jamal kamal kahar nenggih, dumadine imanira, sakbul gumleteking ati, dadine oleh sampurna, sampurnaning gesang nenggih.
Martabate nyawa iku, lamun sira den takoni, katahe namung satunggal, iya iku roh idlafi, mung sawiji marganira, tegese urip puniki.
Ora nana urip telu, ingkang mesti mung sawiji, lamun sira tinakonan, endi Allah ing saiki, iku nuli saurana, sapa ingkang ngucap kuwi.
Aja ta sireku umyung, yen sira dudu Hyang Widdhi, yektine ingkang den ucap, kang ngucap tan liyan Widdhi, nanging kudu kawruhanana, ing panarima sayekti.
Ana ingkang nrima iku, kaja toya lawan siti, lawan ingkang kaya udan, apa dene kaya wesi, kalawan kaya samudra ingkang kaya lemah warih.
Den rumesep tegesipun, ora pegat kang rohani, tegese kang kaja udan, datan pegat tingalneki, ana maneh kaja tosan, sakarsanira mrentahi.
Ginaweya arit wedung, petel wadung kudi urik, ora owah sifatira, isih bae wujudneki, ingkang upama samudra, pituduh ingkang prayogi.
Puniku mestine antuk, ing ujar sakecap tuwin, ing laku satindak lawan, ameneng sagokan nenggih, lamun wis kaja samudra, ora owah tingalneki.
Sira andulu dinulu, ora nana tingal kalih, ora nana ucap tiga, dadi sampurna salating, weruh paraning sembahyang, weruh paraning ngabekti.
Nyata bener ora kusut, lan weruh paraning osik, weruh paraning nengira, weruh paraning miyarsi, weruh paraning pangucap, weruh paran ngadeg linggih.
Lan weruh paraning turu, weruh paranira tangi, weruh paraning memangan, weruh paran nginum warih, weruh paran ambebuwang, weruh paran sene nenggih.
Weruh parang seneng nepsu, weruh paraning prihatin, weruh paran ngidul ngetan, mangalor mangulon kuwi, weruh paraning mangandap, weruh paraning manginggil.
Weruh paran tengah iku, weruh paranira pinggir, weruh paraning palastra, weruh paranira urip, weruh kabeh kang gumelar, kang gumreget kang kumelip.
Tan samar weruh sadarum, anane samita iki, sira kabeh poma-poma, anakingsun para murid, sireku aywa sembrana, weruha rasaning tulis.
Dene sira yen wis weruh, kekerana ingkang werit, aywa umyung pagerana, aywa sembarangan kuwi, nganggo duga kira-kira, aywa dumeh bisa angling.
Lan maneh aywa kawetu, mring wong ahli syara’ nenggih, yen maido temah kopar, karana rerasan iki, ora amicara syara’, amung sajatining ‘ilmi.
Ingkang renteng ingkang racut, tan ana kaetang malih, caritane soal ika, pada anggiten ing batin, dadi wijange sadaya, sira ingkang ahli budi.

- - SULUK KADRESAN - -

Karya Sunan Bonang

1.
………………….
La ilaha puniku
amot isbat kalawan nafi
jatine ana ora
iku tegesipun
Paneran asipat ora
in orane sampun awit ananeki
ananeku nakirah.

2.
Nafi nakirah lan nafi jinis
mapan iku jinisin Paneran
kan nafi naten isbate
nafi lan isbat iku
nora pisah pan ora tungil
nafi kalawan isbat
nafi karonipun.

3.
Nafi roro winaleran
denin illa karone tan kena manjin
marin lapal illa ‘llah
hih ra Wujil kawruhana malih
kan isbat iku reke den-nata
atuduh marih musbate
dalil kalawan madlul
iku reke saminireki
inkan lapal illa ‘llah
musbat aranipun
mutlak iku isimullah
tan kena liyanena Paneran kalih
anin lapal illa ‘llah.

4.
Panreneninsun inuni
in wretanira sah mulya
anataken in jatine
tafsirin nafi isbat
kan satuhune nora
nafi jinis aranipun
kapindo nafi nakirah.

5.
Tegesin kan nafi jinis
sajati-jatinin ora
mapan tan ana anane
tegesin nafi nakirah
ana lawan pinurba
arane (r. anane) kalawan tuduh
iku jatinin nakirah.

6.
Kan ibarat nafi jinis
atuduh in dawakira
mapan tan-ana deweke
yogya sama nawruhana
denin basa nakirah
nora mojud nora ma’dum
pan tan kena winicara.

7.
Anin ta malih sireki
sampun ora amicara
in roro iku arahe
iku inaranan ora
jen tan anaa pisan
iku inaranan suwun
leyep datanpa temahan.

8.
Sakatahin dumadi
inaran nafi nakirah
atuduh anane dewek
pan dudu anane dawak
nafi jinis inaran
tan ana amamadeku
lawan sifatin paneran.

9.
Karone iku pan nafi
kalawan tegesin illa
illa iku wawalere
nafi jinis lan nakirah
wiwinalera illa
nafi roro aywa kumpul
lan isëbatin paneran.

10.
Yen tan awalera malih
nafi roro lan isebat
yakti akumpul karone
karane sinelan illa
tanpa weh yan awora
tegesin illa ‘llah iku
yen isbat kalamiyah.

11.
Tegesin mahiyah teki
isbatena balaka
narani arane dewek
lan isbat ma’arifat
anen anane dawak
sampune ujar puniku
aniri Paneran kan ana.

12.
Wonten kapangih in tulis
lamon roro sifatin yan
sampun tan wikan tatane
tuhu sifatin paneran
nafi lawan isebat
sakin kitabilirumuj (?)
Paneran asifat nora.

13.
Sifatin yan nafineki
nora johar nora ‘aral
mapan tan ana makame
ananin yan tanpa zaman
iku kan aran ora
nafi jinis aranipun
dudu paneran kan ana.

14.
Kan aran nafi hakiki
masasiku in paneran
johar ‘aral makam reke
zaman kan inaran ora
rehe anin Paneran
sin anorakena kufur
iku in patan madahab.

15.
Isbatin yan hakiki
iku sifat subutiyah
hayun alimun sakehe
masasiku in paneran
kan ajal la wan abad
ananin asiya iku
sabab manka kanataan.

16.
Mankana ananireki
inaran wujud aba’ad
sakin Paneran anane
oranira pan saki(n) yan
tan anen dawakira
tegesin aba’ad iku
denih ana lawan ora.

17.
Mankana kan nafi jinis
tan kinaranan aba’ad
denin tan ana anane
kunen anane Paneran
dudu wujud aba’ad
tan aba’ad ananeku
tan kaworan denin ora.

18.
Mankana ananireki
dudu nafi tan islbat
karone iku deweke
yogya sama nawruhana
denin basa nakirah
nora mojud nora ma’dum
pan tan kena winicara.

19.
Arin ta malih sireki
sampun ora amicara
in roro iku arahe
lamon wasilin wicara
ananin kan nakirah
ananin yan mahaluhür
iku arah kan sampurna.

20.
Sampun ta sira misingih.
mapan iku sabdanin yan
den-wikan in patitise
kapin kalih ananira
tan anen dawakira
dati ra dawak pan suwun
sapisan-pisan tan ana.

21.
Mapan kajatinireki
anane pada lan ora
pan pakone kan agawe
duk pinasiliyan tinal
ya ta iku kuwasa
aninali lan andulu
katon kan aduwe tinal.

22.
Sakatahin kan dumadi
muhal yan anaa dawak
badane lawan nawane
iku minanka paesan
in sifat jamalullah
batinih manusya iku
mapan kinarya tuladan.

23.
Ujare kan aninali
ki Jaed in dalem griya
norana won lanari reke
anen ki Jaed kan ana
ujare kan tuminal
saderah paninalipun
dudu ki Jaed kan ora.

24.
Karane paninal iki
kan ora lan anakirah
lanan mubaham arane
dudu satuhunin lanan
inkan lanan mahiyat
anin ki Jaed kadulu
mapan lanan ma’arifat.

…………………………
…………………………
…………………………

27.
Uni insun aninali
in wayane ki ki dalan
duk Darmawansa akonkon
in Kresna marin Nastina
kinen anjabel pura
Korawa sata tan pasun
suka pnjahen payudan.

28.
Pacehnisun aninali
in polahe san awayan
sakehe anane dewek
kan akon lan kan winekas
kan paranin konkonan
datan lyana kan kadulu
anin ujare ki dalan.

29.
Pan tan ana bedaneki
kan amujya lan pamujya
karone anane dewek
pan tan kena pisahena
ananin saniskara
in manke lawan in danu
ya ananin kan in kuna.

30.
Inkan rasa aninali
dipun sami amicara
kalingihana yaktine
takenakena den-nata
sampun amuhuri warta
den-wikan in wuwusipun
aja sira nankah-anka(h).

31.
Anin ta malih sireki
sampun korup in wilapa
kewala iku dumahwe
animbalaken carita-
nira kan mahamulya
arsa analini pupuh
atëmban asmaradana.

32.
Mankana inkan anulis
anama Ibraismara
kaya inugun polahe
datan anlirin kainan
kadi edan inumbar
kan ora-ora den-wuwus
saya nlayuh brantininwan.

33.
Cumantaka milwen nawi
suka cacaden in para
denin wan kaya aname
marmanya anapus gita
denin anrena wreta
tan kuwasa nimpen wuwus
dadyatemah paguywan.